Pameran Koleksi Piringhitam Penyanyi dan orkes Legendaris Indonesia 1931-1970(The Indonesia Legendary Singers Exhibition)

WELCOME COLLECTORS FROM ALL OVER THE WORLD

                          SELAMAT DATANG KOLEKTOR INDONESIA DAN ASIAN

                                                AT DR IWAN CYBERMUSEUM

                                          DI MUSEUM DUNIA MAYA DR IWAN S.

_____________________________________________________________________

SPACE UNTUK IKLAN SPONSOR

_____________________________________________________________________

 *ill 001

                      *ill 001  LOGO MUSEUM DUNIA MAYA DR IWAN S.*ill 001

                                THE FIRST INDONESIAN CYBERMUSEUM

                           MUSEUM DUNIA MAYA PERTAMA DI INDONESIA

                 DALAM PROSES UNTUK MENDAPATKAN SERTIFIKAT MURI

                                        PENDIRI DAN PENEMU IDE

                                                     THE FOUNDER

                                            Dr IWAN SUWANDY, MHA

                                                         

    BUNGA IDOLA PENEMU : BUNGA KERAJAAN MING SERUNAI( CHRYSANTHENUM)

  

                         WELCOME TO THE MAIN HALL OF FREEDOM               

                     SELAMAT DATANG DI GEDUNG UTAMA “MERDEKA

                       Please Enter

                                      

                 DMRC Showroom

Driwan Music record Cybermuseum

SHOWCASE :

Pameran Koleksi Sejarah Plat gramophone(piring hitam) Di Indonesia Sesudah perang dunia kedua 1945-1970

(The Indonesian’s Plate Gramophone Historic collections after WW II 1945-1970) 

Frame One : Introduction

1. I have starting build the collections of  Gramophone plate since study in hish school at Padang city West Sumatra in 1960.

2. Until this day in 2011 , I cannot found the complete informations about the Indonesian’s  gramophone plate History, that is why I have made reasech about this topic in order to give the young generations about the development of music gramophone technology in the world since found by Mr Thomas Alfa Edison and when first arrived in Indonesia during The Dutch East colionial Era.

3. I will show my collections with information from that very rare and amizing historic collections, very lucky I had found vintage book of gramophone and also many info fram google explorations,especially from wikipedia ,for that info thanks very much.

4. Before I had done The exhibtion which divide into two parts, first before World War I and second Between WWI and WWII. all during Indonesia under Dutch east Indie Colonial time. and now lets look at the earliest  Indonesia independence era 1945-1970.

5.The earliest Gramophone’s Plate in 19Th Century produced by Addison inc with very thick plate almost 4 times then now circa 1 cm,then became half centimer and latest 0,2 cm more thin,please look the comperative picture below:

First the mechanic gramophone look the promotion picture of His Mater Voice company below:

and later electric gramophone, still used gramophone needle look the needle promotion label below :

6.In Indonesia during Colonial time , the gramophone’s plate sold by the chinese marchant still the same until thee arliest Indonesia Independt era 1945-1970,many at Pasar Baru Market Batavia (Jakarta) please look the trader mark below :

7a. Before Indonesian Independent during Dutch East Indie(Ned.Indie) colonial-masa penjajahan  hindia Belanda the earliest Indonesian record(rekaman piring hitam) had found by dr Iwan were BK Record,look the picture below

  and the singer was Mis Riboeet with Tionghoa etnic song and arabic ehnic song,more info look at my collections in the frame one.

7b.I had found Some Indonesia Album record era 1945-1960 ,look below

1)Irama record made in India with song Djali Djali

Indonesia’s recording studios have increasingly diversified out of the template established by the country’s two largest recording companies, P.N. Lokananta (the national recording company of Indonesia) and Hidup Baru.

In contrast to the 1950s and 1960s, many studios today are no longer owned solely by producers, the Indonesia record before lokanata, produced by Irama Resords and made in India studio processing above , like MCG record by dutch Leow cooperations

also in Indonesia (Irama indonesian music co ltd) look below compare with above :

1) Irama Record

The other earliest Indonesian records company :

2) Bali Record Music Cooperation

3) Mesra Record Inc

4)Gedung Musik Nusantara Record Inc

 5) Lokananta which not only music and po song also the Javanese Wayang ketoprak like Djaka Tingkir look below:

The Christian Songs, and aslo the special album were made by lokanata record for the present to the Bandung asia Africa conference in 1955.(More type still in reasrech)

8.The Indonesia edition Rolling stones Magazine, in 2007 had publish special edition about 150 Indonesian Best music and singers  and from the table I had arragane a table beetween 1950-1970 look below :

Majallah Rolling stones Indonesia telah menerbitkan edisi khusus ke 32 Desember 2007 15o album musik dan penyayi Indonesia terbaik 1950-2007, daftra ini disususn olehkontributor Majalah Rolling Stone Indonesia, yaitu Denny MR (wartawan senior), Denny Sakrie (pengamat musik senior dan kolektor musik), David Tarigan (pendiri Aksara Records, kolektor musik) dan Theodore KS (pengamat musik senior). Daftar yang mereka susun dan terbitkan tersebut menuai berbagai macam kritik dan kontroversi dari para penggemar musik di Indonesia, dan dari daftar tersebut saya telah menyusun daftar musik dan penyanyi legendaris Indonesia 1950-1970 dibawah ini :

 PENYANYI LEGENDARIS INDONESIA 1950-1990

1.ERA 1950-1960

47 1957 Papaja Mangga Pisang Jambu (kompilasi) Irama Records

 

2.ERA 1960-1970

18 1960 Lagu Gumarang Jang Terkenal Orkes Gumarang Mesra Records
32 1961 Semalam Di Malaya Saiful Bahri Irama Records
63 1962 Bubi Chen And His Fabulous 5 Bubi Chen Irama
62 1963 Eka Sapta Eka Sapta Bali Records
         
62 1963 Eka Sapta Eka Sapta Bali Records
37 1964 Oslan Husein Oslan Husein Irama Records
132 1964 Teluk Bayur Ernie Djohan Remaco
20 1965 Jang Pertama Dara Puspita Mesra Records
52 1966 Doa Ibu Titiek Puspa Irama
         
6 1967 To The So Called The Guilties Koes Bersaudara Mesra Records
         
4 1969 Dheg Dheg Plas Koes Plus Melody
21 1970 Koes Plus Volume 2 Koes Plus Dimitra
25 1969 Si Djampang Benjamin S. Melody

9. Sampai saat ini belum ada penelitian tentang penyanyi legendfaris 1945-1950 pada masa perang kemerdekaan, tetapi saya telah menemukan beberapa koleksi pada era ini yang dapat dijadikan acuan bagi penelitian lebih lanjut.

Until this dayI  still couldnot foud the info about the research of Indonesian legendary music and singers during era Indonesian independent war 1945-1950, but I had found some collections during this era and can be the basic info for more future research .

10.Pameran ini tidak lengkap dan masih banyak kekurangannya sehingga koreksi dan saran serta tambahan informasi masih sangat diharapkan, sebelumnya saya ucapkan terima kasih.

This exhibiton not complte and still found many wrong info that is why still need corections and sugestions from all Indonesian music record collectors, for more info and coreections thank you verymuch.

11.I hope all the  collectors all over the world ,especially Indonesian Music Records plates ‘s will Collectors honor my copyright with donnot copy or tag this exhibitons without my permisssion,thanks.

Jakarta January 2011

Dr Iwan suwandy @ copyright 2011

 

Frame two :

Dr Iwan Collections

1.a. Era Penjajahan Belanda sebelum WWII  (Dutch East India colonial Before 1942)BK RECORDS wit the singer Mis Riboeet,song Tionghoa ethnic song and Arabic ethnic song Jasidi. The Information of The first Indonesian singer record Miss Riboet from google exploration.

a) Kisah singkat Miss Riboet Orion

(a)versi satu

 

   

Iklan Dardanella.

Dua perkumpulan besar sandiwara berdiri pada 1925 dan 1926, Miss Riboet Orion dan Dardanella. Keduanya merajai dunia sandiwara kala itu. Mereka dikenal terutama karena pemain-pemainnya yang piawai berperan di atas panggung, cerita-ceritanya yang realis, dan punya seorang pemimpin kharismatik.

Kedua perkumpulan ini dikenal sebagai pembenih sandiwara modern Indonesia. Mereka merombak beberapa tradisi yang telah lazim pada masa stambul, bangsawan, dan opera, seperti: membuat pembagian episode yang lebih ringkas dari stambul, menghapuskan adegan perkenalan para tokoh sebelum bermain, menghilangkan selingan nyanyian atau tarian di tengah adegan, menghapus kebiasaan memainkan sebuah lakon hanya dalam satu malam pertunjukan, dan objek cerita sudah mulai berupa cerita-cerita asli, bukan dari hikayat-hikayat lama atau cerita-cerita yang diambil dari film-film terkenal (Oemarjati, 1971: 30-31). Rombongan sandiwara ini juga mulai menggunakan naskah untuk diperankan di atas pentas, menggunakan panggung pementasan, serta mulai mengenal peran seseorang yang mirip sutradara (pada masa itu lazim disebut programma meester, peran ini dimainkan oleh pemimpin perkumpulan).

Perkumpulan sandiwara Orion berdiri di Batavia pada 1925. Rombongan sandiwara ini didirikan serta dipimpin oleh Tio Tek Djien Junior. Tio merupakan seorang terpelajar pertama yang menekuni secara serius kesenian sandiwara modern. Dia lulusan sekolah dagang Batavia. Primadona mereka adalah Miss Riboet. Selain sebagai istri Tio, Riboet juga terkenal dengan permainan pedangnya. Ia sangat menonjol ketika memerankan seorang perampok perempuan dalam lakon Juanita de Vega karya Antoinette de Zerna. Selanjutnya perkumpulan ini terkenal dengan nama Miss Riboet Orion (Sumardjo, 2004: 115).

Perkumpulan ini semakin mengibarkan bendera ketenarannya setelah masuk seorang wartawan bernama Njoo Cheong Seng dan istrinya Fifi Young. Setelah masuknya Njoo Cheong Seng dan Fifi Young, perkumpulan ini meninggalkan cerita-cerita khayalan yang pada masa stambul dan bangsawan lazim untuk dibawakan ke panggung (Pane, 1953: 9). Kemudian Njoo Cheong Seng menjadi tangan kanan Tio Tek Djien dan bertugas sebagai penulis lakon pada perkumpulan ini dan menghasilkan cerita-cerita, seperti Saidjah, R.A. Soemiatie, Barisan Tengkorak, dan Singapore After Midnight.

Pertunjukan Dardanella

Di tengah kepopuleran Miss Riboet Orion, berdiri perkumpulan sandiwara Dardanella di Sidoarjo pada 21 Juni 1926. Sebagaimana Miss Riboet Orion, Dardanella juga telah melakukan perubahan besar pada dunia sandiwara. Dardanella didirikan oleh A. Piedro, seorang Rusia yang bernama asli Willy Klimanoff (Ramadhan KH, 1984: 5cool. Pada 1929, untuk pertamakalinya Dardanella mengadakan pertunjukan di Batavia. Mulanya lakon-lakon yang dimainkan adalah cerita-cerita berdasarkan film-film yang sedang ramai dibicarakan orang, seperti Robin Hood, The Mask of Zorro, The Three Musketeers, The Black Pirates, The Thief of Baghdad, Roses of Yesterday, The Sheik of Arabia, Vera, dan Graaf de Monte Christo (Ramadhan KH, 1984: 74). Namun pada kunjungan keduanya di Batavia, mereka menghadirkan cerita mengenai kehidupan di Indonesia, seperti Annie van Mendoet, Lilie van Tjikampek, dan De Roos van Tjikembang. Cerita-cerita ini disebut dengan Indische Roman, yaitu cerita-cerita yang mengambil inspirasinya dari kehidupan Indonesia, dikarang dalam bahasa Belanda (Brahim, 1968: 116).

Pada tahun yang sama, seorang wartawan dari majalah Doenia Film, bernama Andjar Asmara, ikut masuk ke dalam perkumpulan ini, dan meninggalkan pekerjaannya sebagai wartawan di majalah tersebut. Seperti halnya Njoo Cheong Seng di Miss Riboet Orion, Andjar kemudian juga menjadi tangan kanan Piedro, dan bertugas sebagai penulis naskah perkumpulan. Andjar Asmara menulis beberapa naskah, seperti Dr. Samsi, Si Bongkok, Haida, Tjang, dan Perantaian 99 (Tzu You dalam Sin Po, 1939: 12). Dardanella juga terkenal dengan pemain-pemainnya yang piawai memegang peranan dalam setiap pertunjukan. Para pemain ini terkenal dengan sebutan The Big Five. Anggota Perkumpulan Dardanella yang disebut The Big Five yaitu, Ferry Kock, Miss Dja, Tan Tjeng Bok, Riboet II, dan Astaman (Tzu You dalam Sin Po, 1939: 11-12).

Persaingan untuk meraih perhatian publik antara Miss Riboet Orion dengan Dardanella terjadi di Batavia pada tahun 1931. Sebenarnya persaingan Miss Riboet Orion dengan Dardanella sudah mulai terlihat ketika dua perkumpulan ini memperebutkan “pengakuan nama” dari salah satu pemainnya, yaitu Riboet. Dalam dua perkumpulan ini ada satu pemain yang namanya sama. Ketika itu Dardanella yang sedang bermain di Surabaya, didatangi dan dituntut oleh Tio Tek Djien, pemimpin Miss Riboet Orion, karena Dardanella mempergunakan nama Riboet juga untuk seorang pemainnya. Tio berkata kepada Piedro, “Kami tidak senang Tuan mempergunakan nama yang sama, nama Riboet juga untuk pemain Tuan…kami menyampaikan gugatan, Miss Riboet hanya ada satu dan dia sekarang sedang bermain di Batavia”. Akhir dari perseteruan ini adalah mengalahnya Piedro kepada Tio dan merubah nama Riboet yang ada di Dardanella menjadi Riboet II (Ramadhan KH, 1982: 72).

Memang lazim terjadi persaingan antarperkumpulan sandiwara, terutama di kota besar seperti Batavia. Sebelum persaingan dengan Dardanella, Miss Riboet Orion juga pernah bersaingan dengan Dahlia Opera, pimpinan Tengkoe Katan dari Medan, persaingan ini berakhir dengan kemenangan pihak Orion (Tzu You dalam Sin Po, 1939: 11). Wujud dari persaingan antara Miss Riboet Orion dan Dardanella ini adalah pecahnya perang reklame. Dardanella memajukan Dr. Samsi sebagai lakon andalan mereka, sedangkan Miss Riboet Orion dengan Gagak Solo. Dalam persaingan ini, Dardanella mengandalkan A. Piedro, Andjar Asmara, dan Tan Tjeng Bok, sedangkan Miss Riboet Orion mengandalkan Tio Tek Djien, Njoo Cheong Seng, dan A. Boellaard van Tuijl, sebagai pemimpinnya (Tzu You dalam Sin Po, 1939: 12). Kedua wartawan dalam perkumpulan-perkumpulan itu bekerja dan memutar otak untuk membuat reklame propaganda yang, sedapat-dapatnya, memengaruhi pikiran publik.

Akhirnya Miss Riboet Orion harus menyerah kepada Dardanella. Riwayat Perkumpulan Sandiwara Miss Riboet Orion berakhir pada 1934, ketika penulis naskah mereka Njoo Cheong Seng dan Fifi Young, pindah ke Dardanella.

Dardanella menjadi semakin besar dengan hadirnya anggota-anggota baru seperti Ratna Asmara, Bachtiar Effendi, Fifi Young, dan Henry L. Duarte (seorang Amerika yang dilahirkan di Guam). Dalam Dardanella juga berkumpul tiga penulis lakon ternama, seperti A. Piedro, Andjar Asmara, dan Njoo Cheong Seng, di samping itu, perkumpulan ini diperkuat oleh permainan luar biasa dari bintang-bintang panggungnya seperti Miss Dja, Ferry Kock, Tan Tjeng Bok, Astaman, dan Riboet II.

Pada 1935, Piedro memutuskan untuk mengadakan perjalanan ke Siam, Burma, Sri Lanka, India, dan Tibet, untuk memperkenalkan pertunjukan-pertunjukan mereka. Perjalanan ini disebut Tour d’Orient. Dalam perjalanan itu tidak dipentaskan sandiwara, melainkan tari-tarian Indonesia seperti Serimpi, Bedoyo, Golek, Jangger, Durga, Penca Minangkabau, Keroncong, Penca Sunda, Nyanyian Ambon, dan tari-tarian Papua (Tzu You dalam Sin Po, 1939: 13).

Tour d’Orient adalah perjalanan terakhir Dardanella. Setelah perjalanan itu Dardanella pecah. Dan kisah dua raksasa sandiwara ini pun berakhir…

(b)versi dua

http://img.photobucket.com/albums/v188/missriboet/missdjadanmissriboet1932.jpg*courtecy Mr Schlompe

Dua perkumpulan besar sandiwara berdiri pada 1925 dan 1926, Miss Riboet Orion dan Dardanella. Keduanya merajai dunia sandiwara kala itu. Mereka dikenal terutama karena pemain-pemainnya yang piawai berperan di atas panggung, cerita-ceritanya yang realis, dan punya seorang pemimpin kharismatik.

Kedua perkumpulan ini dikenal sebagai pembenih sandiwara modern Indonesia. Mereka merombak beberapa tradisi yang telah lazim pada masa stambul, bangsawan, dan opera, seperti: membuat pembagian episode yang lebih ringkas dari stambul, menghapuskan adegan perkenalan para tokoh sebelum bermain, menghilangkan selingan nyanyian atau tarian di tengah adegan, menghapus kebiasaan memainkan sebuah lakon hanya dalam satu malam pertunjukan, dan objek cerita sudah mulai berupa cerita-cerita asli, bukan dari hikayat-hikayat lama atau cerita-cerita yang diambil dari film-film terkenal (Oemarjati, 1971: 30-31). Rombongan sandiwara ini juga mulai menggunakan naskah untuk diperankan di atas pentas, menggunakan panggung pementasan, serta mulai mengenal peran seseorang yang mirip sutradara (pada masa itu lazim disebut programma meester, peran ini dimainkan oleh pemimpin perkumpulan).

Perkumpulan sandiwara Orion berdiri di Batavia pada 1925. Rombongan sandiwara ini didirikan serta dipimpin oleh Tio Tek Djien Junior. Tio merupakan  seorang terpelajar pertama yang menekuni secara serius kesenian sandiwara modern. Dia lulusan sekolah dagang Batavia. Primadona mereka adalah Miss Riboet. Selain sebagai istri Tio, Riboet juga terkenal dengan permainan pedangnya. Ia sangat menonjol ketika memerankan seorang perampok perempuan dalam lakon Juanita de Vega karya Antoinette de Zerna. Selanjutnya perkumpulan ini terkenal dengan nama Miss Riboet Orion (Sumardjo, 2004: 115).

Perkumpulan ini semakin mengibarkan bendera ketenarannya setelah masuk seorang wartawan bernama Njoo Cheong Seng dan istrinya Fifi Young. Setelah masuknya Njoo Cheong Seng dan Fifi Young, perkumpulan ini meninggalkan cerita-cerita khayalan yang pada masa stambul dan bangsawan lazim untuk dibawakan ke panggung (Pane, 1953: 9). Kemudian Njoo Cheong Seng menjadi tangan kanan Tio Tek Djien dan bertugas sebagai penulis lakon pada perkumpulan ini dan menghasilkan cerita-cerita, seperti Saidjah, R.A. Soemiatie, Barisan Tengkorak, dan Singapore After Midnight.

Di tengah kepopuleran Miss Riboet Orion, berdiri perkumpulan sandiwara Dardanella di Sidoarjo pada 21 Juni 1926. Sebagaimana Miss Riboet Orion, Dardanella juga telah melakukan perubahan besar pada dunia sandiwara. Dardanella didirikan oleh A. Piedro, seorang Rusia yang bernama asli Willy Klimanoff (Ramadhan KH, 1984: 58). Pada 1929, untuk pertamakalinya Dardanella mengadakan pertunjukan di Batavia. Mulanya lakon-lakon yang dimainkan adalah cerita-cerita berdasarkan film-film yang sedang ramai dibicarakan orang, seperti Robin Hood, The Mask of Zorro, The Three Musketeers, The Black Pirates, The Thief of Baghdad, Roses of Yesterday, The Sheik of Arabia, Vera, dan Graaf de Monte Christo (Ramadhan KH, 1984: 74). Namun pada kunjungan keduanya di Batavia, mereka menghadirkan cerita mengenai kehidupan di Indonesia, seperti Annie van Mendoet, Lilie van Tjikampek, dan De Roos van Tjikembang. Cerita-cerita ini disebut dengan Indische Roman, yaitu cerita-cerita yang mengambil inspirasinya dari kehidupan Indonesia, dikarang dalam bahasa Belanda (Brahim, 1968: 116).

Pada tahun yang sama, seorang wartawan dari majalah Doenia Film, bernama Andjar Asmara, ikut masuk ke dalam perkumpulan ini, dan meninggalkan pekerjaannya sebagai wartawan di majalah tersebut. Seperti halnya Njoo Cheong Seng di Miss Riboet Orion, Andjar kemudian juga menjadi tangan kanan Piedro, dan bertugas sebagai penulis naskah perkumpulan. Andjar Asmara menulis beberapa naskah, seperti Dr. Samsi, Si Bongkok, Haida, Tjang, dan Perantaian 99 (Tzu You dalam Sin Po, 1939: 12). Dardanella juga terkenal dengan pemain-pemainnya yang piawai memegang peranan dalam setiap pertunjukan. Para pemain ini terkenal dengan sebutan The Big Five. Anggota Perkumpulan Dardanella yang disebut The Big Five yaitu, Ferry Kock, Miss Dja, Tan Tjeng Bok, Riboet II, dan Astaman (Tzu You dalam Sin Po, 1939: 11-12).

Persaingan untuk meraih perhatian publik antara Miss Riboet Orion dengan Dardanella terjadi di Batavia pada tahun 1931. Sebenarnya persaingan Miss Riboet Orion dengan Dardanella sudah mulai terlihat ketika dua perkumpulan ini memperebutkan “pengakuan nama” dari salah satu pemainnya, yaitu Riboet. Dalam dua perkumpulan ini ada satu pemain yang namanya sama. Ketika itu Dardanella yang sedang bermain di Surabaya, didatangi dan dituntut oleh Tio Tek Djien, pemimpin Miss Riboet Orion, karena Dardanella mempergunakan nama Riboet juga untuk seorang pemainnya. Tio berkata kepada Piedro, “Kami tidak senang Tuan mempergunakan nama yang  sama, nama Riboet juga untuk pemain Tuan…kami menyampaikan gugatan, Miss Riboet hanya ada satu dan dia sekarang sedang bermain di Batavia”. Akhir dari perseteruan ini adalah mengalahnya Piedro kepada Tio dan merubah nama Riboet yang ada di Dardanella menjadi Riboet II (Ramadhan KH, 1982: 72).

Memang lazim terjadi persaingan antarperkumpulan sandiwara, terutama di kota besar seperti Batavia. Sebelum persaingan dengan Dardanella, Miss Riboet Orion juga pernah bersaingan dengan Dahlia Opera, pimpinan Tengkoe Katan dari Medan, persaingan ini berakhir dengan kemenangan pihak Orion (Tzu You dalam Sin Po, 1939: 11). Wujud dari persaingan antara Miss Riboet Orion dan Dardanella ini adalah pecahnya perang reklame. Dardanella memajukan Dr. Samsi sebagai lakon andalan mereka, sedangkan Miss Riboet Orion dengan Gagak Solo. Dalam persaingan ini, Dardanella mengandalkan A. Piedro, Andjar Asmara, dan Tan Tjeng Bok, sedangkan Miss Riboet Orion mengandalkan Tio Tek Djien, Njoo Cheong Seng, dan A. Boellaard van Tuijl, sebagai pemimpinnya  (Tzu You dalam Sin Po, 1939: 12). Kedua wartawan dalam perkumpulan-perkumpulan itu bekerja dan memutar otak untuk membuat reklame propaganda yang, sedapat-dapatnya, memengaruhi pikiran publik.

Akhirnya Miss Riboet Orion harus menyerah kepada Dardanella. Riwayat Perkumpulan Sandiwara Miss Riboet Orion berakhir pada 1934, ketika penulis naskah mereka Njoo Cheong Seng dan Fifi Young, pindah ke Dardanella.

Dardanella menjadi semakin besar dengan hadirnya anggota-anggota baru seperti Ratna Asmara, Bachtiar Effendi, Fifi Young, dan Henry L. Duarte (seorang Amerika yang dilahirkan di Guam). Dalam Dardanella juga berkumpul tiga penulis lakon ternama, seperti A. Piedro, Andjar Asmara, dan Njoo Cheong Seng, di samping itu, perkumpulan ini diperkuat oleh permainan luar biasa dari bintang-bintang panggungnya seperti Miss Dja, Ferry Kock, Tan Tjeng Bok, Astaman, dan Riboet II.

Pada 1935, Piedro memutuskan untuk mengadakan perjalanan ke Siam, Burma, Sri Lanka, India, dan Tibet, untuk memperkenalkan pertunjukan-pertunjukan  mereka. Perjalanan ini disebut Tour d’Orient. Dalam perjalanan itu tidak dipentaskan sandiwara, melainkan tari-tarian Indonesia seperti Serimpi, Bedoyo, Golek, Jangger, Durga, Penca Minangkabau, Keroncong, Penca Sunda, Nyanyian Ambon, dan tari-tarian Papua (Tzu You dalam Sin Po, 1939: 13).

Tour d’Orient adalah perjalanan terakhir Dardanella. Setelah perjalanan itu Dardanella pecah. Dan kisah dua raksasa sandiwara ini pun berakhir…

b)teater Miss Riboet’s Oreon (1925)

c)It is easy to guess the excitement caused by the upcoming event in the island.And yet, life went on as usual: Miss Riboet – a popular actress and singer backthen – performing on stage garnering applause and favourable reviews in the island’s journals, cigarette and beauty cream advertisements, the automobile andthe new man – The Sportsman – coaxed out of the tennis and golf worlds by theworld of fashion…putting Singapore on the movie map with his filmBring’em Back Alive. Not to mention Wheeler and Woolsey, a pair of British comedians, who, in their day, were more popular than Laurel and Hardy. Much excitement was caused whenthe much-loved Charlie Chaplin and his brother arrived in Singapore in 1932 on their way to the Dutch Indies. Certainly, the Hollywood connection created the image of ‘Cesspool of the East’ for Singapore. Singapore was the object of fascination for movie-makers, writers, travelers, real Kings and Queens or theones populating the screens of the newest art.c)pada 25 November 1950 bersama satu rombongan bintang Indonesia termasuk Fifi Young (pelakon filem Zoebaida) dan Miss Riboet Rawit. datang di singapore.

KISAH SUAMI MISS RIBOET TIO TEK HONG

TIO TEK HONG SUMAI MISS RIBOET ADALAH SEORANG SAUDAGAR KAYA, ia memiliki firma penjualan gramohone and piring hitam.

Selain itu ia juga memproduksi kartupos bergambar kota batavia,lihat beberapa koleksi karya Tio Tek Hong dan illustrasi dari majallah Kiekies van Java folk and landen dibawah ini;

.
 
 
 

 
 

TTH_1045_800w512h.jpgUitgave : Tio Tek Hong, Weltevreden (Batavia). No. 1045

Topeng is a style or genre of masked dance and theatre, with music : West Java. We see here a Betawi (Batavia, now Jakarta) group. A search for the expression will turn up wikipedia and other sources; this is pretty good : Henry Spiller, “Topeng Betawi: The Sounds of Bodies Moving”.   Asian Theatre Journal 16:2 (1999) : 260-267   (accessed 28 January 09)

.
 

TTH_1046_800w510h.jpgUitgave : Tio Tek Hong, Weltevreden (Batavia). No. 1046

Woman may be same as in preceding Topeng card.
 
 

photo, no source information. Another view of Molenvliet Canal, Batavia here; more can be found by searching in the Dutch Atlas of Mutual Heritage (AMH).
 

TTH_1114_800w507h.jpgUitgave : Tio Tek Hong, Weltevreden, “Special Depot of Java postcards.” No. 1114. Obverse bears message to a Mr. C. Inouye, c/o Mitsui Bussan, Osaka, Japan. Postage stamp (and cancellation date) missing.
 
 

Miss Riboet and her arabic song Jasidi

Chassidic Song (jasidi), with video recorded at the Western Wall in Jerusalem, and … 5:27 Add to Added to queue In Jerusalem songArabic by badermansour.

Lagu Jasidi berasal dari Arab dan seirng dinyanyikan brthubungan dengan dinding barat dari Jerusalem,salah satunyayang terkenal oleh penyanyi Bader mansour, berdasarkan fakta piringan hitam diatas,ternyata Miss riboet telah menyanyikan lagu yang populer saat itu.

Miss Riboet and her Tionghoa ethich song Djihong(no info about this song)

1b.Era 1945-1950

(1a)Lagu Melayu dengan penyayi Said Effendi

(1b)Lagu Keroncong dengan pemain biola M.Sagi

1)Irama India with song Djali Djali singer notknown(NN)

 Keroncong M.Sagi Info (google explorations)

iramaI thought that, coupled with the previous post of today, I’d post something languid and tranquil, something somewhat relaxed. So, I brought out another classic Indonesian krontjong piece from the mid-20th century, on the local Irama label. “Irama” actually means “rhythm” in English – thus the title of the piece as well as the name of the record label are explained.

I posted a krontjong tune of the same vintage, and on another independent Indonesian label (Dendang), . This one is similar – it’s the style of krontjong that I quite enjoy, featuring the walking guitar and fiddle player trading runs in between smooth vocals. Krontjong itself is a relatively new type of urban folk music, developing in Indonesian urban areas a little over 100 years ago, with Batavian, Portuguese, Malay, and even African influence. Krontjong had changed dramatically since it was first recorded ca. 1904, and when this record was released (probably the late 1940s or so). The instrumentation was bare bones at first, featuring trios and the like. I’ve heard 1920s krontjong that sounds influenced by Stamboel theater, with a slightly more operatic sound, showing further influences at work. By the 1940s, krontjong was a rage, with whole orchestras and popular singers getting into the act…yet, to me this music is not easily explained. Indonesian-Hawaiian-guitar-and-fiddle-ballads?

As for the singer and band – I’m afraid these are muddy waters. I am mostly sure that “Moh.” stands for Mohammed, and “Kr.” stands for krontjong, but at the risk of being incorrect, I will let the original label stand as the official record

3)Jasa pemain biola M.Sagi

Awalnya dengan nama Kroncong Betawi lalu Kroncong Jakarta” … Di Jakarta saat itu … Susunan instrument seperti ini adalah berkat jasa M.Sagi seorang Violinist keroncong

also in Indonesia (Irama indonesian music co ltd) look below compare with above :

1) Dimin ,Mengenang nasib with M.Sagi Keroncong Orchestra ,productions Irama Record

The other earliest Indonesian records company :

ERA 1960-1970

1. Tiga Band Popular pada tahun 1960,bacalah informasi dibawah ini yang diperoleh dari eksplorasi google :

Gumarang, Teruna Ria, dan Kumbang Tjari

  
IRAMA musik Latin sudah masuk dalam ramuan aransemen musik lagu-lagu Indonesia sejak pertengahan tahun 1955. Pelakunya adalah seorang yang bernama Asbon Majid, pemimpin orkes Gumarang.
Dengan maksud memberi alternatif lain dari seriosa, keroncong, dan hiburan, Asbon memasuki unsur-unsur musik Latin yang pada masa itu memang sedang populer di Indonesia.
SEMENTARA itu, orkes Kumbang Tjari dipimpin oleh Nuskan Syarif, Teruna Ria oleh Oslan Husein, dan Zaenal Combo oleh Zaenal Arifin. Tiga orkes ini memasukkan rock’n’roll pada lagu-lagu Minang dan non-Minang, seperti Kampung Nan Jauh Di Mato, Tirtonadi, dan Bengawan Solo. Menjelang akhir tahun 1953 dan awal 1954, ada beberapa anak muda asal Sumatera Barat yang, antara lain, bernama Alidir, Anwar Anif, Dhira Suhud, Joeswar Khairudin, Taufik, Syaiful Nawas, dan Awaludin yang di kemudian hari menjadi Kepala Polri. Bersama beberapa orang lainnya mereka berkumpul di rumah Yus Bahri di Jalan Jambu, Menteng, Jakarta Pusat. Mereka sepakat mendirikan sebuah grup musik untuk meneruskan kiprah orkes Penghibur Hati yang mendendangkan lagu-lagu Minang. Mereka menamakan grupnya orkes Gumarang. Nama itu diambil dari cerita legendaris Minang, Cindue Mato, yang tokoh utamanya memiliki tiga binatang kesayangan. Tiga binatang itu adalah Kinantan si ayam jantan yang piawai, Binuang si banteng yang gagah perkasa, dan Gumarang si kuda sembrani berbulu putih yang larinya bagaikan kilat sehingga menurut legenda tersebut bisa keliling dunia dalam sekejap. Anwar Anif pun didaulat menjadi pemimpin. Mula-mula yang dibicarakan adalah bagaimana konsep musik yang akan dibawakan untuk lagu-lagu Minang yang sudah dipopulerkan oleh Penghibur Hati melalui Radio Republik Indonesia (RRI) Jakarta. Lagu-lagu Penghibur Hati yang disiarkan radio itu, antara lain, Kaparinyo, Dayung Palinggam, Nasib Sawahlunto, dan Sempaya. Pengaruh lagu-lagu Latin (seperti Melody d’Amour, Besame Mucho, Cachito, Maria Elena, dan Quizas, Quizas, Quizas) yang sedang digemari tak mampu mereka tepis. Oleh sebab itulah musik Latin tersebut menjadi unsur baru dalam aransemen musik Gumarang.  Pada masa itu tidaklah mudah bagi seorang penyanyi atau sebuah grup untuk tampil di RRI. Mereka harus lulus tes di depan sejumlah juri, sebagaimana layaknya peserta sebuah lomba. Walaupun Anwar Anif hanya memimpin selama sembilan bulan, ia berhasil membawa Gumarang lulus tes RRI. Alidir yang menggantikannya ternyata bertahan lebih singkat lagi dan kemudian menyerahkan pimpinan Gumarang kepada Asbon, bulan Mei 1955.
Asbon tidak hanya mempertegas dominasi musik Latin dalam lagu-lagu yang sudah biasa dibawakan Gumarang, tetapi juga pada lagu-lagu baru ciptaannya maupun ciptaan personel Gumarang lainnya. Pada masa Asbon inilah bergabung pianis yang memiliki sentuhan Latin, Januar Arifin, serta penyanyi Hasmanan (kemudian menjadi sutradara), Nurseha, dan Anas Yusuf. Kebesaran Gumarang tidak bisa disangkal berkat seringnya grup ini tampil di RRI dan memeriahkan acara Panggung Gembira. Sukses Gumarang merebut hati masyarakat menyebabkan penampilan orkes itu berlanjut di tempat-tempat lainnya, seperti Istana Negara, Gedung Kesenian, dan Istora Senayan. Pada masa kepemimpinan Alidir, Gumarang sempat merekam sejumlah lagu di bawah naungan perusahaan negara, Lokananta, di Solo. Rekaman dilakukan di Studio RRI Jakarta dan hasilnya dibawa ke Lokananta untuk dicetak dalam bentuk piringan hitam (PH). Dalam rekamannya yang pertama ini Gumarang bermain dengan gendang, bongo, maracas, piano, gitar, dan bas betot. Mereka tetap mempertahankan rentak gamat dan joget sambil memadukannya dengan beguine, rumba, dan cha-cha. Bunyi alat musik Minang, seperti talempong, memang memberikan asosiasi pada irama Latin, demikian juga saluang. Itulah sebabnya irama Latin mudah dipadukan dengan lagu-lagu Minang.
Suyoso Karsono yang memimpin perusahaan rekaman Irama di Jakarta ternyata diam-diam tertarik pada Gumarang. Sebagai seorang pengusaha, orang yang dikenal dengan nama Mas Yos itu tahu bahwa irama yang dibawakan Gumarang bukan saja mampu menyajikan lagu-lagu Minang sesuai dengan aslinya, namun juga memiliki ramuan irama Latin yang amat disukai masyarakat.
“Sebenarnya irama Latin itu hanya dalam tempo, supaya lagu-lagu Minang bisa diterima juga oleh masyarakat di luar Minang,” kata Asbon ketika menerima tawaran Irama untuk merekam sejumlah lagu. Gumarang merekam Ayam Den Lapeh ciptaan A Hamid, Jiko Bapisoh dan Laruik Sanjo ciptaan Asbon, Yobaitu ciptaan Syaiful Nawas, Takana Adiak ciptaan Januar Arifin, Baju Karuang, Ko Upiek Lah Gadang, Titian Nan Lapuak, Nasib Sawahlunto, dan lagu lain-lain yang jelas sekali dipadukan dengan irama cha-cha yang dikenal sebagai pengiring tarian di Amerika Selatan.  “Cha-cha memang sedang menjadi favorit masyarakat waktu itu, sebagaimana kami senang naik becak dari tempat indekos menuju Studio Irama. Kalau selesai rekaman, Nurseha diantar Asbon dengan becak ke rumahnya di Grogol. Soalnya, rekaman yang dimulai pukul delapan malam biasanya selesai pukul dua dini hari,” ujar salah seorang penyanyi Gumarang, Syaiful Nawas, yang sempat menjadi wartawan harian Waspada, Pedoman, Purnama, Trio, Aneka, Sinar Harapan, Abadi, Suara Pembaruan, dan majalah Selecta. “Sayalah yang bertugas menulis semua kejadian karena ikut di dalam proses rekaman. Mas Yos memberikan bahan-bahannya dan saya tulis di berbagai surat kabar serta majalah Selecta dan Varia. Bahkan, harian Pedoman menulis Gumarang dalam tajuk rencananya. Sementara Asbon langsung memberikan PH yang baru dari pabrik ke RRI,” ungkap Syaiful Nawas, kakek dari lima cucu yang sekarang setiap hari berkantor di rumah makan miliknya, Padang Raya.
Hasilnya, Laruik Sanjo dan Ayam Den Lapeh berkumandang tidak hanya di RRI, namun juga di toko-toko yang khusus menjual PH di Jakarta dan luar kota. Pemutaran lagu-lagu Gumarang itu adalah atas permintaan masyarakat yang mendatangi toko-toko itu dan membeli PH mereka. Laruik Sanjo yang berarti larut senja dan Ayam Den Lapeh sebagai analogi kehilangan kekasih, menjadi lagu-lagu populer secara nasional. Sedemikian populernya kedua lagu itu, Laruik Sanjo dilayarputihkan oleh Perfini tahun 1960 dengan sutradara kondang Usmar Ismail serta aktor Bambang Irawan dan aktris Farida Oetojo sebagai pemeran utama. Sementara Stupa Film memproduksi Ayam Den Lapeh pada tahun yang sama dengan sutradara H Asby dan Gondosubroto, sementara Asbon dan Gumarang dipercaya mengisi ilustrasi musik film ini. Ceritanya diambil dari lirik lagunya. Si kucapang si kucapai/ saikua tapang saikua lapeh/Tabanglah juo nan ka rimbo/Oi lah malang juo. Artinya, yang dikejar luput, yang dimiliki terlepas.
Kumbang Tjari
Sementara itu, di Padang tersebutlah seorang pemuda yang gila musik bernama Nuskan Syarif. Saking besar keinginannya bermusik dan memiliki gitar, uang untuk membeli baju Lebaran dibelikannya gitar bekas di tukang loak. Nuskan, yang bangga dengan popularitas Gumarang, pada tahun 1954 sempat berlibur ke Jakarta. Dia tidak menyia-nyiakan kesempatan selama berada di Ibu Kota dan menawarkan lagu ciptaannya, Kok Upiak Lah Gadang, ke Gumarang. Ternyata lagunya diterima dan dimainkan dalam acara Panggung Gembira di RRI. “Lagu itu saya tulis notasi dan liriknya karena tape recorder belum memasyarakat seperti sekarang. Saya kembali ke Padang dan meneruskan karier sebagai penyanyi amatir sambil memperdalam pengetahuan saya bermain gitar,” kata Nuskan yang juga dikenal sebagai guru Pendidikan Jasmani di SMP Negeri I Padang hingga tahun 1960. Pindah ke Jakarta, Nuskan meneruskan karier sebagai guru olahraga, sementara kemampuannya bermain gitar dan mencipta lagu semakin meningkat. Atas saran Anas Yusuf, Nuskan memutuskan bergabung dengan Gumarang. Tetapi, Asbon yang sudah tahu kemampuan anak muda itu justru menyarankannya membentuk grup musik sendiri.
“Itulah awal lahirnya orkes Kumbang Tjari pada tahun 1961. Meskipun saya mengagumi Gumarang, saya berusaha membuat musik yang berbeda. Kalau Gumarang dominan dengan pianonya, Kumbang Tjari mengedepankan melodi gitar,” lanjut Nuskan, ayah dari sembilan anak dan kakek dari 10 cucu. Di sinilah Nuskan menunjukkan keperkasaannya sebagai pemain gitar, bukan hanya dalam soal teknik, namun juga dalam soal eksplorasi bunyi. Petikan gitarnya mengingatkan pendengarnya akan suara saluang, seruling bambu khas Minang. Ciri khas ini belum ada duanya sampai sekarang. Hal ini diperjelas Hasmanan, salah seorang penyanyi Gumarang yang menulis kesan-kesannya di sampul depan PH. “Sebagai orkes baru jang masih harus berdjuang memenangkan simpatik dan popularitas, menarik sekali nafas dan penghajatan jang diberikan ’Kumbang Tjari’ terhadap lagu-lagunja. Hidangan2 mereka terasa masih dekat sekali kepada tjara lagu2 rakjat asli Minang dibawakan. Petikan2 gitar Nuskan Sjarif sering mengingatkan orang akan bunji alat2 musik asli Minang seperti talempong, rebab, dan saluang,” demikian tulisan di sampul depan PH itu.
PH Kumbang Tjari yang pertama ini berisi lagu-lagu Asmara Dara yang dinyanyikan oleh Elly Kasim, Randang Darek dinyanyikan Nuskan Syarif, Taraatak Tangga (Elly Kasim dan kawan-kawan), Mak Tatji (Nuskan Syarif), Apo Dajo (Elly Kasim dan kawan-kawan), Tjita Bahagia (Elly Kasim dan Nuskan Syarif), Cha Cha Mari Cha (Nuskan Syarif), Gadis Tuladan (Nuskan Syarif), Kumbang Djanti (Elly Kasim), Langkisau (Nuskan Syarif dan kawan kawan), Kureta Solok (Nusikan Syarif dan kawan-kawan), dan Oi, Bulan (Elly Kasim dan kawan-kawan). Bersama Kumbang Tjari inilah Elly Kasim menjadi penyanyi lagu-lagu Minang yang belum tergantikan sampai sekarang. Perempuan kelahiran Tiku, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, tanggal 27 September 1942, itu terkenal dengan lagu-lagu seperti Kaparinyo, Dayung Palinggam, Kelok Sembilan, Barek Solok, Lamang Tapai, Sala-lauak, Si Nona, Lansek Manih, Main Kim, Mudiak Arau, dan masih banyak lagi. Lagu-lagu itu telah dimuat dalam puluhan PH, kaset, maupun VCD selama lebih dari 40 tahun.  Namun, Kumbang Tjari kemudian terpaksa vakum ketika Nuskan sebagai guru olahraga menerima untuk ditempatkan di Sukarnapura (sekarang Jayapura), Papua, pada bulan Juli 1963. “Saya sangat menikmati profesi sebagai guru olahraga. Dikirim ke Irian Barat saya anggap sebagai amanat yang harus dilaksanakan. Setelah saya pergi, sayang teman-teman tidak bersedia meneruskan Kumbang Tjari,” ujar Nuskan. Selama di Jayapura, ia sempat juga membina bibit-bibit penyanyi dan menciptakan sejumlah lagu. Lahir di Tebing Tinggi tanggal 4 Januari 1935, dalam usia menjelang 70 tahun sekarang ini, Nuskan masih rajin joging di pagi hari dan tetap siap tampil bersama Kumbang Tjari-nya.  Walaupun hanya dua tahun (1961-1963) di belantika musik, Kumbang Tjari menjadi grup pertama yang tampil di TVRI ketika stasiun televisi pemerintah itu diresmikan tahun 1962. Orkes ini juga mengisi acara pembukaan Bali Room, Hotel Indonesia, dan kemudian tampil bersama Gumarang serta Taruna Ria dalam pertunjukan bertajuk “Tiga Raksasa” di Istora Senayan.
Nuskan kembali ke Jakarta 29 November dan Januari 1969 Kumbang Tjari dibentuk lagi dengan personel yang berbeda dan tidak pakai embel-embel “orkes” lagi. Kumbang Tjari pun kembali dipimpin Nuskan dan seperti sebelumnya mulai masuk studio rekaman dan mengisi berbagai acara panggung hingga tur ke Malaysia bersama Elly Kasim, Benyamin S, Ida Royani, serta Ellya Khadam. Di samping Gumarang dan Kumbang Tjari, juga tidak bisa dilupakan orkes Teruna Ria yang mempertegas irama rock’n’roll dalam lagu-lagu Minang. Bubarnya Teruna Ria menyebabkan penyanyi utamanya, Oslan Husein, mendirikan Osria. Sementara personel lainnya, Zaenal Arifin, mendirikan Zaenal Combo, yang merajai penataan musik rekaman hampir semua penyanyi pada akhir 1960-an sampai awal 1970-an. Penyanyi-penyanyi yang diiringi Zaenal Combo, yaitu Lilies Suryani, Ernie Djohan, Alfian, duet Tuty Subarjo/Onny Suryono, Retno, Patti Sisters, Tetty Kadi, Anna Mathovani, Emilia Contessa, Titi Qadarsih, Angle Paff, atau Lily Marlene. Zaenal Arifin, pencipta lagu Teluk Bayur, meninggal 31 Maret 2002. Asbon tutup usia pada 16 Maret 2004, sedangkan Oslan Husein dan Nurseha mendahului keduanya beberapa tahun sebelumnya.
Mereka memang sudah pergi, tetapi meninggalkan jejak berupa musik Minang dan Indonesia modern. Gumarang dengan irama Latin dan Teruna Ria me-rock’n’roll-kan lagu serta musiknya. Sementara gitar bersuara saluang ala Nuskan Syarif masih bisa dinikmati sampai sekarang bersama Kumbang Tjari-nya.

 

Pada era ini musik barat dilarang diputar di Radio,  sehingga musik dalam negeri memperoleh kesempatan.,sperti lagu minang , seperti cuplikan dari tulisan surat kabar Padang Post dibawah ini:

Sejarah munculnya kreatifitas seniman dalam memopulerkan lagu-lagu Minang. Frans Sartono (kompas.com), menjelaskan, pada era 1950-1960-an, pembatasan pemutaran musik pop Barat di radio berimbas pada kreatifitas seniman lokal untuk berbicara dengan bahasa daerah dalam lirik lagu. Orkes Gumarang yang personelnya adalah Urang Awak mempopulerkan lagu berbahasa Minang, seperti Ayam Den Lapeh sampai Laruik Sanjo. Mereka mengakomodasikan unsur musik Latin yang saat itu banyak digemari di negeri ini. Oslan Husein, dengan bahasa Minang pula, memopulerkan lagu seperti Kampuang nan Jauh di Mato, dan Elly Kasim dikenal lewat Bareh Solok.
Dengan penelusuran yang lebih lengkap mengenai sejarah munculnya lagu-lagu Minang yang bersinergi dengan musik-musik lain, Theodore KS, penulis masalah industri musik (kompas.com) menguraikan, bahwa di masa 50-an muncul grup-grup musik yang menggubah lagu-lagu Minang dengan warna musik lain, seperti musik klasik. Orkes Gumarang dengan irama Latin dan Teruna Ria me-rock’n’roll-kan lagu serta musiknya. Sementara gitar bersuara saluang ala Nuskan Syarif masih bisa dinikmati sampai sekarang bersama Kumbang Tjari-nya. Mereka-mereka ini merupakan grup musik yang dianggap tonggak tua dalam memopulerkan lagu pop Minang ketika itu. Kelahiran grup-grup musik ini ditopang oleh keberhasilan orkes Penghibur Hati yang lebih dulu berdiri dan terkenal dalam mendendangkan lagu-lagu Minang di RRI Jakarta. Lagu-lagu Penghibur Hati yang disiarkan radio itu, antara lain, Kaparinyo, Dayung Palinggam, Nasib Sawahlunto, dan Sempaya. Pengaruh lagu-lagu Latin, seperti Melody d’Amour, Besame Mucho, Cachito, Maria Elena, dan Quizas, yang sedang digemari tak mampu ditepis.
Gumarang yang dilirik oleh perusahaan rekaman Irama pimpinan Suryoso Karsono, merekam Ayam Den Lapeh ciptaan A Hamid dinyanyikan oleh Nurseha , Jiko Bapisah dan Laruik Sanjo ciptaan Asbon, Yo baitu ciptaan Syaiful Nawas, Takana Adiak ciptaan Januar Arifin, Baju Karuang, Ko Upiek Lah Gadang, Titian Nan Lapuak, Nasib Sawahlunto, dan lagu lain-lain, yang jelas sekali dipadukan dengan irama cha-cha yang dikenal sebagai pengiring tarian di Amerika Selatan.

Mengikuti sukses Gumarang, Kumbang Tjari pun tak kalah terkenalnya. Adalah Nuskan Syarif yang menakhodai grup musik yang berdiri tahun 1961 ini. Meskipun mengagumi Gumarang, Nuskan berusaha membuat musik yang berbeda. Kalau Gumarang dominan dengan pianonya, Kumbang Tjari mengedepankan melodi gitar. Di sinilah Nuskan menunjukkan keperkasaannya sebagai pemain gitar, bukan hanya dalam soal teknik, namun juga dalam soal eksplorasi bunyi. Petikan gitarnya mengingatkan pendengarnya akan suara saluang, seruling bambu khas Minang. Ciri khas ini belum ada duanya sampai sekarang.
Memasuki studio rekaman piringan hitam (PH), album Kumbang Tjari yang pertama ini berisi lagu-lagu Asmara Dara yang dinyanyikan oleh Elly Kasim, Randang Darek dinyanyikan Nuskan Syarif, Taratak Tangga (Elly Kasim dan kawan-kawan), Mak Tatji (Nuskan Syarif), Apo Dajo (Elly Kasim dan kawan-kawan), Tjita Bahagia (Elly Kasim dan Nuskan Syarif), Cha Cha Mari Cha (Nuskan Syarif), Gadis Tuladan (Nuskan Syarif), Kumbang Djanti (Elly Kasim), Langkisau (Nuskan Syarif dan kawan kawan), Kureta Solok (Nusikan Syarif dan kawan-kawan), dan Oi, Bulan (Elly Kasim dan kawan-kawan).
Selain Gumarang dan Kumbang Tjari, juga tidak bisa dilupakan orkes Teruna Ria yang mempertegas irama rock’n’roll dalam lagu-lagu Minang.

Bubarnya Teruna Ria menyebabkan penyanyi utamanya, Oslan Husein, mendirikan Osria. Sementara personel lainnya, Zaenal Arifin, mendirikan Zaenal Combo, yang merajai penataan musik rekaman hampir semua penyanyi pada akhir 1960-an sampai awal 1970-an. Penyanyi-penyanyi yang diiringi Zaenal Combo, yaitu Lilies Suryani, Ernie Djohan, Alfian, duet Tuty Subarjo/Onny Suryono, Retno, Patti Sisters, Tetty Kadi, Anna Mathovani, Emilia Contessa, Titi Qadarsih, Angle Paff, atau Lily Marlene.

Seribu lagu setahun

Melihat perkembangan awal lagu-lagu pop Minang ini, wajar saja kalau sebagian penggemar lagu Minang prihatin dan kecewa dengan lagu Minang sekarang. Salah satu faktor yang menyebabkan lagu-lagu Minang tempo dulu bisa hinggap lebih lama di telinga pendengarnya adalah tidak banyaknya industri rekaman, apalagi ditahun-tahun 50-an tersebut. Dalam setahun bisa dihitung dengan jari lagu yang beredar. Belum lagi pada masa itu rekaman piringan hitam (PH) dengan gramafon sebagai medianya. Bahkan untuk tampil di RRI saja harus melewati seleksi yang ketat. “Pada masa itu tidaklah mudah bagi seorang penyanyi atau sebuah grup untuk tampil di RRI. Mereka harus lulus tes di depan sejumlah juri, sebagaimana layaknya peserta sebuah lomba,”

1) Gumarang Orchestra leader Asbon with Singer Yuni Amir ,song Ya Musthapa productions  Mesra Record Inc

 The Song Ya Mustapha history

Ya Mustafa, also spelled Ya Mustapha, is a famous Egyptian song of unclear origin, whose lyrics are composed in 3 different languages: Arabic, French and Italian. There are also versions in the Greek and Turkish languages, where they are very popular in the respective countries (“Μουσταφά”). The music of the song is similar to Greek music. It was very popular in the 1950s and early 1960s. The song has been performed in many different versions by many different singers worldwide. One of the earliest singers to record this song in the 1950s was the Turkish-French singer Dario Moreno. The song became popular in Europe with the help of the Egyptian-born Palestinian singer Bob Azzam, who released it in 1960 in France. Azzam’s version was also a hit on the UK Singles Chart, where it spent 14 weeks and peaked at number 23[1]. In Spain, in 1960, the song reached #1 in the charts in both versions sung by Bob Azzam and by José Guardiola [1]. Bruno Gigliotti, the brother of famous singer Dalida, also covered the song. The song also featured in a few Egyptian movies, including one starring the Egyptian actor Ismail Yassin in the 1950s, and another film featuring Sabah from the same era. In 1975, the Turkish Cypriot actress and singer Nil Burak sang Ya Mustafa. The song was also copied by the Indian composers Nadeem-Shravan. Other singers who reproduced exactly the same song include the Lebanese singer Reeda Boutros and the American singer and actress Angélica María.

This song, with its Greek style music and polyglotic lyrics, can be considered as a historical tribute to the cosmopolitan era in the Egyptian city of Alexandria. During that era, a large cosmopolitan polyglotic community, mainly Greeks, Jews and Italians, lived in Alexandria. A sizable portion lived in the Attarine district, where the events of the song takes place.

The refrain of the song is “Chérie je t’aime, chérie je t’adore, como la salsa del pomodoro” (Darling, I love you, darling, I adore you, like tomato sauce).

The Gumarang Asbon History

Gumarang Orchestra and other Minang record like  Kampuang Nan Jauh Dimato(the homeland which far from eyes)

and Gumarang 1971

Orkes Gumarang

Menjelang akhir tahun 1953 dan awal 1954, ada beberapa anak muda asal Sumatera Barat yang, antara lain, bernama Alidir, Anwar Anif, Dhira Suhud, Joeswar Khairudin, Taufik, Syaiful Nawas, dan Awaludin yang di kemudian hari menjadi Kepala Polri. Bersama beberapa orang lainnya mereka berkumpul di rumah Yus Bahri di Jalan Jambu, Menteng, Jakarta Pusat. Mereka sepakat mendirikan sebuah grup musik untuk meneruskan kiprah orkes Penghibur Hati yang mendendangkan lagu-lagu Minang. Mereka menamakan grupnya orkes Gumarang. Nama itu diambil dari cerita legendaris Minang, Cindue Mato, yang tokoh utamanya memiliki tiga binatang kesayangan. Tiga binatang itu adalah Kinantan si ayam jantan yang piawai, Binuang si banteng yang gagah perkasa, dan Gumarang si kuda sembrani berbulu putih yang larinya bagaikan kilat sehingga menurut legenda tersebut bisa keliling dunia dalam sekejap. Anwar Anif pun didaulat menjadi pemimpin. Mula-mula yang dibicarakan adalah bagaimana konsep musik yang akan dibawakan untuk lagu-lagu Minang yang sudah dipopulerkan oleh Penghibur Hati melalui Radio Republik Indonesia (RRI) Jakarta. Lagu-lagu Penghibur Hati yang disiarkan radio itu, antara lain, Kaparinyo, Dayung Palinggam, Nasib Sawahlunto, dan Sempaya. Pengaruh lagu-lagu Latin (seperti Melody d’Amour, Besame Mucho, Cachito, Maria Elena, dan Quizas, Quizas, Quizas) yang sedang digemari tak mampu mereka tepis. Oleh sebab itulah musik Latin tersebut menjadi unsur baru dalam aransemen musik Gumarang.  Pada masa itu tidaklah mudah bagi seorang penyanyi atau sebuah grup untuk tampil di RRI. Mereka harus lulus tes di depan sejumlah juri, sebagaimana layaknya peserta sebuah lomba. Walaupun Anwar Anif hanya memimpin selama sembilan bulan, ia berhasil membawa Gumarang lulus tes RRI. Alidir yang menggantikannya ternyata bertahan lebih singkat lagi dan kemudian menyerahkan pimpinan Gumarang kepada Asbon, bulan Mei 1955.

 Album Gumarang – Kampuang Nan Jauah di Mato

Asbon tidak hanya mempertegas dominasi musik Latin dalam lagu-lagu yang sudah biasa dibawakan Gumarang, tetapi juga pada lagu-lagu baru ciptaannya maupun ciptaan personel Gumarang lainnya. Pada masa Asbon inilah bergabung pianis yang memiliki sentuhan Latin, Januar Arifin, serta penyanyi Hasmanan (kemudian menjadi sutradara), Nurseha, dan Anas Yusuf. Kebesaran Gumarang tidak bisa disangkal berkat seringnya grup ini tampil di RRI dan memeriahkan acara Panggung Gembira. Sukses Gumarang merebut hati masyarakat menyebabkan penampilan orkes itu berlanjut di tempat-tempat lainnya, seperti Istana Negara, Gedung Kesenian, dan Istora Senayan. Pada masa kepemimpinan Alidir, Gumarang sempat merekam sejumlah lagu di bawah naungan perusahaan negara, Lokananta, di Solo. Rekaman dilakukan di Studio RRI Jakarta dan hasilnya dibawa ke Lokananta untuk dicetak dalam bentuk piringan hitam (PH). Dalam rekamannya yang pertama ini Gumarang bermain dengan gendang, bongo, maracas, piano, gitar, dan bas betot. Mereka tetap mempertahankan rentak gamat dan joget sambil memadukannya dengan beguine, rumba, dan cha-cha. Bunyi alat musik Minang, seperti talempong, memang memberikan asosiasi pada irama Latin, demikian juga saluang. Itulah sebabnya irama Latin mudah dipadukan dengan lagu-lagu Minang.

Suyoso Karsono yang memimpin perusahaan rekaman Irama di Jakarta ternyata diam-diam tertarik pada Gumarang. Sebagai seorang pengusaha, orang yang dikenal dengan nama Mas Yos itu tahu bahwa irama yang dibawakan Gumarang bukan saja mampu menyajikan lagu-lagu Minang sesuai dengan aslinya, namun juga memiliki ramuan irama Latin yang amat disukai masyarakat.

“Sebenarnya irama Latin itu hanya dalam tempo, supaya lagu-lagu Minang bisa diterima juga oleh masyarakat di luar Minang,” kata Asbon ketika menerima tawaran Irama untuk merekam sejumlah lagu. Gumarang merekam Ayam Den Lapeh ciptaan A Hamid, Jiko Bapisoh dan Laruik Sanjo ciptaan Asbon, Yobaitu ciptaan Syaiful Nawas, Takana Adiak ciptaan Januar Arifin, Baju Karuang, Ko Upiek Lah Gadang, Titian Nan Lapuak, Nasib Sawahlunto, dan lagu lain-lain yang jelas sekali dipadukan dengan irama cha-cha yang dikenal sebagai pengiring tarian di Amerika Selatan.  “Cha-cha memang sedang menjadi favorit masyarakat waktu itu, sebagaimana kami senang naik becak dari tempat indekos menuju Studio Irama. Kalau selesai rekaman, Nurseha diantar Asbon dengan becak ke rumahnya di Grogol. Soalnya, rekaman yang dimulai pukul delapan malam biasanya selesai pukul dua dini hari,” ujar salah seorang penyanyi Gumarang, Syaiful Nawas, yang sempat menjadi wartawan harian Waspada, Pedoman, Purnama, Trio, Aneka, Sinar Harapan, Abadi, Suara Pembaruan, dan majalah Selecta. “Sayalah yang bertugas menulis semua kejadian karena ikut di dalam proses rekaman. Mas Yos memberikan bahan-bahannya dan saya tulis di berbagai surat kabar serta majalah Selecta dan Varia. Bahkan, harian Pedoman menulis Gumarang dalam tajuk rencananya. Sementara Asbon langsung memberikan PH yang baru dari pabrik ke RRI,” ungkap Syaiful Nawas, kakek dari lima cucu yang sekarang setiap hari berkantor di rumah makan miliknya, Padang Raya.

Hasilnya, Laruik Sanjo dan Ayam Den Lapeh berkumandang tidak hanya di RRI, namun juga di toko-toko yang khusus menjual PH di Jakarta dan luar kota. Pemutaran lagu-lagu Gumarang itu adalah atas permintaan masyarakat yang mendatangi toko-toko itu dan membeli PH mereka. Laruik Sanjo yang berarti larut senja dan Ayam Den Lapeh sebagai analogi kehilangan kekasih, menjadi lagu-lagu populer secara nasional. Sedemikian populernya kedua lagu itu, Laruik Sanjo dilayarputihkan oleh Perfini tahun 1960 dengan sutradara kondang Usmar Ismail serta aktor Bambang Irawan dan aktris Farida Oetojo sebagai pemeran utama. Sementara Stupa Film memproduksi Ayam Den Lapeh pada tahun yang sama dengan sutradara H Asby dan Gondosubroto, sementara Asbon dan Gumarang dipercaya mengisi ilustrasi musik film ini. Ceritanya diambil dari lirik lagunya. Si kucapang si kucapai/ saikua tapang saikua lapeh/Tabanglah juo nan ka rimbo/Oi lah malang juo. Artinya, yang dikejar luput, yang dimiliki terlepas.

2.Musik Minang ERA 1960-1970

1) Oslan Husein

oslan huseinGumarang, Teruna Ria, dan Kumbang Tjari
IRAMA musik Latin sudah masuk dalam ramuan aransemen musik lagu-lagu Indonesia sejak pertengahan tahun 1955. Pelakunya adalah seorang yang bernama Asbon Majid, pemimpin orkes Gumarang. Dengan maksud memberi alternatif lain dari seriosa, keroncong, dan hiburan, Asbon memasuki unsur-unsur musik Latin yang pada masa itu memang sedang populer di Indonesia.

oslan-tahu

Detail information on musical album is important for history. Look at this album entitled Tahu Tempe by singer Oslan Husein which published by Irama record on 1960-ies. This album attached a note written by Sjahrul Nawas on it’s back cover. Sjahrul Nawas said that this album presented songs concerning about basic need of the Indonesian people in era 1960-ies.

This album responded toward speech of Presiden Soekarno who said that Indonesian people will never been hungry, because Indonesia is a rich country. So that this album presented songs entitled Tahu Tempe (a traditional food made of soya-bean), Nasi Djagung (rice made of corn), Sepiring Nasi (A Plate of Rice).

But what made this album special is a song entitled Lebaran, which became national anthem and sung every Idul Fitri season. Also finally, we know that the composer of this classic song is M. Jusuf, a leader of Orkes Widjaja Kusuma, a band for this album. Who has any information about M. Jusuf? Please share us

2) Nuskan sjarif dengan Orkes  Kumbang Tjari

SEMENTARA itu, orkes Kumbang Tjari dipimpin oleh Nuskan Syarif, Teruna Ria oleh Oslan Husein, dan Zaenal Combo oleh Zaenal Arifin. Tiga orkes ini memasukkan rock’n’roll pada lagu-lagu Minang dan non-Minang, seperti Kampung Nan Jauh Di Mato, Tirtonadi, dan Bengawan Solo.

 

Menjelang akhir tahun 1953 dan awal 1954, ada beberapa anak muda asal Sumatera Barat yang, antara lain, bernama Alidir, Anwar Anif, Dhira Suhud, Joeswar Khairudin, Taufik, Syaiful Nawas, dan Awaludin yang di kemudian hari menjadi Kepala Polri. Bersama beberapa orang lainnya mereka berkumpul di rumah Yus Bahri di Jalan Jambu, Menteng, Jakarta Pusat. Mereka sepakat mendirikan sebuah grup musik untuk meneruskan kiprah orkes Penghibur Hati yang mendendangkan lagu-lagu Minang.

Mereka menamakan grupnya orkes Gumarang. Nama itu diambil dari cerita legendaris Minang, Cindue Mato, yang tokoh utamanya memiliki tiga binatang kesayangan. Tiga binatang itu adalah Kinantan si ayam jantan yang piawai, Binuang si banteng yang gagah perkasa, dan Gumarang si kuda sembrani berbulu putih yang larinya bagaikan kilat sehingga menurut legenda tersebut bisa keliling dunia dalam sekejap. Anwar Anif pun didaulat menjadi pemimpin.

Mula-mula yang dibicarakan adalah bagaimana konsep musik yang akan dibawakan untuk lagu-lagu Minang yang sudah dipopulerkan oleh Penghibur Hati melalui Radio Republik Indonesia (RRI) Jakarta. Lagu-lagu Penghibur Hati yang disiarkan radio itu, antara lain, Kaparinyo, Dayung Palinggam, Nasib Sawahlunto, dan Sempaya.

Pengaruh lagu-lagu Latin (seperti Melody d’Amour, Besame Mucho, Cachito, Maria Elena, dan Quizas, Quizas, Quizas) yang sedang digemari tak mampu mereka tepis. Oleh sebab itulah musik Latin tersebut menjadi unsur baru dalam aransemen musik Gumarang.

Pada masa itu tidaklah mudah bagi seorang penyanyi atau sebuah grup untuk tampil di RRI. Mereka harus lulus tes di depan sejumlah juri, sebagaimana layaknya peserta sebuah lomba.

Walaupun Anwar Anif hanya memimpin selama sembilan bulan, ia berhasil membawa Gumarang lulus tes RRI. Alidir yang menggantikannya ternyata bertahan lebih singkat lagi dan kemudian menyerahkan pimpinan Gumarang kepada Asbon, bulan Mei 1955.

Asbon tidak hanya mempertegas dominasi musik Latin dalam lagu-lagu yang sudah biasa dibawakan Gumarang, tetapi juga pada lagu-lagu baru ciptaannya maupun ciptaan personel Gumarang lainnya. Pada masa Asbon inilah bergabung pianis yang memiliki sentuhan Latin, Januar Arifin, serta penyanyi Hasmanan (kemudian menjadi sutradara), Nurseha, dan Anas Yusuf.

Kebesaran Gumarang tidak bisa disangkal berkat seringnya grup ini tampil di RRI dan memeriahkan acara Panggung Gembira. Sukses Gumarang merebut hati masyarakat menyebabkan penampilan orkes itu berlanjut di tempat-tempat lainnya, seperti Istana Negara, Gedung Kesenian, dan Istora Senayan.

Pada masa kepemimpinan Alidir, Gumarang sempat merekam sejumlah lagu di bawah naungan perusahaan negara, Lokananta, di Solo. Rekaman dilakukan di Studio RRI Jakarta dan hasilnya dibawa ke Lokananta untuk dicetak dalam bentuk piringan hitam (PH).

Dalam rekamannya yang pertama ini Gumarang bermain dengan gendang, bongo, maracas, piano, gitar, dan bas betot. Mereka tetap mempertahankan rentak gamat dan joget sambil memadukannya dengan beguine, rumba, dan cha-cha.

Bunyi alat musik Minang, seperti talempong, memang memberikan asosiasi pada irama Latin, demikian juga saluang. Itulah sebabnya irama Latin mudah dipadukan dengan lagu-lagu Minang.

Suyoso Karsono yang memimpin perusahaan rekaman Irama di Jakarta ternyata diam-diam tertarik pada Gumarang. Sebagai seorang pengusaha, orang yang dikenal dengan nama Mas Yos itu tahu bahwa irama yang dibawakan Gumarang bukan saja mampu menyajikan lagu-lagu Minang sesuai dengan aslinya, namun juga memiliki ramuan irama Latin yang amat disukai masyarakat.

“Sebenarnya irama Latin itu hanya dalam tempo, supaya lagu-lagu Minang bisa diterima juga oleh masyarakat di luar Minang,” kata Asbon ketika menerima tawaran Irama untuk merekam sejumlah lagu. Gumarang merekam Ayam Den Lapeh ciptaan A Hamid, Jiko Bapisoh dan Laruik Sanjo ciptaan Asbon, Yobaitu ciptaan Syaiful Nawas, Takana Adiak ciptaan Januar Arifin, Baju Karuang, Ko Upiek Lah Gadang, Titian Nan Lapuak, Nasib Sawahlunto, dan lagu lain-lain yang jelas sekali dipadukan dengan irama cha-cha yang dikenal sebagai pengiring tarian di Amerika Selatan.

“Cha-cha memang sedang menjadi favorit masyarakat waktu itu, sebagaimana kami senang naik becak dari tempat indekos menuju Studio Irama. Kalau selesai rekaman, Nurseha diantar Asbon dengan becak ke rumahnya di Grogol. Soalnya, rekaman yang dimulai pukul delapan malam biasanya selesai pukul dua dini hari,” ujar salah seorang penyanyi Gumarang, Syaiful Nawas, yang sempat menjadi wartawan harian Waspada, Pedoman, Purnama, Trio, Aneka, Sinar Harapan, Abadi, Suara Pembaruan, dan majalah Selecta.

“Sayalah yang bertugas menulis semua kejadian karena ikut di dalam proses rekaman. Mas Yos memberikan bahan-bahannya dan saya tulis di berbagai surat kabar serta majalah Selecta dan Varia. Bahkan, harian Pedoman menulis Gumarang dalam tajuk rencananya. Sementara Asbon langsung memberikan PH yang baru dari pabrik ke RRI,” ungkap Syaiful Nawas, kakek dari lima cucu yang sekarang setiap hari berkantor di rumah makan miliknya, Padang Raya.

3). Nurseha dengan lagu ayam den lapeh

Hasilnya, Laruik Sanjo dan Ayam Den Lapeh berkumandang tidak hanya di RRI, namun juga di toko-toko yang khusus menjual PH di Jakarta dan luar kota. Pemutaran lagu-lagu Gumarang itu adalah atas permintaan masyarakat yang mendatangi toko-toko itu dan membeli PH mereka. Laruik Sanjo yang berarti larut senja dan Ayam Den Lapeh sebagai analogi kehilangan kekasih, menjadi lagu-lagu populer secara nasional.

Sedemikian populernya kedua lagu itu, Laruik Sanjo dilayarputihkan oleh Perfini tahun 1960 dengan sutradara kondang Usmar Ismail serta aktor Bambang Irawan dan aktris Farida Oetojo sebagai pemeran utama. Sementara Stupa Film memproduksi Ayam Den Lapeh pada tahun yang sama dengan sutradara H Asby dan Gondosubroto, sementara Asbon dan Gumarang dipercaya mengisi ilustrasi musik film ini.

Ceritanya diambil dari lirik lagunya. Si kucapang si kucapai/ saikua tapang saikua lapeh/Tabanglah juo nan ka rimbo/Oi lah malang juo. Artinya, yang dikejar luput, yang dimiliki terlepas.

 Nuansa Minangkabau yang ada di dalam setiap musik Sumatera Barat yang dicampur dengan jenis musik apapun saat ini pasti akan terlihat dari setiap karya lagu yang beredar di masyarat. Hal ini karena musik Minang bisa diracik dengan aliran musik jenis apapun sehingga enak didengar dan bisa diterima oleh masyarakat. Unsur musik pemberi nuansa terdiri dari instrumen alat musik tradisional saluang, bansi, talempong, rabab, dan gandang tabuik.

Ada pula saluang jo dendang, yakni penyampaian dendang (cerita berlagu) yang diiringi saluang yang dikenal juga dengan nama sijobang[14].

Musik Minangkabau berupa instrumentalia dan lagu-lagu dari daerah ini pada umumnya bersifat melankolis. Hal ini berkaitan erat dengan struktur masyarakatnya yang memiliki rasa persaudaraan, hubungan kekeluargaan dan kecintaan akan kampung halaman yang tinggi ditunjang dengan kebiasaan pergi merantau.

Industri musik di Sumatera Barat semakin berkembang dengan munculnya seniman-seniman Minang yang bisa membaurkan musik modern ke dalam musik tradisional Minangkabau. Perkembangan musik Minang modern di Sumatera Barat sudah dimulai sejak tahun 1950-an ditandai dengan lahirnya Orkes Gumarang.

4)Orkes Kumbang Tjari pimpinan Nuskan sjarief produksi Bali Record di bawah pemasaran Remaco

Kumbang Tjari

Sementara itu, di Padang tersebutlah seorang pemuda yang gila musik bernama Nuskan Syarif. Saking besar keinginannya bermusik dan memiliki gitar, uang untuk membeli baju Lebaran dibelikannya gitar bekas di tukang loak. Nuskan, yang bangga dengan popularitas Gumarang, pada tahun 1954 sempat berlibur ke Jakarta. Dia tidak menyia-nyiakan kesempatan selama berada di Ibu Kota dan menawarkan lagu ciptaannya, Kok Upiak Lah Gadang, ke Gumarang. Ternyata lagunya diterima dan dimainkan dalam acara Panggung Gembira di RRI. “Lagu itu saya tulis notasi dan liriknya karena tape recorder belum memasyarakat seperti sekarang. Saya kembali ke Padang dan meneruskan karier sebagai penyanyi amatir sambil memperdalam pengetahuan saya bermain gitar,” kata Nuskan yang juga dikenal sebagai guru Pendidikan Jasmani di SMP Negeri I Padang hingga tahun 1960. Pindah ke Jakarta, Nuskan meneruskan karier sebagai guru olahraga, sementara kemampuannya bermain gitar dan mencipta lagu semakin meningkat. Atas saran Anas Yusuf, Nuskan memutuskan bergabung dengan Gumarang. Tetapi, Asbon yang sudah tahu kemampuan anak muda itu justru menyarankannya membentuk grup musik sendiri.

“Itulah awal lahirnya orkes Kumbang Tjari pada tahun 1961. Meskipun saya mengagumi Gumarang, saya berusaha membuat musik yang berbeda. Kalau Gumarang dominan dengan pianonya, Kumbang Tjari mengedepankan melodi gitar,” lanjut Nuskan, ayah dari sembilan anak dan kakek dari 10 cucu. Di sinilah Nuskan menunjukkan keperkasaannya sebagai pemain gitar, bukan hanya dalam soal teknik, namun juga dalam soal eksplorasi bunyi. Petikan gitarnya mengingatkan pendengarnya akan suara saluang, seruling bambu khas Minang. Ciri khas ini belum ada duanya sampai sekarang. Hal ini diperjelas Hasmanan, salah seorang penyanyi Gumarang yang menulis kesan-kesannya di sampul depan PH. “Sebagai orkes baru jang masih harus berdjuang memenangkan simpatik dan popularitas, menarik sekali nafas dan penghajatan jang diberikan ’Kumbang Tjari’ terhadap lagu-lagunja. Hidangan2 mereka terasa masih dekat sekali kepada tjara lagu2 rakjat asli Minang dibawakan. Petikan2 gitar Nuskan Sjarif sering mengingatkan orang akan bunji alat2 musik asli Minang seperti talempong, rebab, dan saluang,” demikian tulisan di sampul depan PH itu.

Kumbang Tjari

Sementara itu, di Padang tersebutlah seorang pemuda yang gila musik bernama Nuskan Syarif. Saking besar keinginannya bermusik dan memiliki gitar, uang untuk membeli baju Lebaran dibelikannya gitar bekas di tukang loak.

Nuskan, yang bangga dengan popularitas Gumarang, pada tahun 1954 sempat berlibur ke Jakarta. Dia tidak menyia-nyiakan kesempatan selama berada di Ibu Kota dan menawarkan lagu ciptaannya, Kok Upiak Lah Gadang, ke Gumarang. Ternyata lagunya diterima dan dimainkan dalam acara Panggung Gembira di RRI.

“Lagu itu saya tulis notasi dan liriknya karena tape recorder belum memasyarakat seperti sekarang. Saya kembali ke Padang dan meneruskan karier sebagai penyanyi amatir sambil memperdalam pengetahuan saya bermain gitar,” kata Nuskan yang juga dikenal sebagai guru Pendidikan Jasmani di SMP Negeri I Padang hingga tahun 1960.

Pindah ke Jakarta, Nuskan meneruskan karier sebagai guru olahraga, sementara kemampuannya bermain gitar dan mencipta lagu semakin meningkat. Atas saran Anas Yusuf, Nuskan memutuskan bergabung dengan Gumarang. Tetapi, Asbon yang sudah tahu kemampuan anak muda itu justru menyarankannya membentuk grup musik sendiri.

“Itulah awal lahirnya orkes Kumbang Tjari pada tahun 1961. Meskipun saya mengagumi Gumarang, saya berusaha membuat musik yang berbeda. Kalau Gumarang dominan dengan pianonya, Kumbang Tjari mengedepankan melodi gitar,” lanjut Nuskan, ayah dari sembilan anak dan kakek dari 10 cucu.

Di sinilah Nuskan menunjukkan keperkasaannya sebagai pemain gitar, bukan hanya dalam soal teknik, namun juga dalam soal eksplorasi bunyi. Petikan gitarnya mengingatkan pendengarnya akan suara saluang, seruling bambu khas Minang. Ciri khas ini belum ada duanya sampai sekarang. Hal ini diperjelas Hasmanan, salah seorang penyanyi Gumarang yang menulis kesan-kesannya di sampul depan PH.

“Sebagai orkes baru jang masih harus berdjuang memenangkan simpatik dan popularitas, menarik sekali nafas dan penghajatan jang diberikan ’Kumbang Tjari’ terhadap lagu-lagunja. Hidangan2 mereka terasa masih dekat sekali kepada tjara lagu2 rakjat asli Minang dibawakan. Petikan2 gitar Nuskan Sjarif sering mengingatkan orang akan bunji alat2 musik asli Minang seperti talempong, rebab, dan saluang,” demikian tulisan di sampul depan PH itu.

5) Elly Kasim

PH Kumbang Tjari yang pertama ini berisi lagu-lagu Asmara Dara yang dinyanyikan oleh Elly Kasim, Randang Darek dinyanyikan Nuskan Syarif, Taraatak Tangga (Elly Kasim dan kawan-kawan), Mak Tatji (Nuskan Syarif), Apo Dajo (Elly Kasim dan kawan-kawan), Tjita Bahagia (Elly Kasim dan Nuskan Syarif), Cha Cha Mari Cha (Nuskan Syarif), Gadis Tuladan (Nuskan Syarif), Kumbang Djanti (Elly Kasim), Langkisau (Nuskan Syarif dan kawan kawan), Kureta Solok (Nusikan Syarif dan kawan-kawan), dan Oi, Bulan (Elly Kasim dan kawan-kawan).

Bersama Kumbang Tjari inilah Elly Kasim menjadi penyanyi lagu-lagu Minang yang belum tergantikan sampai sekarang. Perempuan kelahiran Tiku, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, tanggal 27 September 1942, itu terkenal dengan lagu-lagu seperti Kaparinyo, Dayung Palinggam, Kelok Sembilan, Barek Solok, Lamang Tapai, Sala-lauak, Si Nona, Lansek manih, Main Kim, Mudiak Arau, dan masih banyak lagi. Lagu-lagu itu telah dimuat dalam puluhan PH, kaset, maupun VCD selama lebih dari 40 tahun.

Namun, Kumbang Tjari kemudian terpaksa vakum ketika Nuskan sebagai guru olahraga menerima untuk ditempatkan di Sukarnapura (sekarang Jayapura), Papua, pada bulan Juli 1963. “Saya sangat menikmati profesi sebagai guru olahraga. Dikirim ke Irian Barat saya anggap sebagai amanat yang harus dilaksanakan. Setelah saya pergi, sayang teman-teman tidak bersedia meneruskan Kumbang Tjari,” ujar Nuskan.

Selama di Jayapura, ia sempat juga membina bibit-bibit penyanyi dan menciptakan sejumlah lagu. Lahir di Tebing Tinggi tanggal 4 Januari 1935, dalam usia menjelang 70 tahun sekarang ini, Nuskan masih rajin joging di pagi hari dan tetap siap tampil bersama Kumbang Tjari-nya.(salam kepada Pak Nuskan sjarief,masih ingat saya Goan pemain tenis yang dilatih oleh ayah anda alm Bachtiar sjarief di Padang,masih ingat kita pernah bertemu dilapangn seberang sungai dikaki bukit gunung padang dulu sekitar tahun 1960,nama saya sekarang Iwan Suwandy-Dr Iwan)

Walaupun hanya dua tahun (1961-1963) di belantika musik, Kumbang Tjari menjadi grup pertama yang tampil di TVRI ketika stasiun televisi pemerintah itu diresmikan tahun 1962. Orkes ini juga mengisi acara pembukaan Bali Room, Hotel Indonesia, dan kemudian tampil bersama Gumarang serta Taruna Ria dalam pertunjukan bertajuk “Tiga Raksasa” di Istora Senayan.

Nuskan kembali ke Jakarta 29 November dan Januari 1969 Kumbang Tjari dibentuk lagi dengan personel yang berbeda dan tidak pakai embel-embel “orkes” lagi. Kumbang Tjari pun kembali dipimpin Nuskan dan seperti sebelumnya mulai masuk studio rekaman dan mengisi berbagai acara panggung hingga tur ke Malaysia bersama Elly Kasim, Benyamin S, Ida Royani, serta Ellya Khadam.

Di samping Gumarang dan Kumbang Tjari, juga tidak bisa dilupakan orkes Teruna Ria yang mempertegas irama rock’n’roll dalam lagu-lagu Minang. Bubarnya Teruna Ria menyebabkan penyanyi utamanya, Oslan Husein, mendirikan Osria. Sementara personel lainnya, Zaenal Arifin, mendirikan Zaenal Combo, yang merajai penataan musik rekaman hampir semua penyanyi pada akhir 1960-an sampai awal 1970-an.

Penyanyi-penyanyi yang diiringi Zaenal Combo, yaitu Lilies Suryani, Ernie Djohan, Alfian, duet Tuty Subarjo/Onny Suryono, Retno, Patti Sisters, Tetty Kadi, Anna Mathovani, Emilia Contessa, Titi Qadarsih, Angle Paff, atau Lily Marlene.

Zaenal Arifin, pencipta lagu Teluk Bayur, meninggal 31 Maret 2002. Asbon tutup usia pada 16 Maret 2004, sedangkan Oslan Husein dan Nurseha mendahului keduanya beberapa tahun sebelumnya.

PH Kumbang Tjari yang pertama ini berisi lagu-lagu Asmara Dara yang dinyanyikan oleh Elly Kasim, Randang Darek dinyanyikan Nuskan Syarif, Taraatak Tangga (Elly Kasim dan kawan-kawan), Mak Tatji (Nuskan Syarif), Apo Dajo (Elly Kasim dan kawan-kawan), Tjita Bahagia (Elly Kasim dan Nuskan Syarif), Cha Cha Mari Cha (Nuskan Syarif), Gadis Tuladan (Nuskan Syarif), Kumbang Djanti (Elly Kasim), Langkisau (Nuskan Syarif dan kawan kawan), Kureta Solok (Nusikan Syarif dan kawan-kawan), dan Oi, Bulan (Elly Kasim dan kawan-kawan). Bersama Kumbang Tjari inilah Elly Kasim menjadi penyanyi lagu-lagu Minang yang belum tergantikan sampai sekarang. Perempuan kelahiran Tiku, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, tanggal 27 September 1942, itu terkenal dengan lagu-lagu seperti Kaparinyo, Dayung Palinggam, Kelok Sembilan, Barek Solok, Lamang Tapai, Sala-lauak, Si Nona, Lansek Manih, Main Kim, Mudiak Arau, dan masih banyak lagi. Lagu-lagu itu telah dimuat dalam puluhan PH, kaset, maupun VCD selama lebih dari 40 tahun.  Namun, Kumbang Tjari kemudian terpaksa vakum ketika Nuskan sebagai guru olahraga menerima untuk ditempatkan di Sukarnapura (sekarang Jayapura), Papua, pada bulan Juli 1963. “Saya sangat menikmati profesi sebagai guru olahraga. Dikirim ke Irian Barat saya anggap sebagai amanat yang harus dilaksanakan. Setelah saya pergi, sayang teman-teman tidak bersedia meneruskan Kumbang Tjari,” ujar Nuskan. Selama di Jayapura, ia sempat juga membina bibit-bibit penyanyi dan menciptakan sejumlah lagu. Lahir di Tebing Tinggi tanggal 4 Januari 1935, dalam usia menjelang 70 tahun sekarang ini, Nuskan masih rajin joging di pagi hari dan tetap siap tampil bersama Kumbang Tjari-nya.  Walaupun hanya dua tahun (1961-1963) di belantika musik, Kumbang Tjari menjadi grup pertama yang tampil di TVRI ketika stasiun televisi pemerintah itu diresmikan tahun 1962. Orkes ini juga mengisi acara pembukaan Bali Room, Hotel Indonesia, dan kemudian tampil bersama Gumarang serta Taruna Ria dalam pertunjukan bertajuk “Tiga Raksasa” di Istora Senayan.

Nuskan kembali ke Jakarta 29 November dan Januari 1969 Kumbang Tjari dibentuk lagi dengan personel yang berbeda dan tidak pakai embel-embel “orkes” lagi. Kumbang Tjari pun kembali dipimpin Nuskan dan seperti sebelumnya mulai masuk studio rekaman dan mengisi berbagai acara panggung hingga tur ke Malaysia bersama Elly Kasim, Benyamin S, Ida Royani, serta Ellya Khadam. Di samping Gumarang dan Kumbang Tjari, juga tidak bisa dilupakan orkes Teruna Ria yang mempertegas irama rock’n’roll dalam lagu-lagu Minang. Bubarnya Teruna Ria menyebabkan penyanyi utamanya, Oslan Husein, mendirikan Osria. Sementara personel lainnya, Zaenal Arifin, mendirikan Zaenal Combo, yang merajai penataan musik rekaman hampir semua penyanyi pada akhir 1960-an sampai awal 1970-an. Penyanyi-penyanyi yang diiringi Zaenal Combo, yaitu Lilies Suryani, Ernie Djohan, Alfian, duet Tuty Subarjo/Onny Suryono, Retno, Patti Sisters, Tetty Kadi, Anna Mathovani, Emilia Contessa, Titi Qadarsih, Angle Paff, atau Lily Marlene. Zaenal Arifin, pencipta lagu Teluk Bayur, meninggal 31 Maret 2002. Asbon tutup usia pada 16 Maret 2004, sedangkan Oslan Husein dan Nurseha mendahului keduanya beberapa tahun sebelumnya.

Album Elly Kasim – Main Kim

Mereka memang sudah pergi, tetapi meninggalkan jejak berupa musik Minang dan Indonesia modern. Gumarang dengan irama Latin dan Teruna Ria me-rock’n’roll-kan lagu serta musiknya. Sementara gitar bersuara saluang ala Nuskan Syarif masih bisa dinikmati sampai sekarang bersama Kumbang Tjari-nya.

Quantcast

Pada  era 1959-1970 Orkes Kumbangtjari dibawah pimpinan Nuskan sjarif ( Saya pernah bertemu dengan Nuskan sekitar tahun 1959, baik dipadang saat lagi berlatih  Tennis lapangan dengan ayahnya alm Pak Bachtiar  Sjarief dan tahun 1959 betermu di Jakarta saat bertanding tennis ke Semarang di Jakarta, terakhir Nuskan sjarif sebagai ppegawai negeri bertugas di Papua barat (IB saat itu) dan menciptakan lagu Apose,dimasnakah Nusakn sjarief saat ini ? harap yang menegtahuinya memebrikan ifo,ayahnya Bachtiar sjarief pelatihku sudah almarhum-Dr Iwan) lihat piringhitam Nuskan sjarif deng orkes Kumbang Tjarinya,djuga lagu Elly Kasim alias cik Unieng dibawah ini:

Elly Kasim, Tiar Ramon dan Yan Juned adalah penyanyi daerah Sumatera Barat yang terkenal di era 1970-an hingga saat ini.

Perusahaan-perusahaan rekaman di Sumatera Barat antara lain: Tanama Record, Planet Record, Pitunang Record, Sinar Padang Record, Caroline Record yang terletak di kota Padang dan Minang Record, Gita Virma Record yang terletak di kota Bukittinggi.

Saat ini para penyanyi, pencipta lagu, dan penata musik di Sumatera Barat bernaung dibawah organisasi PAPPRI (Persatuan Artis Penyanyi Pencipta lagu Penata musik Rekaman Indonesia) dan PARMI (Persatuan Artis Minang Indonesia).

4Promo record label of .Gedung Musik Nusantara Record Inc

Song: Gambus Mahligai and  Naam Sidi

  This song for malay dancer which call ZAPIN, from google eploration I found info about thr song in this album record Gambus Mahligai and Naam sidi.

2.era 1950-1970

1) era 1950-1960

 

(1) Irama record compilation songs Pepaya Mangga Pisang jambu

47 1957 Papaja Mangga Pisang Jambu (kompilasi) Irama Records

 

2) Lagu Orkes Gumarang dibawah pimpinan Asbon produksi mesra record in 1960(the best no 18)

(1) Juni amir with song Ya Mustapha with Gumarang orchestra leader by Asbon

3a. Penyanyi Seriosa denga band pengiirng dipimpin Sajii dan Muchtar EmbutOrang teringat tahun-tahun 50-an dan awal 60-an, ketika lagu
seriosa bukan melulu milik “kalangan elite” seperti yang agaknya
sering diduga kini. Di zaman ketika Koes Bersaudara belum
terdengar, ketika Rahmat Kartolo atau Pepen dan Alfian baru
menginjak usia ancang-ancang, para pemuda menyanyi di kamar
mandi dengan seriosa Iskandar.Seriosa, seperti juga dua jenis lain – langgam alias ‘hiburan’,
dan keroncong – memang jenis lagu “sebelum zaman band”. Juga
jenis lagu yang (kadang-kadang bersama keroncong) lahir di
tengah ideologi musik sebagai benar-benar ‘seni suara: Di situ
dihadapkan pertama kali tuntutan vokal, dengan tekniknya yang
khusus.

Seni itu sulit. Demikian kira-kira pandangan itu. Begitupun
seriosa. Dengarlah nomor-nomor yang dibawakan Wengrum sendiri.
Cita-Cita dari Mochtar Embut, misalnya, boleh mewakili melodi
yang sukar — di samping memang kurang populer. Atau Embun dari
G.R.W. Sinsoe, yang di samping merdu juga boleh dianggap susah
dalam metrum. Tapi juga Puisi Rumah Bambu F.X. Sutopo, atau
bahkan umumnya nomor-nomor seriosa yang ‘top’ — semuanya tampak
menjelajah kemungkinan memanfaatkan pelik-pelik prestasi vokal
itu bagi memunculkan hasil yang “ideal”, tinggi, terstilir alias
tidak sehari-hari.

Dan dalam ‘ujian’ itu, Prana Wengrum lulus. Dari nyonya dokter
ini bisa diterima gebrakan suara yang bahkan harus dinilai
sebagai paling “meraja” – dibanding rekan-rekan lainnya. Tak
hanya keberhasilan teknis — melewati “tikungan-tikungan
berbahaya” tanpa sedikit lejitan. Dengan hanya iringan piano
yang sugestif (Sunarto Sunaryo), suara itu telah menjadikan
semuanya hidup, gempal, dan bersih.

Di sini bedanya dengan kaset Masnun. Suaranya yang lebih gemulai
barangkali memang pantas direngkuh oleh kebasahan iringan sebuah
organ — yang dimainkan oleh komponis Sudharnoto. Tapi di
samping “pameran vokal” tak muncul, yang berhembus kemudian
adalah suasana yang hampir adem ayem belaka.

Masnun memang seorang juara keroncong, nyanyian dengan melodi
yang lancar itu. Ketika ia membawakan nomor Embun yang sama
ciptaan Sinsoc, misalnya, kelihatan perbedaan. Pala Masnun
metrum terasa menjadi sederhana, sementara pada Wengrum
cegatan-cegatan justru merupakan tantangan yang agaknya
digemari.

Sebaliknya, sementara ucapan Masnun masih jelas, pada Wengrum
kejelasan terasa bukan menjadi yang paling penting.

Bisa dipaham. Ada crescendo, keraslemah suara yang tak biasa
dituntut dalam lagu-lagu “hiburan”. Ada vibrasi yang penuh, yang
bukan sekedar alun keroncong atau cengkok Melayu. Di samping
itu stilisasi banyak dikenakan pada ucapan sendiri. Paling tidak
pada Wengrum, dua kata misalnya disatukan pengucapannya untuk
memelihara kontinuitas alun. Untung saja bukan “pembaratan”
diksi seperti pada banyak soprano lain: penambahan h di belakang
k atau t, misalnya.

Betapapun, suara Wengrum dalam kaset terhitung masih lebih jelas
— dari misalnya suara Surti Suwandi, pendekar lain. Konsonan
tidak sampai tenggelam dalam vibrasi dan gaung. Keunggulan lain,
seperti juga pada Surti: teknik tidak terasa sebagai ‘bikinan’.
Emosi lagu mengalir dengan cukup — dan bukan sekedar
“keahlian”.

Himne Tanah Air

Itu terutama penting untuk lagu-lagu yang memang terkenal merdu
dalam khazanah kita. Kisah Mawar di Malam Hari Iskandar, Derita
Sudharnoto, Tempat Bahagia Binsar Sitompul atau Lagu Untuk
Anakku Sjaiful Bachri, misalnya, dibawakan cukup utuh dengan
rohnya.

.Jack Lesmana Orchestra.a

Jack Lesmana

Jack Lesmana

Jack Lesmana (lahir di Jember, Jawa Timur, 18 Oktober 1930 – meninggal di Jakarta, 17 Juli 1988 pada umur

 57 tahun) adalah seorang tokoh musik jazz Indonesia.

Jack Lesmana terlahir dengan nama Jack Lemmers dari ayah seorang Madura dan ibu yang berdarah campuran

Jawa dan Belanda. Ia menggunakan nama “Lemmers”, mengikuti nama ayahnya yang diadopsi oleh seorang Belanda.

Ayah Jack adalah penggemar biola, sementara ibunya pernah menjadi penyanyi dan penari dalam kelompok opera

Miss Riboet.

Pada usia 10 tahun Jack telah pandai bermain gitar. Dua tahun kemudian ia berkenalan dengan musik jazz dengan

bermain dalam sebuah kelompok, Dixieland.

Pada tahun 1960-an, sesuai dengan anjuran Presiden Soekarno tentang indonesianisasi nama-nama, Jack mengubah namanya menjadi Jack Lesmana.

Pada 1979 Jack bersama keluarganya pindah ke Australia selama lima tahun. Jack mengajar di sebuah konservatorium di sana.

Jack Lesmana meninggal dunia di Jakarta pada 17 Juli 1988 setelah lama menderita diabetes. Ia meninggalkan

seorang istri, Nien Lesmana, seorang penyanyi, dan empat orang anak, di antaranya adalah Indra Lesmana,

yang melanjutkan karier ayahnya sebagai pemusik jazz dan Mira Lesmana yang menjadi produser Film Indonesia.

4.Nick Mamahit Orchestra

Nick Mamahit

Nick Mamahit di Jakarta, Desember 2003

Nicholas Maximiliaan Mamahit (Jakarta, 30 Maret 1923–Jakarta, 3 Maret 2004) adalah seorang pianis Jazz asal Indonesia. Musisi berdarah Manado ini pernah mendapatkan pendidikan musik di Amsterdam Music Conservatory pada tahun 1944. Sekembalinya dari Belanda, bersama dengan Dick Abel dan Van Der Capellen, Nick membentuk trio jazz bernama The Progressive

5.Bubby Chen Orchestra

1960 Lagu Gumarang Jang Terkenal Orkes Gumarang  Mesra Records
6.a Bing Slamet

Bing Slamet

Bing Slamet
Bing Slamet
Bing Slamet diawal kariernya sebagai pemusik
Latar belakang
Nama lahir Ahmad Syech Albar
Lahir 27 September 1927
Bendera Indonesia Cilegon, Indonesia
Meninggal 17 September 1974 (umur 46)
Bendera Indonesia Jakarta, Indonesia
Jenis Musik Pop, Pop Melayu
Pekerjaan Aktor, pelawak, penyanyi
Tahun aktif 19391974
Perusahaan rekaman Bali Record
Canary Record
Metropolitan Records
Hubungan
Mempengaruhi
Dipengaruhi
Pasangan Ratna Komala Furi
Anak Uci Bing Slamet
Adi Bing Slamet
Iyut Bing Slamet
Orang tua Rintrik Achmad
Anggota
Mantan Anggota
Mambetarumpajo
Eka Sapta
Trio Los Gitos
Trio SAE
EBI
Kwartet Jaya

Bing Slamet (lahir di Cilegon, Banten, 27 September 1927 – meninggal di Jakarta, 17 September 1974 pada umur 46 tahun) yang dilahirkan dengan nama Ahmad Syech Albar adalah salah satu maestro lawak Indonesia pada masanya bersama Kwartet Jaya, grup yang terdiri dari Bing Slamet, Ateng, Iskak dan Eddy Sud. Namanya sebenarnya pertama kali berkibar ketika bergabung dengan grup musik Eka Sapta yang dimulai pada tahun 1963, bersama beberapa nama terkenal seperti Yamin Wijaya, Ireng Maulana, Itje Kumaunang, Benny Mustafa dan Idris Sardi. Selain itu dia juga banyak bermain dalam film-film komedi pada era tahun 1960-an dan 1970-an.

Untuk mengenangnya Titiek Puspa menciptakan lagu yang berjudul Bing.

Daftar isi

 

//

Awal Karier

Ayahnya seorang mantri pasar bernama Rintrik Achmad. Bing Slamet seolah dilahirkan sebagai penghibur yang bertugas mengibur siapa saja. Bahagia dan gelak tawa kelak merupakan jasa yang ditampilkan Bing dalam kesempatan apa saja termasuk menghibur para pejuang dengan berkeliling Indonesia antara kurun waktu 1942-1945. Di balik corong mikrophone radio, Bing bahkan tampil sebagai agitator yang menyemangati pejuang menghalau kaum penjajah.

Sejak tahun 1939 dalam usia 12 tahun, Bing Slamet telah ikut mendukung Orkes Terang Bulan yang dipimpin Husin Kasimun. Bakat seninya yang luarbiasa mulai terlihat di sini. Setahun menjelang proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, Bing ikut bergabung dengan kelompok teater Pantja Warna.

Tampaknya, seni merupakan dunia yang dipeluk Bing Slamet. Ia bahkan menampik keinginan orang tuanya yang mendamba sang putera tercinta untuk menjadi dokter maupun insinyur. Walau sempat mengenyam bangku HIS Pasundan, HIS Tirtayasa, Sjugakko, dan STM Pertambangan. Pilihan Bing bulat: mengabdi untuk seni.

Bing Slamet lalu bergabung pula pada Divisi I Brawijaya sebagai Barisan Penghibur. Di sini, kemampuannya bermusik dan melawak mulai terasah. Seolah tanpa pamrih, Bing lalu bersedia ditempatkan di kota mana saja. Bing yang mulai masuk Radio Republik Indonesia (RRI) kemudian ditempatkan di Yogyakarta dan Malang. Ia pun sempat bergabung di Radio Perjuangan Jawa Barat.

Di tahun 1949, untuk pertama kali suara baritone Bing Slamet menghiasi soundtrack film Menanti Kasih yang dibesut Mohammad Said dengan bintang A. Hamid Arief dan Nila Djuwita.

Kariernya di bidang tarik suara sebetulnya terlecut ketika memasuki dunia radio. Di RRI, Bing Slamet banyak menyerap ilmu dan pengalaman dari pemusik Iskandar dan pemusik keroncong tenar, M Sagi, serta sahabat-sahabat musikal lainnya seperti Sjaifoel Bachrie, Soetedjo, dan Ismail Marzuki. Dan, yang banyak memengaruhinya adalah penyanyi Sam Saimun yang dikenalnya sejak bertugas di Yogyakarta pada tahun 1944. Bagi Bing, Sam Saimun adalah tokoh penyanyi panutannya. Tak sedikit yang menyebut timbre vokal Bing sangat mirip dengan Sam Saimun.

Main film & Rekaman

Bing Slamet pada tahun 1970-an dalam salah satu film-nya

Di tahun 1950, Bing mulai menjejakkan kaki di dunia sinema sebagai aktor. Antara tahun 1950 sampai 1952, Bing Slamet aktif pada Dinas Angkatan Laut Surabaya dan Jakarta. Di tahun 1952 saat Bing ditempatkan lagi di Jakarta, dia bergabung di RRI Jakarta dan mulai aktif mengisi acara bersama Adi Karso. Bakat dan kemapuan musiknya mulai memuncak saat bergabung di RRI hingga tahun 1962.

Pada tahun 1955, Bing Slamet mulai menoreh prestasi dengan menjadi juara Bintang Radio untuk jenis Hiburan. Piringan Hitam Bing pun mulai dirilis pada label Gembira Record dan Irama Record. Ia terampil menyanyikan langgam keroncong hingga pop dan jazz. Selain menyanyi, Bing pun memainkan gitar sekaligus menulis lagu. Salah satu tembang pertama yang ditulisnya bersama gitaris jazz, Dick Abell, adalah ‘Cemas’ .

Lalu, bermunculanlah lagu-lagu karya Bing Slamet lainnya, semisal ‘Hanya Semalam’, ‘Risau’, ‘Padamu’, ‘Murai Kasih’, hingga ‘Belaian Sayang’. Lagu yang disebut terakhir dianggap sukses di mata khalayak. Bing Slamet bisa menyanyikan dengan fasih lagu berbahasa Minang ‘Sansaro’,dengan luwes Bing menyanyikan lagu ‘Selayang Pandang’ dari ranah Melayu. Bing adalah penyanyi serba bisa yang memiliki fleksibiltas tak tertandingi.

Rekaman rekaman single Bing Slamet di era 50-an diiringi oleh Orkes Keroncong M Sagi dan Irama Quartet yang didukung Nick Mamahit (piano), Dick Abell (gitar), Max Van Dalm (drum), dan Van Der Capellen (bas). Bing Slamet pun membangun sebuah kelompok musik yang diberi nama Mambetarumpajo, merupakan akronim dari Mambo, Beguine, Tango, Rhumba, Passo Double, dan Joged, yang saat itu adalah jenis musik untuk mengiringi dansa.

Di tahun 1963, pria ini membentuk sebuah grup musik yang diberi nama Eka Sapta dengan pendukungnya, antara lain Bing Slamet (gitar, perkusi, vokal), Idris Sardi (bass,biola), Lodewijk Ireng Maulana (gitar, vokal), Benny Mustapha van Diest (drum), Itje Kumaunang (gitar), Darmono (vibraphone), dan Muljono (piano). Eka Sapta menjadi fokus perhatian, karena keterampilannya memainkan musik yang tengah tren pada zamannya. Eka Sapta lalu merilis sejumlah album pada label Bali Record, Canary Record, dan Metropolitan Records, yang kelak berubah menjadi Musica Studio’s. Eka Sapta adalah kelompok musik pop yang terdepan di negeri ini pada era 60-an hingga awal 70-an.

Bing Slamet hebatnya mampu membagi konsentrasi antara bermain musik, menyanyi, bikin lagu, melawak, dan main film layar lebar. Setidaknya ada 20 film layar lebar yang dibintanginya, mulai dari era film hitam putih hingga berwarna. Bing pun tercatat beberapa kali membentuk grup lawak antara era 50-an hingga 70-an di antaranya Trio Los Gilos, Trio SAE, EBI, dan yang paling lama bertahan adalah Kwartet Jaya bersama Ateng, Iskak, dan Eddy Soed.[1]

Kehidupan Pribadi

Sampul muka majalah Tempo pada akhir 1974 yang turut berduka atas meninggalnya Bing Slamet

Bing menikah dengan Ratna Komala Furi dan dikaruniai delapan anak yaitu :

 Diskografi

Cover Album Bing Slamet dengan Eka Sapta Band

 Album solo

  • Menanti Kasih (Lokananta)
  • Nurlaila (Irama Records)
  • Puspa Ragam Lagu Indonesia No 49 ‘Seruan Gembala’ (Irama -IRA 65)
  • Puspa Ragam Lagu Indonesia No 50 ‘Aju Kesuma’ (Irama -IRA 66)
  • Kr Moritsu – Bing Slamet dan Orkes Kerontjong M Sagi (Irama – IRK 125-1)
  • Es Lilin/Panon Hideung – Bing Slamet & Melodi Ria (Gembira Records RN 003)
  • Varia Malam Eka Sapta Nonstop Revue (Bali Record BLM 7002)
  • Kisah Pasar Baru Feat. Pajung Fantasi (Irama Records)
  • Eka Sapta – Eka Sapta (Mutiara ML 1001)
  • Burung Kutijija – Eka Sapta (Mutiara MEP 007)
  • Kasih Remadja – Eka Sapta (Bali Record BER 007)
  • Souvenir Pemilu 1971 Feat. Pohon Beringin
  • Bing dan Giman Bernyanyi – Eka Sapta (Bali Record 008)
  • Bing Slamet dan Eka Sapta – Eka Sapta (Bali Records BLM 7103)
  • Romi dan Juli – Titiek Puspa & Bing Slamet (Canary Record TCC 1032)
  • Album Kenang-kenangan Bing Slamet – Bali Record BCC01
  • Bing Slamet Tersayang – MGM Records

Album bersama

  • MARI BERSUKA RIA dengan Irama Lenso (Irama LPI 17588) (1965)
  • GAJAH DUNGKUL – Titik Puspa, Bing Slamet dan Indonesia Tiga. (BALI record BLP 7005)
  • Mak Tjomblang – Bing Slamet dan Maya Sopha (Bali Record/Remaco)

 Album kumpulan

  • MERATAP SUNYI. (Ilhamku. -Irama. LPI. 17506)
  • ANEKA 12 Volume 5. (Feat. Nonton Bioskop; Sri Rahayu.-Remaco RLL-015)

Filmografi

6bTitik Puspa

6c.Sam Saimun

Sam Saimun

 
sam-saimun

Penyanyi Sam Saimun yang mempunyai suara lembut, mirip seperti  ssuara poenyanyi Nat King Cole adalah penyanyi keroncong era tahun 60-an, setingkat dengan Ismail Marzuki, Maladi, sang maestro Gesang dan belakangan seperti Waldjinah, Bing Slamet, dan Titiek Puspa. Sayang sekali lagu-lagu keroncong maupun langgam asli milik bangsa Indonesia yang enak dan lembut sudah jarang sekali terdengar.

Bagi generasi yang usianya ddiatas 50-an pasti tidak akan asing lagi dengan lagu seperti ini. Mari kita nikmati suara Sam Saimun yang mantap dan lembut ini.
  1. Selendang Sutra (Sam Saimun)
  2. Sepasang Mata Bola (Sam Saimun)
  3. Rindu Lukisan (Sam Saimun)
  4. Juwita Malam (Sam Saimun)
  5. Dewi Murni (Toto Salmon)

6d.SJAIFUL BAHRI

7.aEllya Khadam & Raffiq

 

Ellya Khadam

 

 

 

Ellya Khadam
Ellya Khadam.jpg
Lahir 23 Oktober 1932
Bendera Indonesia Jakarta, Indonesia
Meninggal 2 November 2009 (umur 77)
Bendera Indonesia Bogor, Jawa Barat
Pekerjaan Penyanyi
Aktris

Ellya Khadam (nama lahir Siti Alya Husnah, dikenal juga dengan nama Ellya Agus, lalu Ellya M. Haris;

lahir di Jakarta, 25 November 1932 – meninggal di Bogor, 2 November 2009 pada umur 76 tahun) adalah

penyanyi, penulis lagu, dan pemeran Indonesia.

Daftar isi

 

//

 Karier

Karier Ellya dimulai sebagai penyanyi dalam Orkes Melayu Kelana Ria pimpinan Adi Karso dan Munif Bahasuan. Orkes inilah yang melahirkan beberapa penulis lagu Melayu populer di tahun 1960-an yang kemudian berkembang menjadi tonggak awal genre musik dangdut kelak.

Ia terkenal sebagai penulis lagu Boneka Dari India dan Pergi Tanpa Pesan yang sangat populer di akhir tahun

 1950-an dan awal 1960-an. Ia juga menyanyikan lagu Beban Asmara (Cipt. Munif B.) dan Ogah Ah!.

Setelah namanya sempat tenggelam oleh penerusnya di tahun 1970-an dan 1980-an, Ellya ternyata masih

terus berkarier di dunia musik hingga beberapa bulan menjelang kematiannya.

Pada tahun 1970-an Ellya juga sibuk mengisi berbagai film (film musik) hiburan Indonesia.

Pribadi

Ellya menjalani masa kecil di Kampung Kawikawi, Manggarai, Jakarta Selatan. Pada usia muda ia dinikahkan.

 Pernikahan yang sempat membuahkan dua anak ini kandas.

Di kampung ini ia mulai belajar menyanyi secara otodidak.

Setelah perceraian ini, Ellya menikah dan bercerai sebanyak dua kali.

Ellya Khadam meninggal dunia 2 November 2009 sekitar pukul 20.00, karena penyakit diabetes yang dideritanya.[1]

7b.Rhoma Irama

Rhoma Irama

Rhoma Irama
Background information
Birth name Raden Oma Irama
Born December 11, 1946 (1946-12-11) (age 64)
Tasikmalaya, West Java, Indonesia
Genres Dangdut
Occupations Musician, songwriter, actor
Instruments Vocals, guitar
Years active 1970–present
Associated acts Soneta Group, Ridho Rhoma
Website http://www.rajadangdut.com

Rhoma Irama (born December 11, 1946, in Tasikmalaya, West Java) is an Indonesian dangdut musician and

occasional actor. During the height of his stardom in the 1970s, he became the self-proclaimed

 Raja Dangdut (King of Dangdut) with his group Soneta.[1]

He was known as his stage name Oma Irama before he made a pilgrimage to Mecca and became a haji.

He later took the name Rhoma Irama, which is an abbreviation of “Raden Haji Oma Irama”

(Raden is an aristocracy title for Javanese and Sundanese cultures). Rhoma Irama is a member of aristocrat class of Sundanese from both his father, Raden Burdah Anggawirya, and mother line.[2]

His career began in the late 1960s when he recorded solo records and with the group Orkes Melayu Purnama.

He sang duets on several record LPs with Indonesian female vocal stars such as Inneke Kusumawati,

 Ellya Khadam, Lily Junaedhy, Vivi Sumanti, and the later to be crowned ‘Queen of Dangdut’, Elvy Sukaesih.

Once Oma broke from recording with the Purnama Group, he eventually formed Orkes Melayu Soneta,

the first so-called Dangdut group. In fact, Oma established the term “Dangdut” with a song by that name from

the early 70’s. He wrote the classics “Kareta Malam” and “Kuda Lumping” which were sung by Elvy Sukaesih.

 Once Soneta was established in the early 70’s, Oma changed his name to Rhoma and went on a decade long run

of successful hit records and films, all of which starred Rhoma playing himself while performing all of his hits.

His 1974 album, Begadang, ranked #11 on Rolling Stone Indonesia‘s “150 Greatest Indonesian Albums of

 All Time” list.[3] Furthermore, the main single “Begadang” claimed the number 24 on the magazine’s

 “150 Greatest Indonesian Songs of All Time” list.[4]

His daughter, Nazila, married a teacher from International Turkish Schools

7c. ALFIAN

8.a Vivi sumanti

 1961  Semalam Di Malaya  Saiful Bahri  Irama Records
i  1962  Bubi Chen And His Fabulous 5  Bubi Chen  Irama
 

Vivi Sumanti

Vivi Sumanti (lahir di Manado, 18 Maret 1953) adalah pemeran Indonesia yang populer di tahun 1970-an.

Aktris yang mempunyai suara merdu ini bersuamikan seorang pilot dan mempunyai dua anak.

7)Ernie Djohan

Ernie Djohan
Lahir 6 April 1951 (umur 59)
Pekerjaan Aktris, penyanyi
Tahun aktif 1962 – sekarang

Ernie Djohan (lahir 6 April 1951; umur 59 tahun) adalah seorang penyanyi Indonesia. Ia adalah anak dari keluarga diplomat M Djohan Bakhaharudin yang pernah bermukim di Den Haag, Belanda dan Singapura. Pada usia 11 tahun ia sudah bernyanyi untuk Radio Talentime 1962 di Singapura.

Di tahun itu juga Ernie Djohan menjadi juara pertama All Singapore’s School Talentime. Rekaman pertama di Singapura pada tahun 1962 dilakukan di Phillips Recording Company. Lagu yang sangat di kenang sepanjang masa di era tahun 1970-an adalah Teluk Bayur dan Kau Selalu Hatiku.

Erny Djohan with the most popular song Teluk bayur production Mesra music inc. 1964 Oslan Husein Oslan Husein Irama Records
7)  1964  Teluk Bayur  Ernie Djohan  Remaco
 
1963 Eka Sapta Eka Sapta Bali Records
         
         
Erny Djohan with the most popular song Teluk bayur production Mesra music inc. 1964 Oslan Husein Oslan Husein Irama Records
7)  1964  Teluk Bayur  Ernie Djohan  Remaco
 

8)Melky Goeslaw

 

Melky Goeslaw (Morotai, Halmahera, 7 Mei 1947 – Jakarta, 20 Desember 2006)

adalah penyanyi Indonesia yang pernah memperoleh sejumlah penghargaan nasional maupun internasional

atas prestasinya dalam bidang seni ini.

Daftar isi

 

//

Karier

Melky pernah menjadi salah satu penyanyi terbaik yang dimiliki Indonesia.

 Lagu-lagu yang dibawakannya banyak yang mendapat sambutan masyarakat. Beberapa lagunya yang terkenal adalah Pergi untuk Kembali, Hiroshima dan Nagasaki dan Tuhan Semesta Alam. Ia sempat bernyanyi duet dengan penyanyi Diana Nasution, dan lagu mereka Bila Cengkeh Berbunga, meledak di pasaran.

 Penghargaan

Pada 1977 ia bersama Diana merebut juara kedua Festival Penyanyi Tingkat Nasional.

 Pada 1995 di Jepang ia memperoleh Penghargaan Kawakami untuk kategori penyanyi pop.Akhir hidup

Melky Goeslaw meninggal dunia setelah menderita sejumlah komplikasi karena kanker payudara stadium empat,

penyakit pada paru-paru, diabetes, dan jantung.

Ia sempat dibawa ke Rumah Sakit MMC, Kuningan, Jakarta, namun karena kondisinya sudah kritis,

ia kemudian dibawa ke Rumah Sakit Pusat Pertamina. Setibanya di Instalasi Gawat Darurat rumah sakit itu,

ternyata Melky telah meninggal dunia, kemungkinan selagi di perjalanan.

Keluarga

Melky Goeslaw mempunyai beberapa orang anak, salah satunya adalah Melly Goeslaw yang juga menjadi penyanyi

dan pencipta lagu. Anaknya, Tansa Goeslaw, sudah lebih dulu mendahuluinya.

1965 Jang Pertama Dara Puspita Mesra Records
  1966 Doa Ibu Titiek Puspa Irama
         
  1967 To The So Called The Guilties Koes Bersaudara Mesra Records
         
 9.LILIS SURYANI 1969 Dheg Dheg Plas Koes Plus Melody
 10.TETY KADI11.PATTY SISTERS12.DARA PUSPITA 1970 Koes Plus Volume 2 Koes Plus Dimitra
 Awal pembentukanPopularitas dan sensasional grup ini baru terjadi setelah Titiek Hamzah sebagai pemetik bas menggantikan Liespada 3 April 1965. Lies meninggalkan Dara Puspita selama sebulan untuk menyelesaikan sekolahnya.Ketika dia kembali, Lies justru menggantikan Ani, sementara Titiek Hamzah tetap dipertahankan.Dengan formasi Titiek AR, Lies, Titiek Hamzah, dan Susy, mereka tampil pertama kali di Bandung bersama Yanti Bersaudara dan Erni Djohan. Mulai saat itu, keempat dara Kota Buaya itu mendapat sambutan yang luar biasa daripenonton.Keunikan mereka diatas panggung adalah dengan melakukan hal-hal yang tak dilakukan grup-grup pria.

Mereka berjingkrak dan menjerit sambil meraung-raungkan alat musiknya sehingga sering lirik lagu menjadi

 tidak terdengar. Tetapi, banyak yang naik ke atas pentas ikut berjoget.

Sambutan penonton tidak hanya di Tanah Air. Dalam pertunjukan mencari dana di Kuala Lumpur (Malaysia) awal

November 1967, mereka dielu-elukan ribuan penonton yang juga berebut bersalaman dan minta tanda tangan.

Pada kesempatan itu, Dara Puspita tampil bersama pelawak dan penyanyi Alwi serta Oslan Husein.

Personil

Dalam kehidupan sehari-hari, keempat gadis itu termasuk “anak mami”. Lies, misalnya, patuh kepada orangtuanya

 sehingga dia baru giat bermain gitar ketika duduk di bangku SMA. Padahal, kakaknya, Titiek AR, sudah ngeband

sejak SMP.

Titiek AR yang lahir 19 Januari 1946 dan Lies 30 Januari 1948 adalah dua dari 10 anak Adjie Rachman, yang pada

masa mudanya dikenal sebagai pemusik keroncong. Meskipun orangtuanya mula-mula tidak setuju kedua putrinya

bermusik, mereka akhirnya bangga ketika tahu Titiek AR bersama grup sekolahnya menjadi juara.

Sukses Titiek AR ini memacu Lies menekuni gitar dan bahkan juga organ.

Hampir sama dengan Titiek dan Lies, Susy juga tidak didukung orangtua ketika menyatakan niatnya bermusik.

 Namun, ketekunan dan kekerasan hatinya membuat orangtuanya menyerah juga. Susy, kelahiran 5 Juli 1947

dengan nama Sioe Tjuan, adalah salah satu dari tujuh anak pasangan Tjan Tjun Han dan Hanna Elizabeth Nander.

Keterampilan Susy sebagai drummer perempuan dijadikan barometer oleh para penabuh drum cewek lainnya.

Titiek Hamzah, yang lahir di Bukittinggi 16 Januari 1949, merupakan anggota termuda. Sudah suka musik sejak usia

 enam tahun dan bergabung dengan band bocah bersama Jopie Item yang bernama Xaverius.[1] Titiek Hamzah,

satu-satunya anggota Dara Puspita yang masih aktif dalam musik sampai sekarang.

 Konsep musik

Album pertama berjudul Jang Pertama dirilis dalam bentuk piringan hitan berisi lagu lagu Pantai Pataya, Tanah

Airku, Mari Mari, Ali Baba, Kenangan Yang Indah, Burung Kakaktua, Lagu Gembira, dan Surabaya.

Penggarapan musik Titiek Hamzah dan kawan-kawan biasa-biasa saja, bahkan sangat kentara pengaruhnya dari

musik Barat, seperti Everly Brothers atau Rolling Stones. Dengan keterbatasan itu, ternyata mereka berani

membawakan Burung Kakaktua dengan gaya sendiri dalam abum Jang Pertama.

lagu lain “Surabaya” menjadi sedemikian populer sehingga banyak orang beranggapan lagu itu adalah karya Dara

Puspita dan tidak mengira bahwa nomor tersebut merupakan ciptaan kelompok sandiwara Bintang Surabaya pada

 tahun 1928, yang liriknya dimodifikasi oleh A Rachman, ayah Lies dan Titiek.

Sedangkan lahu “Mari Mari” ciptaan Titiek Puspa bisa dikatakan hadir dengan ciri khas mereka yang saat itu

termasuk meledak-ledak dan ceria. Pantai Pataya yang tidak kalah populer dibandingkan Surabaya, ternyata

 menurut Titiek Hamzah, terinspirasi oleh sebuah lagu yang dibawakan grup musik di Bangkok (Thailand) ketika

 mereka tur ke sana. Demikian juga Pusdi dan Aku Pergi yang tercipta di Negeri Gajah Putih itu.

Dalam penciptaan lagu, Dara Puspita tidak merasa seterampil grup-grup musik sekarang. Itulah sebabnya Jang

Pertama mengandalkan lagu-lagu Titiek Puspa, Yon Koeswoyo (Kenangan Yang Indah), serta A Rachman dalam

penulisan lirik.

Demikian juga pada tiga album selanjutnya. Album kedua berisi lagu-lagu Titiek Puspa, selain karya Titiek Hamzah.

 Titiek Puspa tetap diandalkan dalam album ketiga, Green Green Grass Of Home, dan album keempat, A Go Go.

Dalam album ketiga, mereka membawakan Green Green Grass Of Home yang dipopulerkan oleh Tom Jones dan

juga Lonely Street (Clarence Henry dan Andy Williams). Pada album keempat, lagu Bee Gees, To Love Somebody,

 dinyanyikan dengan aransemen yang nyaris tak berubah dengan yang asli.

Tour Eropa

Dara Puspita berangkat ke Eropa pada Juli 1968. Tetapi, sebelumnya mereka mampir di Iran. Kalau keempat gadis

itu selalu memperoleh bantuan teknisi ketika memasang dan mempersiapkan alat sebelum pertunjukan di Tanah Air,

 di luar negeri mereka harus melakukannya sendiri. Kepanikan terjadi ketika kabel putus atau peralatan suara yang

 berat salah tempat dan harus dipindahkan. Untung, Moerdiono yang memimpin mereka berusaha membantu

sebagai juru bahasa.

Titiek Hamzah dan kawan-kawan merasa terhibur ketika pertunjukan mereka memperoleh sambutan meriah.

 Bahkan, seorang pangeran dari Kerajaan Iran waktu itu minta dinyanyikan lagi lagu Kakaktua.

Dari Iran mereka ke Jerman Barat dan Turki. Perjalanan terasa semakin berat, dari satu pertunjukan ke

pertunjukan lainnya tidak jarang harus menempuh perjalanan sampai 100 kilometer. Begitu tiba, mereka langsung

membongkar dan kemudian memasang semua peralatan. Untung saja sejak di Jerman Barat mereka dibantu

roadies yang mengurusi peralatan. Jadi, pada tur di Hongaria, keempat dara bisa konsentrasi menyiapkan lagu saja.

Perjalanan di Hongaria berakhir bulan Oktober 1969, atau satu tahun tiga bulan setelah mereka meninggalkan

Tanah Air. Selama kurun waktu itu, Dara Puspita mengadakan lebih dari 250 pertunjukan di 70 kota besar dan

 kecil. Pada saat itulah mereka berkenalan dengan dua dari empat manajer yang menangani mereka di Inggris.

Di London, Dara Puspita tinggal di daerah Chelsea, tidak jauh dari Carnaby Street dan Oxford Street di pusat ibu

kota Inggris itu. Di sini, Titiek AR, Lies, Susy, dan Titiek Hamzah diperkenalkan kepada Collin Johnson dari NEM

 Enterprise, yang menangani The Beatles pada awal kariernya.

Sebelum meninggalkan Inggris menuju ke Perancis, Dara Puspita menghasilkan singel Ba Da Da Dum dan Dream

 Stealer. Singel ini pun senasib dengan yang sebelumnya. Tetapi, Dara Puspita segera melupakannya. Dari Perancis

 mereka menuju ke Belgia, Spanyol, dan Belanda.

Di Belanda, beberapa bulan sebelum kepulangan mereka ke Indonesia, tepatnya pada 11 September 1971,

Titik Hamzah sempat menyatakan mundur secara tertulis dari Dara Puspita.[1] Hal tersebut menunjukkan telah

 terjadinya ketidakharmonisan di antara mereka, bahkan sejak masih berada di Eropa Kembali ke Indonesia

Dara Puspita kembali ke Indonesia tanggal 3 Desember 1971 dan disambut bagaikan supergroup, sebagaimana

 Deep Purple yang mendarat di Bandara Kemayoran enam tahun kemudian. Jadwal pertunjukan sudah menunggu

walaupun ada isu Dara Puspita sebenarnya sudah bubar.

Tidak heran jika Dara Puspita menebarkan sensasi tentang rencana bubar itu. Ketika tur di sejumlah kota, rumor

tentang hal tersebut semakin menjadi-jadi. Apalagi masyarakat ingin tahu apa saja yang mereka peroleh setelah

 tiga tahun lebih berada di Eropa.

Hanya 15 hari setelah menjejakkan kaki di Indonesia, Dara Puspita tampil pada 18-19 Desember 1971 di Istora

 Senayan bersama Panbers dan The Rollies, disaksikan sekitar 23.000 penonton. Tanggal 31 Desember 1971

mereka unjuk gigi di Pandaan bersama The Rollies, The Gembels, Yeah Yeah Boys, Vivi Sumanti, dan

Nidya Sisters.

Kemudian mereka tur ke Malang, Bandung, Denpasar, Banyuwangi, Lumajang, Probolinggo, Kediri, Tulungagung,

 Madiun, Jember, Yogyakarta, Solo, Tasikmalaya, Tegal, Surabaya, dan 29 Maret 1972 di Jakarta sebagai tur

terakhir di Pulau Jawa. Pertunjukan ini mempunyai arti tersendiri bagi Susy dan Yon Koeswoyo karena mereka

 berpacaran meskipun tidak sampai ke pernikahan.

Setelah pertunjukan terakhir di Jakarta itu, Dara Puspita terbang ke Manado dan Makassar. Setelah itu Dara

Puspita dinyatakan bubar, antara lain setelah Titiek Hamzah berkeras ingin menarik diri. Susy berusaha membujuk

 dengan mengatakan Dara Puspita sedang berada pada puncak karier dan sayang kalau harus bubar saat itu.[2]

 Diskografi

Album

Single

 

1969 Si Djampang Benjamin S. Melody

 

Frame Three:

The Indonesia legendary music record historic collections

1.Indonesian legendary Music record 1950-2007

150 Album Indonesia Terbaik Versi Majalah Rolling Stone

(Dialihkan dari 150 Album Indonesia Terbaik Majalah Rolling)

Sampul Majalah Rolling Stone Indonesia Edisi #32 Desember 2007.

150 Album Indonesia Terbaik Majalah Rolling Stone adalah daftar album-album musik Indonesia yang menjadi pilihan Majalah Rolling Stones Indonesia sebagai 150 album musik Indonesia Terbaik Sepanjang Masa. Daftar ini diterbitkan dalam Majalah Rolling Stone Indonesia edisi #32 Desember 2007. [1][2]

Daftar ini digodok dan disusun oleh empat kontributor Majalah Rolling Stone Indonesia, yaitu Denny MR (wartawan senior), Denny Sakrie (pengamat musik senior dan kolektor musik), David Tarigan (pendiri Aksara Records, kolektor musik) dan Theodore KS (pengamat musik senior). Daftar yang mereka susun dan terbitkan tersebut menuai berbagai macam kritik dan kontroversi dari para penggemar musik di Indonesia. [3] [4]

The complete Table ( Daftar lengkap)

Posisi Tahun rilis Album Artis Label Rekaman
1 1977 Badai Pasti Berlalu Chrisye dkk. Irama Mas
2 1976 Guruh Gipsy Guruh Gipsy Guruh Gipsy
3 1978 Lomba Cipta Lagu Remaja 1978 (kompilasi) DD Record
4 1969 Dheg Dheg Plas Koes Plus Melody
5 1991 Suit… Suit… He… He… (Gadis Sexy) Slank Project Q
6 1967 To The So Called The Guilties Koes Bersaudara Mesra Records
7 1975 Api Asmara Rien Djamain Hidayat
8 1989 Swami Swami Airo Production
9 1994 4 Through The Sap PAS Nova / Sap
10 1977 Ken Arok Harry Roesli Eterna Record
11 1974 Begadang Oma Irama Yukawi
12 1977 Yopie Item & Idris Sardi Live Yopie Item & Idris Sardi Pramaqua
13 1979 Musik Saya Adalah Saya Yockie Soerjoprajogo Musica Studio’s
14 1964 Koes Bersaudara Koes Bersaudara Irama Records
15 1992 Roxx Roxx Blackboard
16 1996 Pure Saturday Pure Saturday Bacott / Ceepee
17 1980 Sakura Fariz RM Akurama
18 1960 Lagu Gumarang Jang Terkenal Orkes Gumarang Mesra Records
19 1971 Trio Bimbo 1971 Trio Bimbo Polydor
20 1965 Jang Pertama Dara Puspita Mesra Records
21 1970 Koes Plus Volume 2 Koes Plus Dimitra
22 1998 Naif Naif Bulletin Records
23 1979 Camellia I Ebiet G. Ade Jackson Records
24 1984 Citra Ceria Vina Panduwinata Jackson Records
25 1969 Si Djampang Benjamin S. Melody
26 1997 Terbaik Terbaik Dewa19 Aquarius Musikindo
27 1981 Sarjana Muda Iwan Fals Musica Studio’s
28 1979 Kebyar Kebyar Gombloh Golden Hand
29 1991 Kedua Kla Project Pro Sound
30 1971 Koes Plus Volume 4 Koes Plus Mesra Records
31 1985 Tangan Tangan Setan Nicky Astria AMK Records
32 1961 Semalam Di Malaya Saiful Bahri Irama Records
33 1999 Sheila On 7 Sheila On 7 Sony Music
34 1973 Philosophy Gang Harry Roesli’s Gang Lion Record
35 1981 Hotel Van Vincente Transs Akurama
36 1977 Giant On The Move Giant Steps RM Recording
37 1964 Oslan Husein Oslan Husein Irama Records
38 1971 Koes Plus Volume 5 Koes Plus Mesra Records
39 1978 Pemuda Chaseiro Musica Studio’s
40 2005 Centralismo SORE Aksara Records
41 2000 Reborn Indra Lesmana BMG
42 1976 Nyanyian Fajar Leo Kristi Golden Hand
43 1976 God Bless God Bless Pramaqua
44 1978 Di Batas Angan Angan Keenan Nasution Irama Records
45 1978 Duo Kribo Original Soundtrack Duo Kribo Musica Studio’s
46 1995 Dunia GIGI Union Artist
47 1957 Papaja Mangga Pisang Jambu (kompilasi) Irama Records
48 1977 Musim Bunga Franky & Jane Jackson Records
49 1981 Indahnya Sepi Candra Darusman Irama Tara
50 1978 Jurang Pemisah Yockie Soerjoprajogo Pramaqua
51 1978 Sabda alam Chrisye Musica Studio’s
52 1966 Doa Ibu Titiek Puspa Irama
53 1976 Titik Api Harry Roesli Aktuil
54 1981 Panggung Perak Fariz RM Akurama
55 2001 Sesuatu Yang Tertunda PADI Sony Music
56 1991 Kampungan Slank Project Q
57 1979 Puspa Indah Chrisye Musica Studio’s
58 0000 Kisah Pasar Baru Bing Slamet Irama
59 2003 My Diary Mocca Fast Forward Record
60 1987 Krakatau Krakatau Bulletin Records
61 2001 Megaloblast Koil Apocalyse
62 1963 Eka Sapta Eka Sapta Bali Records
63 1962 Bubi Chen And His Fabulous 5 Bubi Chen Irama
64 1990 Kantata Takwa Kantata Airo Production
65 1995 Netral Netral Bulletin Records
66 1979 Kemarau New Rollies Musica Studio’s
67 1989 Mata Dewa Iwan Fals Airo Production
68 1988 Semut Hitam God Bless Logiss Records
69 1994 Orang Gila Iwan Fals Harpa
70 1979 Alam Raya Abbhama Tala & Co.
71 1989 Living In The Western World Fariz RM Grammy
72 2003 Titik Cerah Naif Bulletin Records
73 1972 The Rollies The Rollies Remaco
74 1978 Bahtera Asmara Andi Meriem Matalatta Musica Studio’s
75 1985 Aku Pasti Datang Utha Likumahuwa Jackson Record
76 1976 Manisku Broery Pesolima Hidayat
77 2002 Rumah Ke Tujuh Indra Lesmana BMG
78 1990 Melayang January Christy Aquarius Musikindo / Pro Sound
79 1986 Pasti Karimata Pro Sound
80 1984 Intermezzo Dian Pramana Poetra Jackson Records
81 1973 Sign Of Love The Rollies Purnama
82 1983 Resesi Chrisye Musica Studio’s
83 1991 Bulan Di Asia Java Jazz Union Artist / Jamz
84 2005 White Shoes & The Couples Company White Shoes & The Couples Company Aksara Records
85 1978 Nadia & Atmospheer Lemon Tree’s Anno ’69 Golden Hand
86 1999 Discus 1st Discus Mellow Record
87 2000 Interaksi Humania EMI / Swarabumi
88 1977 Noor Bersaudara Noor Bersaudara Hidayat
89 1992 The Beast EdanE Airo
90 1986 Aku Sayang Kamu! Iwan Fals Musica Studio’s
91 1993 Kidnap Katrina Kidnap Katrina Program Records
92 1976 Barong’s Barong’s Band Nirwana
93 1991 Jézz Karimata Aquarius Musikindo
94 1973 Ghede Chokra’s Shark Move Shark Move
95 1987 Festival Lagu Populer Indonesia 1987 (kompilasi) Bulletin Records
96 2000 Bintang Lima Dewa Aquarius Musikindo
97 1986 Gempita Dalam Dada Harvey Malaiholo Billboard
98 1997 Andai Aku Besar Nanti Sherina Ceepee
99 1979 Rara Ragadi Rara Ragadi Duba Record
100 1983 Produk Hijau WOW! Venus Records
101 1995 In (No) Sensation PAS Aquarius Musikindo
102 1999 Baur Simak Dialog Chico & Ira / Aquarius Musikindo
103 1969 The Rollies The Rollies Popsound / Phillips
104 1982 Trapesium Symphony Akurama
105 2004 Matraman The Upstairs Sirkus Records
106 1997 MK II Puppen Distorsi
107 2004 JKT:SKRG (kompilasi) Aksara Records
108 1976 Pahama Vol.1 Pahama Bimbo Recording System
109 1997 Kubik Kubik Target Pro
110 2003 Save My Soul PADI Sony Music
111 2003 The Brandals The Brandals Sirkus Records
112 2006 V2.05 The Adams Aksara Records
113 2006 Beyond Coma And Despair Burgerkill Revolt
114 2005 1st Maliq & D’Essentials Sould Out / Warner Music Indonesia
115 1997 Masaindahbangetsekalipisan (kompilasi) 40.1.24
116 2004 Bintang di Surga Peterpan Musica Studio’s
117 1993 Ku Ingin Kembali Iwa K Musica Studio’s
118 1988 Ekspresi Titi Dwijayati Granada
119 1994 Cerita Cinta Kahitna Musica Studio’s
120 1997 Keajaiban REZA Aquarius Musikindo
121 2003 Keseimbangan Ari Lasso Aquarius Musikindo
122 2004 High Octane Rock Seringai Parau / Resswara
123 1989 10 Finalis Festival Rock Se-Indonesia Ke V (kompilasi) Logiss Records
124 2006 Tha Nekrophone Dayz (Remnants & Traces From The Years Worth Living) Homicide Subciety
125 1995 Getah Getah Hemagita / WEA
126 1986 Makara Makara Prosound
127 1986 Suara Persaudaraan (kompilasi) Aquarius Musikindo
128 2004 Love and Turbo Action Goodnight Electric HFMF / Aksara Records
129 1979 Pancaran Sinar Petromak Pancaran Sinar Petromak DD Records
130 1992 Behind The 8th Ball Rotor Airo
131 1991 Ta’kan Guest Band Union Artist
132 1964 Teluk Bayur Ernie Djohan Remaco
133 1997 Buaya Ska Waiting Room Waiting Room Records
134 1980 Orexas Remi Sylado Duba
135 1997 Potret II Potret Aquarius Musikindo
136 1991 Power One Power Metal Logiss Records
137 2006 Kembali Berdansa Shaggydog Pops
138 1996 17 th Ke Atas Flowers Aquarius Musikindo
139 1997 Insting Psiko & Harmony Plastik Bulletin Records
140 1997 Waktu Hijau Dulu Cherry Bombshell Bulletin Records
141 1987 Kasmaran Elfa’s Singers Team Records
142 1995 Bidadari Andre Hehanusa Warna Musik
143 2001 Rasa Baru Cokelat Sony Music
144 1963 Balonku Eno & Adi Irama
145 1994 Anak Pantai Imanez Aquarius Musikindo
146 1998 Melly Melly Goeslaw Aquarius Musikindo
147 1993 Albumnya Oppie Oppie Musica Studio’s
148 1999 Ku Ingin The Groove Sony Music
149 2002 Kuta Rock City Superman Is Dead Sony Music
150 1999 Ska-Phobia Tipe-X Pops

2.Indonesian popular music recordings

Recorded music is a reflection of modern Indonesian history and culture—specifically class consciousness, economics and post-colonial identity. Since the early 1970s, the production, marketing and distribution of recorded media, particularly popular music cassettes and VCDs, in Indonesia have evolved in tandem with the archipelago’s ongoing integration of tradition and modernity.
 

//

History

The roots of Indonesia’s history of recorded music practices can be traced to the emergence of nationalism in the early 20th century and the eventual independence of Indonesia from the Dutch in the 1940s. The struggle for a national identity rooted in a synthesis of Eastern and Western perspectives extended into the realm of music, with nationalists suggesting that Indonesia’s national music be a form of indigenized Western music, such as kroncong.[1] This sentiment led to the establishment of state-sponsored conservatories and academies of music in both Java and Bali during the 1950s and 1960s, with similar schools established in Sumatra and Sulawesi during the 1970s. In this roughly twenty year period, the Indonesian government also institutionalized the recording of both traditional and popular music throughout the archipelago with its support of P.N. Lokananta, the national recording company of Indonesia, a branch of the government’s Department of Information since the late 1950s.[2]“Although scholars have detected a gradual narrowing in the geographic and genre purview of Lokananta’s recording and marketing strategies, considering this to be at odds with its status and purpose as a national recording company,[3] the introduction of audiocassette recording technology in the 1960s gave rise to a robust industry of recorded music.[4] In the 1970s, oil wealth and the relatively unrestricted import of cheap tape and recorders led to an extraordinary boom of the Indonesian cassette industry.[5]

Central to the ongoing evolution of Indonesian popular music styles was an inherent tension between dueling aesthetics: gedongan (“refined”, “international”) and kampungan (“vulgar,” “low class,” “backward”). During the 1970s, the most prominent supporter of the gedongan style was Guruh Sukarno (born 1953), son of the first president of Indonesia and a musician since his early teens. Long a student of classical Javanese and Sundanese music while at the same time familiar with Western jazz and classics, Guruh set out in 1974 to elevate existing Indonesian-Western pop music and create a kind of neoclassic, syncretic style that would be at once Indonesian and international.[6] Contrasting in many ways with Rhoma Irama and the many other dangdut singers popular during the 1970s, Guruh Sukarno was a member of the elite class and saw Indonesia’s culture as pluralistic and inescapably mixed with influences from the West.[7] Nevertheless, the 1970s also witnessed a gap between the rich and poor classes. Awareness of this gap, and sensitivity to the condition of the lower classes were central to the popularity of dangdut and the many genres it influenced.[8]

Between the 1970s and 1990s, recorded Indonesian popular music grew to include, like most popular music elsewhere in the world, the use of at least some Western instruments and Western harmony. It was increasingly disseminated through the mass media, performed by recognized stars, and became essentially a “commercial” genre.[9] In the process of reformation (Reformasi) that was put into motion with the resignation of president Suharto and the fall of his New Order regime in 1998, popular music became a common vehicle of protest, and many songs, cassettes and genres were labeled with the adjective reformasi..[10]

Table 1: Average prices of popular music in different recorded formats, 2001-2002[15]
Legal cassette tape of popular music Rp.10,000 – 15,000
   
   
   

Cassettes

Indonesia is said to have the largest cassette industry in the world. Given the country’s cultural and ethnic diversity, the recording industry, and the cassette industry in particular, has displayed great complexity in its structure and in how it serves the many ethnically distinct regions of the country.[16] While the CD and the advent of digital technology has affected the production, dissemination and consumption of Indonesian popular music, cassette tapes remain the preferred source of recorded popular music for most Indonesians. The continued viability of the cassette medium in Indonesia springs from the fact that an audio cassette and the technology required to play it—-a simple cassette player/recorder—-are within the financial means of most Indonesians, including the peasant class.[17] As cassettes and cassette players have penetrated the remotest villages in Indonesia, they have also become part of the vernacular. For example, in addition to the older word ngrekam (“to record”), contemporary Javanese now includes words for the process of recording onto a commercial cassette: “Gendhing kuwi wis dikasetkz” (“That piece has already been recorded on commercial cassette.”).[18] Much of what is available can be classified as “popular” music,” including pop Berat (Western pop) and pop Indonesia (Indonesian pop).[19] Also in abundance is pop Daerah, or regional pop, which is found all across Indonesia. Virtually all genres of pop Daerah are dependent on the cassette medium for their audience. Some Pop Daerah genres are little more than cassette-company experiments, generating only a few performers and a handful of tapes, but others are firmly established, with many performers and steady production. Four genres—-Pop Batak, Pop Minang, Pop Sunda, and Pop Jawa—-are especially solid. In the case of these four, some of the production comes out of Jakarta, relying upon Jakarta-based musicians and Jakarta facilities for recording, printing and distribution. However, most of the other regional genres are produced in their home regions (or in the nearby big cities).[20] As a result, the cassette industry is national, regional, and local in character. The broad marketing of cassettes has not led to a musical homogenization or a weakening of regional styles. Rather, local cassette industries have promoted regional styles because, rather than being large national corporations, they are regional “backyard” enterprises that record, dub, and market local music primarily for local consumption.[21] Commercial cassettes have also shaped the reputations of popular music performers, significantly raising the prestige and earning power of some recording artists while lowering them for others. Scholars have noted a trend towards the equalization of status for genres and marginal traditions through the distribution of cassettes; the cassette industry is said to act as a leveler, blurring the older status distinctions that were still in place a generation ago.[22]

THE END @ copyright Dr Iwan Suwandy 2011

Singapore achieved the fame of an exotic place to see and people throughout theworld rushed to visit. Famous people. Raffles Hotel played host to the world’snew royalty, the kings and queens of Hollywood: Douglas Fairbanks, MarryPickford visited in 1929, Will Rogers and Frank Buck came as well, the latter

14 responses to “Pameran Koleksi Piringhitam Penyanyi dan orkes Legendaris Indonesia 1931-1970(The Indonesia Legendary Singers Exhibition)

  1. Judie Pirngadie

    Artikel yang Bagus, Sayang cerita tentang Lagu2 Indonesia Lama kurang banyak.
    Yang bisa menjadi Referensi buat anak cucu kita kelak.
    Tetapi ini juga sudah baik, mengingat Koleksi anda yang mempeersona.
    Salam.

    • Hallo Judie Pirngadie,
      terima kasih sudah visit Driwan Museum record Cybermuseum, khususnya lagu lama Indonesia.
      Informasi tentang lagu lama Indonesia khususnya nyanyian lagu wayang orang dan Miss riboet
      informasinya sangat sulit diperoleh, kendatipun demikian saya harap banyak kolektor akan
      berkenan membantu saya menghimpun info tentang lagu lama,
      Info yang agak lengakap adalah lagu minang dan tapanuli serta riwayat hidup penyanyi serta orkes
      sebagian dalam bahasa ingris karena justru kolekstor lebih ba yak dari luar negeri/
      Saya mengharap anda dapat memberikan tambahan informasi.
      Salam dari
      Dr Iwan suwandy

  2. Judie Pirngadie

    Kalau boleh saran:
    lebih banyak mengundang orang2 untuk berpartisipasi dalam mengumpulkan Informasi buat tuntunan tentang lagu2 lama Indonesia.
    Mozart & Chopin yang sudah lebih lama saja, bisa ‘mereka’ record.
    Salut dengan Upaya anda.
    Salam

    • hallo Yudie,
      terima kasih atas saran anda
      saya sudah mulai mengelompokan rekaman sesuai dengan jenisnya
      seperti kroncong,lagu tapanuli,lagu minnag,lagau jawa,maluku dsbnya, untuk luar negeri christmas, soundtract film,
      dsbnya.
      memang harus bersabar untuk dapat menghimpun data, karena masih banyak
      lagu-lagu lama yang belum ada info seperti lagu dari Gedung music Indonesia, kroncong dibp Markasan .
      terima kasih atas dukungan anda.
      salam dari
      Dr Iwan suwandy

  3. ini juga salah satu Blog yang perduli akan musik Indonesia.
    blantika.tembang.kenangan.ina@groups.facebook.com
    Silahkan liat2 dan bergabung.

    Tks-JP

    • hallo Judie pirngadie,
      terima kasih sudah vist blog saya,harap berkenan
      membantu saya untuk menambah info sejarah rekam musik Indonesia dan international yang sudah saya add
      salam dari dr Iwan suwandy

  4. Atau boleh di lihat di FB saya : Judie Pirngadie.

  5. Thank you for this informative and well illustrated blog. I am still learning about the music of my fore-fathers.

    I am astounded at the image of the record ‘Djali Djali’. And Bing Slamet too.

    Andy Lim

  6. Thnks dr iwan, ulasannya cukup menggetarkan hati saya… tidak sangka .. ternyata sosok dr iwan tidak kalah dan malahan melebihi ulasan pribumi asli menanggapi seni dan budaya bangsa khususnya di bidang… tksi sekali lagi terima kasih…

    • yth Bin Mngkuto,
      sebenarnya saya etnis pribumi asli Indonesia karena nenek buyut saya bersalh dari minangkabau pesisir selatan,hanya kakek buyut dari tiongkok karena itu
      saya banyak meneliti tentang sejarah Minangkabau,Indonesia dan tanah leluhur saya Tiongkok

  7. saya gak habis pikir… knapa sempat-sempatnya dr iwan menulis detail tentang khazanah lagu-lagu itu… surprise… salut… tabik…. salam hormat.. yang tak terhingga…

    • terima kasih bin mangkuto,saya sudah pensiun dan web blog ini menjadi perkerjaan rutin saya,seperti masuk kantor saja sambil menikmati masa pensiun
      anda bisa baca juga tulisan saya tentang koleksi sejarah indonesia dari sebelum masehi smapai tahun 1967,dan lain-lain
      sekali lagi terima kasih atas duklungan anda

Leave a reply to driwancybermuseum Cancel reply