The Historical Betawi Music Record Development Book One 1900-1950(Sejarah Perkembangan Rekaman Musik Betawi Awal abad Ke-20)

http://img.photobucket.com/albums/v188/missriboet/missdjadanmissriboet1932.jpg

MUSEUM DUNIA MAYA DR IWAN S.

Dr IWAN ‘S CYBERMUSEUM

 THE FIRST INDONESIAN CYBERMUSEUM

  MUSEUM DUNIA MAYA PERTAMA DI INDONESIA

   DALAM PROSES UNTUK MENDAPATKAN SERTIFIKAT MURI

     PENDIRI DAN PENEMU IDE

      THE FOUNDER

    Dr IWAN SUWANDY, MHA

                     

     WELCOME TO THE MAIN HALL OF FREEDOM               

  SELAMAT DATANG DI GEDUNG UTAMA “MERDEKA

The Driwan’s  Cybermuseum

                    

(Museum Duniamaya Dr Iwan)

Showroom : 

 http://img.photobucket.com/albums/v188/missriboet/missdjadanmissriboet1932.jpg

Dr Iwan  Book Cybermuseum

The historical development of   Jakarta Music Record 

 In 20th Century.

Sejarah Perkembangan Rekaman Musik Betawi (1900-1975)

                   Based on

Dr Iwan Rare Old Books and Music Record Collections             

             By

               

     Dr Iwan Suwandy

    Limited Private Publication

   special for premium member

_______________________________________________________________________________

 hhtp://www.Driwancybermuseum.wordpress.com copyright @ Dr iwan Suwandy 2011

___________________________________________ 

TABLE OF CONTENT

1.Preface(Kata Pengantar)

 2.Book One_Buku Pertama:

Betawi Music record Early 20th Century.(Rekaman Musik Betawi Pada Awal Abad Ke-20)

(1) During Dutch East Indie _Masa Hindia Belanda 1900-1942 

(2)During Japanese Occupation _Masa pendudukan Jepang 1942-1945

(3) During Indonesian Independent War _Masa Perang Kemerdekaan Indonesia 1945-1950

3.Book Two-Buku Kedua:

(1) Era Bung Karno 1951-1965

(2) Era Pak Harto 1966-1980

 _____________________________________

Book One :

The Indonesian Betawi  Kroncong Music Development 1900-1950

A.Pre world war two (Before 1942.)

1.KRONCONG STAMBOEL

Miss Riboet Oreon, Germany BEKA RECORDS ,song Tionghoa ethnic song and Arabic ethnic song Jasidi with kroncong Stamboel style.

The Information of The first Indonesian singer record Miss Riboet from google exploration.

1) Kisah singkat Miss Riboet Orion

a)versi satu

a) Miss Riboet Orion ‘s short story(Kisah singkat Miss Riboet Orion)

(a)The First Version(versi satu)

   

Iklan Dardanella.(Dardanella operate label promotion)

Two biggest native Indonesian operates were deveoloped in 1925 and 1926 were Miss Riboet Orion and Dardanella (Dua perkumpulan besar sandiwara berdiri pada 1925 dan 1926, Miss Riboet Orion dan Dardanella).

Keduanya merajai dunia sandiwara kala itu. Mereka dikenal terutama karena pemain-pemainnya yang piawai berperan di atas panggung, cerita-ceritanya yang realis, dan punya seorang pemimpin kharismatik.

Kedua perkumpulan ini dikenal sebagai pembenih sandiwara modern Indonesia. Mereka merombak beberapa tradisi yang telah lazim pada masa stambul, bangsawan, dan opera, seperti: membuat pembagian episode yang lebih ringkas dari stambul, menghapuskan adegan perkenalan para tokoh sebelum bermain, menghilangkan selingan nyanyian atau tarian di tengah adegan, menghapus kebiasaan memainkan sebuah lakon hanya dalam satu malam pertunjukan, dan objek cerita sudah mulai berupa cerita-cerita asli, bukan dari hikayat-hikayat lama atau cerita-cerita yang diambil dari film-film terkenal (Oemarjati, 1971: 30-31). Rombongan sandiwara ini juga mulai menggunakan naskah untuk diperankan di atas pentas, menggunakan panggung pementasan, serta mulai mengenal peran seseorang yang mirip sutradara (pada masa itu lazim disebut programma meester, peran ini dimainkan oleh pemimpin perkumpulan).

The Orion Operete Inc founder at Batavia(now jakarta) by Tio Tek Djiwn yunior, the primadona is Niss Riboet (later Married wir Mr Tio) and Mr Tio also played the swords,specialized as the robery of the women in the opera of Juanita veza written by Antoinette de Vega, after that this opretee becaem famous ad Miss Riboet Orion(Perkumpulan sandiwara Orion berdiri di Batavia pada 1925. Rombongan sandiwara ini didirikan serta dipimpin oleh Tio Tek Djien Junior. Tio merupakan seorang terpelajar pertama yang menekuni secara serius kesenian sandiwara modern. Dia lulusan sekolah dagang Batavia. Primadona mereka adalah Miss Riboet. Selain sebagai istri Tio, Riboet juga terkenal dengan permainan pedangnya. Ia sangat menonjol ketika memerankan seorang perampok perempuan dalam lakon Juanita de Vega karya Antoinette de Zerna. Selanjutnya perkumpulan ini terkenal dengan nama Miss Riboet Orion (Sumardjo, 2004: 115).

This Operete becaem more famous after came in The Journalist Njoo Cheong Seng and his wife Fifi Young ,during this time tje operate created a  imaginative story, then Nyo became the Tios best man which had the duty the story ,his succes with Saijah, R,soemiati,and Singapore at night(Perkumpulan ini semakin mengibarkan bendera ketenarannya setelah masuk seorang wartawan bernama Njoo Cheong Seng dan istrinya Fifi Young. Setelah masuknya Njoo Cheong Seng dan Fifi Young, perkumpulan ini meninggalkan cerita-cerita khayalan yang pada masa stambul dan bangsawan lazim untuk dibawakan ke panggung (Pane, 1953: 9). Kemudian Njoo Cheong Seng menjadi tangan kanan Tio Tek Djien dan bertugas sebagai penulis lakon pada perkumpulan ini dan menghasilkan cerita-cerita, seperti Saidjah, R.A. Soemiatie, Barisan Tengkorak, dan Singapore After Midnight.)

Pertunjukan Dardanella

Di tengah kepopuleran Miss Riboet Orion, berdiri perkumpulan sandiwara Dardanella di Sidoarjo pada 21 Juni 1926. Sebagaimana Miss Riboet Orion, Dardanella juga telah melakukan perubahan besar pada dunia sandiwara.

Dardanella founded by A.Piedro ,the russian man with name Willy Kilimanof. In 1929 starting show at Batavia based on the storyfrom best film like Robinhood,the amsk of Zorro,three musketters, the Black pirates, the Thieve of Baghdad,Sheik of Arabia,the graaf of Monte Cristo,vero, and the rose pf Yesterday. But at the second show Dardanella shown the Indonesia native story like Annie van Mendoet,Lily van tjikampek,the Rose of Tjikemabng based on the Indonesian Stories (Dardanella didirikan oleh A. Piedro, seorang Rusia yang bernama asli Willy Klimanoff (Ramadhan KH, 1984: 5cool. Pada 1929, untuk pertamakalinya Dardanella mengadakan pertunjukan di Batavia. Mulanya lakon-lakon yang dimainkan adalah cerita-cerita berdasarkan film-film yang sedang ramai dibicarakan orang, seperti Robin Hood, The Mask of Zorro, The Three Musketeers, The Black Pirates, The Thief of Baghdad, Roses of Yesterday, The Sheik of Arabia, Vera, dan Graaf de Monte Christo (Ramadhan KH, 1984: 74). Namun pada kunjungan keduanya di Batavia, mereka menghadirkan cerita mengenai kehidupan di Indonesia, seperti Annie van Mendoet, Lilie van Tjikampek, dan De Roos van Tjikembang. Cerita-cerita ini disebut dengan Indische Roman, yaitu cerita-cerita yang mengambil inspirasinya dari kehidupan Indonesia, dikarang dalam bahasa Belanda (Brahim, 1968: 116).

At the same time ,a journalis Andjar asmara also join the Dardanella and he bacame the Bes man of Peidro lika njo , he writthe the story Dr Samsi, Haida,Tjang,perantaian 88 dan Si bongkok like the huncthman of Notredam, Dardanella had the big five actors, Tan Tjeng Bok,Miss Dja, Mis Riboet II, Ferry Kock and Astaman (Pada tahun yang sama, seorang wartawan dari majalah Doenia Film, bernama Andjar Asmara, ikut masuk ke dalam perkumpulan ini, dan meninggalkan pekerjaannya sebagai wartawan di majalah tersebut. Seperti halnya Njoo Cheong Seng di Miss Riboet Orion, Andjar kemudian juga menjadi tangan kanan Piedro, dan bertugas sebagai penulis naskah perkumpulan. Andjar Asmara menulis beberapa naskah, seperti Dr. Samsi, Si Bongkok, Haida, Tjang, dan Perantaian 99 (Tzu You dalam Sin Po, 1939: 12). Dardanella juga terkenal dengan pemain-pemainnya yang piawai memegang peranan dalam setiap pertunjukan. Para pemain ini terkenal dengan sebutan The Big Five. Anggota Perkumpulan Dardanella yang disebut The Big Five yaitu, Ferry Kock, Miss Dja, Tan Tjeng Bok, Riboet II, dan Astaman (Tzu You dalam Sin Po, 1939: 11-12).

The rivalrity between Miss Riboet Oreon and dardanella at Bavaia begun in 1931, starting about the name of Miss Riboet which Mr Tio sue to the court and win,   dardanela must used the name Miss riboet II  (Persaingan untuk meraih perhatian publik antara Miss Riboet Orion dengan Dardanella terjadi di Batavia pada tahun 1931. Sebenarnya persaingan Miss Riboet Orion dengan Dardanella sudah mulai terlihat ketika dua perkumpulan ini memperebutkan “pengakuan nama” dari salah satu pemainnya, yaitu Riboet. Dalam dua perkumpulan ini ada satu pemain yang namanya sama. Ketika itu Dardanella yang sedang bermain di Surabaya, didatangi dan dituntut oleh Tio Tek Djien, pemimpin Miss Riboet Orion, karena Dardanella mempergunakan nama Riboet juga untuk seorang pemainnya. Tio berkata kepada Piedro, “Kami tidak senang Tuan mempergunakan nama yang sama, nama Riboet juga untuk pemain Tuan…kami menyampaikan gugatan, Miss Riboet hanya ada satu dan dia sekarang sedang bermain di Batavia”. Akhir dari perseteruan ini adalah mengalahnya Piedro kepada Tio dan merubah nama Riboet yang ada di Dardanella menjadi Riboet II (Ramadhan KH, 1982: 72).

Memang lazim terjadi persaingan antarperkumpulan sandiwara, terutama di kota besar seperti Batavia. Sebelum persaingan dengan Dardanella, Miss Riboet Orion juga pernah bersaingan dengan Dahlia Opera, pimpinan Tengkoe Katan dari Medan, persaingan ini berakhir dengan kemenangan pihak Orion (Tzu You dalam Sin Po, 1939: 11). Wujud dari persaingan antara Miss Riboet Orion dan Dardanella ini adalah pecahnya perang reklame. Dardanella memajukan Dr. Samsi sebagai lakon andalan mereka, sedangkan Miss Riboet Orion dengan Gagak Solo. Dalam persaingan ini, Dardanella mengandalkan A. Piedro, Andjar Asmara, dan Tan Tjeng Bok, sedangkan Miss Riboet Orion mengandalkan Tio Tek Djien, Njoo Cheong Seng, dan A. Boellaard van Tuijl, sebagai pemimpinnya (Tzu You dalam Sin Po, 1939: 12). Kedua wartawan dalam perkumpulan-perkumpulan itu bekerja dan memutar otak untuk membuat reklame propaganda yang, sedapat-dapatnya, memengaruhi pikiran publik.

At least Miss Riboet Orion off in 1934 and gave the authority to Dardanella , and their writer Njoo Cheong Seng and fifi Young moved to dardanella(Akhirnya Miss Riboet Orion harus menyerah kepada Dardanella. Riwayat Perkumpulan Sandiwara Miss Riboet Orion berakhir pada 1934, ketika penulis naskah mereka Njoo Cheong Seng dan Fifi Young, pindah ke Dardanella.)

Then dardanella became famous with the new actors like Ratna asmara, Bachtiar Effendy,Fify young and an american from guam Henry L Duarte (Dardanella menjadi semakin besar dengan hadirnya anggota-anggota baru seperti Ratna Asmara, Bachtiar Effendi, Fifi Young, dan Henry L. Duarte (seorang Amerika yang dilahirkan di Guam). Dalam Dardanella juga berkumpul tiga penulis lakon ternama, seperti A. Piedro, Andjar Asmara, dan Njoo Cheong Seng, di samping itu, perkumpulan ini diperkuat oleh permainan luar biasa dari bintang-bintang panggungnya seperti Miss Dja, Ferry Kock, Tan Tjeng Bok, Astaman, dan Riboet II.)

In 1935, Dardanella madse the tour to Siam,Burma. Ceylon,India,tibet ,the tour was called The Orient’s Tour with native dancer like wayang golek, Pencak Minangkabau,wayang golek,bali jagger, papua dancer and Ambon song (Pada 1935, Piedro memutuskan untuk mengadakan perjalanan ke Siam, Burma, Sri Lanka, India, dan Tibet, untuk memperkenalkan pertunjukan-pertunjukan mereka. Perjalanan ini disebut Tour d’Orient. Dalam perjalanan itu tidak dipentaskan sandiwara, melainkan tari-tarian Indonesia seperti Serimpi, Bedoyo, Golek, Jangger, Durga, Penca Minangkabau, Keroncong, Penca Sunda, Nyanyian Ambon, dan tari-tarian Papua (Tzu You dalam Sin Po, 1939: 13).

Tour de Orient qwere the last tour of Dardanella before the world war two, then dismish(Tour d’Orient adalah perjalanan terakhir Dardanella. Setelah perjalanan itu Dardanella pecah. Dan kisah dua raksasa sandiwara ini pun berakhir…)

I have the tax fee of Padang city gouverment about the dardanella and Dwi Dja tours, during japanese occupation 1943-1844, I think the Japanesi Millitary occupation gouverment, used this show for political campaign(Dr iwan S)

(b)versi dua (from david ,Haji Maji web blog)

MISS RIBOET (INDONESIA)

Miss Riboet was the first huge star of recording in Indonesia and the Malay peninsula.  She was the lead actress of the Orion theatrical company, a tooneel troupe which was founded in 1925 in Batavia (Jakarta). In fact, she was so popular that by the time recording engineer Max Birkhahan made this recording in 1926 she already had her own series of “Miss Riboet Records.”

The label declares this a “Stamboel” recording, a western influenced genre of song that evolved out of the Indonesian theater known as ”komedie stamboel.”
Komedie stamboel was a form of musical theater that started in the city of Surabaya in 1891 and quickly became a craze throughout Indonesia. At first, it featured plays of arabesque fantasy (Stamboel = Istanbul), mainly tales from the Arabian Nights, with Ali Baba being a favorite standard. The plays were sung and included musical numbers as in a western musical, using mostly western instruments. They were also influenced by Parsi theater. There is an excellent book by Matthew Isaac Cohen that gives an extremely detailed account of the origin of Komedie Stamboel.

But by the mid-20s, when Miss Riboet began recording, komedie stamboel had already given way to the Malay theatrical form called bangsawan, and eventually tooneel, a more realistic form.
Apparently komedie stamboel had developed a somewhat unsavory reputation that led in part to it’s demise, some troupe leaders were accused of doubling as pimps for the actresses!
The music was often labeled as “Stamboel” on record, regardless of whether it was a stamboel, fox trot, tango, krontjong or traditional piece, such as this Javanese poetical form called Pangkoer Pelaoet .

Beka B. 15099-II

(c)Version Two_versi dua

http://img.photobucket.com/albums/v188/missriboet/missdjadanmissriboet1932.jpg*courtecy Mr Schlompe

Dua perkumpulan besar sandiwara berdiri pada 1925 dan 1926, Miss Riboet Orion dan Dardanella. Keduanya merajai dunia sandiwara kala itu. Mereka dikenal terutama karena pemain-pemainnya yang piawai berperan di atas panggung, cerita-ceritanya yang realis, dan punya seorang pemimpin kharismatik.

Kedua perkumpulan ini dikenal sebagai pembenih sandiwara modern Indonesia. Mereka merombak beberapa tradisi yang telah lazim pada masa stambul, bangsawan, dan opera, seperti: membuat pembagian episode yang lebih ringkas dari stambul, menghapuskan adegan perkenalan para tokoh sebelum bermain, menghilangkan selingan nyanyian atau tarian di tengah adegan, menghapus kebiasaan memainkan sebuah lakon hanya dalam satu malam pertunjukan, dan objek cerita sudah mulai berupa cerita-cerita asli, bukan dari hikayat-hikayat lama atau cerita-cerita yang diambil dari film-film terkenal (Oemarjati, 1971: 30-31). Rombongan sandiwara ini juga mulai menggunakan naskah untuk diperankan di atas pentas, menggunakan panggung pementasan, serta mulai mengenal peran seseorang yang mirip sutradara (pada masa itu lazim disebut programma meester, peran ini dimainkan oleh pemimpin perkumpulan).

Perkumpulan sandiwara Orion berdiri di Batavia pada 1925. Rombongan sandiwara ini didirikan serta dipimpin oleh Tio Tek Djien Junior. Tio merupakan  seorang terpelajar pertama yang menekuni secara serius kesenian sandiwara modern. Dia lulusan sekolah dagang Batavia. Primadona mereka adalah Miss Riboet. Selain sebagai istri Tio, Riboet juga terkenal dengan permainan pedangnya. Ia sangat menonjol ketika memerankan seorang perampok perempuan dalam lakon Juanita de Vega karya Antoinette de Zerna. Selanjutnya perkumpulan ini terkenal dengan nama Miss Riboet Orion (Sumardjo, 2004: 115).

Perkumpulan ini semakin mengibarkan bendera ketenarannya setelah masuk seorang wartawan bernama Njoo Cheong Seng dan istrinya Fifi Young. Setelah masuknya Njoo Cheong Seng dan Fifi Young, perkumpulan ini meninggalkan cerita-cerita khayalan yang pada masa stambul dan bangsawan lazim untuk dibawakan ke panggung (Pane, 1953: 9). Kemudian Njoo Cheong Seng menjadi tangan kanan Tio Tek Djien dan bertugas sebagai penulis lakon pada perkumpulan ini dan menghasilkan cerita-cerita, seperti Saidjah, R.A. Soemiatie, Barisan Tengkorak, dan Singapore After Midnight.

Di tengah kepopuleran Miss Riboet Orion, berdiri perkumpulan sandiwara Dardanella di Sidoarjo pada 21 Juni 1926. Sebagaimana Miss Riboet Orion, Dardanella juga telah melakukan perubahan besar pada dunia sandiwara. Dardanella didirikan oleh A. Piedro, seorang Rusia yang bernama asli Willy Klimanoff (Ramadhan KH, 1984: 58). Pada 1929, untuk pertamakalinya Dardanella mengadakan pertunjukan di Batavia. Mulanya lakon-lakon yang dimainkan adalah cerita-cerita berdasarkan film-film yang sedang ramai dibicarakan orang, seperti Robin Hood, The Mask of Zorro, The Three Musketeers, The Black Pirates, The Thief of Baghdad, Roses of Yesterday, The Sheik of Arabia, Vera, dan Graaf de Monte Christo (Ramadhan KH, 1984: 74). Namun pada kunjungan keduanya di Batavia, mereka menghadirkan cerita mengenai kehidupan di Indonesia, seperti Annie van Mendoet, Lilie van Tjikampek, dan De Roos van Tjikembang. Cerita-cerita ini disebut dengan Indische Roman, yaitu cerita-cerita yang mengambil inspirasinya dari kehidupan Indonesia, dikarang dalam bahasa Belanda (Brahim, 1968: 116).

Pada tahun yang sama, seorang wartawan dari majalah Doenia Film, bernama Andjar Asmara, ikut masuk ke dalam perkumpulan ini, dan meninggalkan pekerjaannya sebagai wartawan di majalah tersebut. Seperti halnya Njoo Cheong Seng di Miss Riboet Orion, Andjar kemudian juga menjadi tangan kanan Piedro, dan bertugas sebagai penulis naskah perkumpulan. Andjar Asmara menulis beberapa naskah, seperti Dr. Samsi, Si Bongkok, Haida, Tjang, dan Perantaian 99 (Tzu You dalam Sin Po, 1939: 12). Dardanella juga terkenal dengan pemain-pemainnya yang piawai memegang peranan dalam setiap pertunjukan. Para pemain ini terkenal dengan sebutan The Big Five. Anggota Perkumpulan Dardanella yang disebut The Big Five yaitu, Ferry Kock, Miss Dja, Tan Tjeng Bok, Riboet II, dan Astaman (Tzu You dalam Sin Po, 1939: 11-12).

Persaingan untuk meraih perhatian publik antara Miss Riboet Orion dengan Dardanella terjadi di Batavia pada tahun 1931. Sebenarnya persaingan Miss Riboet Orion dengan Dardanella sudah mulai terlihat ketika dua perkumpulan ini memperebutkan “pengakuan nama” dari salah satu pemainnya, yaitu Riboet. Dalam dua perkumpulan ini ada satu pemain yang namanya sama. Ketika itu Dardanella yang sedang bermain di Surabaya, didatangi dan dituntut oleh Tio Tek Djien, pemimpin Miss Riboet Orion, karena Dardanella mempergunakan nama Riboet juga untuk seorang pemainnya. Tio berkata kepada Piedro, “Kami tidak senang Tuan mempergunakan nama yang  sama, nama Riboet juga untuk pemain Tuan…kami menyampaikan gugatan, Miss Riboet hanya ada satu dan dia sekarang sedang bermain di Batavia”. Akhir dari perseteruan ini adalah mengalahnya Piedro kepada Tio dan merubah nama Riboet yang ada di Dardanella menjadi Riboet II (Ramadhan KH, 1982: 72).

Memang lazim terjadi persaingan antarperkumpulan sandiwara, terutama di kota besar seperti Batavia. Sebelum persaingan dengan Dardanella, Miss Riboet Orion juga pernah bersaingan dengan Dahlia Opera, pimpinan Tengkoe Katan dari Medan, persaingan ini berakhir dengan kemenangan pihak Orion (Tzu You dalam Sin Po, 1939: 11). Wujud dari persaingan antara Miss Riboet Orion dan Dardanella ini adalah pecahnya perang reklame. Dardanella memajukan Dr. Samsi sebagai lakon andalan mereka, sedangkan Miss Riboet Orion dengan Gagak Solo. Dalam persaingan ini, Dardanella mengandalkan A. Piedro, Andjar Asmara, dan Tan Tjeng Bok, sedangkan Miss Riboet Orion mengandalkan Tio Tek Djien, Njoo Cheong Seng, dan A. Boellaard van Tuijl, sebagai pemimpinnya  (Tzu You dalam Sin Po, 1939: 12). Kedua wartawan dalam perkumpulan-perkumpulan itu bekerja dan memutar otak untuk membuat reklame propaganda yang, sedapat-dapatnya, memengaruhi pikiran publik.

Akhirnya Miss Riboet Orion harus menyerah kepada Dardanella. Riwayat Perkumpulan Sandiwara Miss Riboet Orion berakhir pada 1934, ketika penulis naskah mereka Njoo Cheong Seng dan Fifi Young, pindah ke Dardanella.

Dardanella menjadi semakin besar dengan hadirnya anggota-anggota baru seperti Ratna Asmara, Bachtiar Effendi, Fifi Young, dan Henry L. Duarte (seorang Amerika yang dilahirkan di Guam). Dalam Dardanella juga berkumpul tiga penulis lakon ternama, seperti A. Piedro, Andjar Asmara, dan Njoo Cheong Seng, di samping itu, perkumpulan ini diperkuat oleh permainan luar biasa dari bintang-bintang panggungnya seperti Miss Dja, Ferry Kock, Tan Tjeng Bok, Astaman, dan Riboet II.

Pada 1935, Piedro memutuskan untuk mengadakan perjalanan ke Siam, Burma, Sri Lanka, India, dan Tibet, untuk memperkenalkan pertunjukan-pertunjukan  mereka. Perjalanan ini disebut Tour d’Orient. Dalam perjalanan itu tidak dipentaskan sandiwara, melainkan tari-tarian Indonesia seperti Serimpi, Bedoyo, Golek, Jangger, Durga, Penca Minangkabau, Keroncong, Penca Sunda, Nyanyian Ambon, dan tari-tarian Papua (Tzu You dalam Sin Po, 1939: 13).

Tour d’Orient adalah perjalanan terakhir Dardanella. Setelah perjalanan itu Dardanella pecah. Dan kisah dua raksasa sandiwara ini pun berakhir…

b)teater Miss Riboet’s Oreon (1925)

c)It is easy to guess the excitement caused by the upcoming event in the island.And yet, life went on as usual: Miss Riboet – a popular actress and singer backthen – performing on stage garnering applause and favourable reviews in the island’s journals, cigarette and beauty cream advertisements, the automobile andthe new man – The Sportsman – coaxed out of the tennis and golf worlds by theworld of fashion…putting Singapore on the movie map with his filmBring’em Back Alive. Not to mention Wheeler and Woolsey, a pair of British comedians, who, in their day, were more popular than Laurel and Hardy. Much excitement was caused whenthe much-loved Charlie Chaplin and his brother arrived in Singapore in 1932 on their way to the Dutch Indies. Certainly, the Hollywood connection created the image of ‘Cesspool of the East’ for Singapore. Singapore was the object of fascination for movie-makers, writers, travelers, real Kings and Queens or theones populating the screens of the newest art.c)pada 25 November 1950 bersama satu rombongan bintang Indonesia termasuk Fifi Young (pelakon filem Zoebaida) dan Miss Riboet Rawit. datang di singapore.(new info from Mr Azmosa Singapore that one of Dardanella Singer and comedian still stayed  at singapore until now ,her name Momo Latiff or Momo Makarim and still alive age 88 years old, please read mr Azoma comment in Indonesian Languguae :

Salam, Pak Iwan.

Saya berasal dari Singapura dan sangat kagum dengan koleksi Pak Iwan, terutama sekali tentang sejarah kumpulan seni seperti Miss Riboet Orion dan Dardanella. Kedua-dua kumpulan ini memang cukup popular di Singapura dan Malaya pada tahun 1930an. Salah satu ahli kumpulan Dardanella telah menetap di Singapura dan menjadi seorang seniwati yang terkenal di sisni sejak tahun 194oan . Beliau adalah Momo Latiff yang berasal dari Batavia dan kini berusia 88 tahun.

Momo Latif telah menjadi salah seorang penari Bali Dancers dalam kumpulan Dardanella. Selepas Dardanella berpecah pada pertengahan tahun 1930an, beliau telah memasuki kumpulan bangsawan yg di ketuai oleh Raden Sudiro. Pada satu persembahan yang di adakan di Melaka, Raden telah memberitahu kepada Momo bahawa Syarikat filem Shaw Brothers di Singapura ingin mengambil Momo sebagai heroine dalam filem yg berjudul Topeng Shaitan di terbitkan pada tahun 1939. Momo kemudian telah merakamkan suara pada tahun 1941 bersama HMV dengan nyanyian lagu2 Bunga Sakura, Pohon Beringin dan Pulau Bali.

Azmosa
Singapura- thanks Mr azoma from dr Iwan S.)

The Short story of Mis Riboet Husband (KISAH SUAMI MISS RIBOET) TIO TEK HONG

Mr Tion was the richman,he had the Record label produnctions and shop(TIO TEK HONG SUMAI MISS RIBOET ADALAH SEORANG SAUDAGAR KAYA, ia memiliki firma penjualan gramohone and piring hitam.)

Beside that he ad produced yhe batavia Pictures Postcard,look some sample illustration below (Selain itu ia juga memproduksi kartupos bergambar kota batavia,lihat beberapa koleksi karya Tio Tek Hong dan illustrasi dari majallah Kiekies van Java folk and landen dibawah ini);

.
 
 
 

 
 

TTH_1045_800w512h.jpgUitgave : Tio Tek Hong, Weltevreden (Batavia). No. 1045

Topeng is a style or genre of masked dance and theatre, with music : West Java. We see here a Betawi (Batavia, now Jakarta) group. A search for the expression will turn up wikipedia and other sources; this is pretty good : Henry Spiller, “Topeng Betawi: The Sounds of Bodies Moving”.   Asian Theatre Journal 16:2 (1999) : 260-267   (accessed 28 January 09)

.
 

TTH_1046_800w510h.jpgUitgave : Tio Tek Hong, Weltevreden (Batavia). No. 1046

Woman may be same as in preceding Topeng card.
 
 

photo, no source information. Another view of Molenvliet Canal, Batavia here; more can be found by searching in the Dutch Atlas of Mutual Heritage (AMH).
 

TTH_1114_800w507h.jpgUitgave : Tio Tek Hong, Weltevreden, “Special Depot of Java postcards.” No. 1114. Obverse bears message to a Mr. C. Inouye, c/o Mitsui Bussan, Osaka, Japan. Postage stamp (and cancellation date) missing.
 
 

Miss Riboet and her arabic song Jasidi

Chassidic Song (jasidi), with video recorded at the Western Wall in Jerusalem, and … 5:27 Add to Added to queue In Jerusalem songArabic by badermansour.

Lagu Jasidi berasal dari Arab dan seirng dinyanyikan brthubungan dengan dinding barat dari Jerusalem,salah satunyayang terkenal oleh penyanyi Bader mansour, berdasarkan fakta piringan hitam diatas,ternyata Miss riboet telah menyanyikan lagu yang populer saat itu.

Miss Riboet and her Tionghoa ethnic song Djihong(no info about this song)

Who have the Miss Riboet music record with Kroncong stamboel song please comment and add the info via comment,thanks you very much.

I have just found information about Mr Riboet Orion Kroncong song produced by BEKA record from Google exploration :

BEKA RECORD
B 15652, Miss Riboet, Krontjong Dardanella, 1940-an
B 15761, Herlaut, Beka Krontjong, 1940-an
27850, De Indie Krontjong, 1940-an

Please help me with more info,thanks verymuch

versi ke-3(version three)

kelompok Sandiwara Miss Riboet Orion dan Dardanella 1925 hingga Fasisme di Panggung Sandiwara jaman JEPANG 1942

 
kelompok Sandiwara Miss Riboet Orion dan Dardanella 1925 hingga Fasisme di Panggung Sandiwara jaman JEPANG 1942TEATER MODERN JATIM, PANGGUNG SANDIWARA HINGGA KE SANDIWARA DARDANELLA

 

Sandiwara panggung tidak bisa lepas dari sejarh film di Hindia, selain wayang, Sandiwara panggung sangat di gemari disini. Bebarapa panggung tradisional hingga adaptasi dari eropha, India, China sampai ke hal Wayang. Tetapi kalangan Belanda lebih suka sandiwara panggung dari pada wayang. Memang sejarah wayang diciptakan untuk propaganda seorang raja seperti yang dikisahkan oleh cerita wayang, sehingga rakyat yakin raja mereka seperti tokoh wayang tersebut titisan dewa dan sangat memiliki kekuatan yang luar biasa.

Oranbg Belanda banyak yang main dalam sandiwara ini, termasuk juga kelompok sandiwara bangsa China yang lama di Hindia. Bebarapa sandiwara yang terkenal adalah Opera Srie Permata, komedi Stamboel, Miss Riboet Orion dan Dardanella.

Sandiwara panggung ini ceritanya beragam, mulai dari kisah HIndia dan orang Belanda totok, atau pun Indo, dan yang populer saat itu dari luar negeri. Sandiwara ini kerapkali diiringi oleh musik-musik, nyanyian dan tarian yang khas, terutama musik keroncong, sunda, melayu, hingga india dan Eropha. Yang nantinya mereka akan terjun dalam Film dan beberapa menjadi pembuat film/bisnis film.

Telah satu abad lebih masyarakat Jatim telah mengenal teater modern. Akan tetapi, masyarakat Jatim juga para kreator teater-nya gagal mempertahankan tradisi teater modern yang telah dibangun sejak tahun 1891 oleh August Maheiu dengan nama Komedi Stamboel dan kemudian dilanjutkan dengan Dardanella pada tahun 1926.
Dardanella semula bernama The Malay Opera yang diprakarsai oleh Willy Klimanoff, anak pemain sirkus terkemuka A. Klimanoff kelahiran Rusia. Willy Klimanoff hijrah ke Indonesia sepeninggalan ayahnya. Dengan penguasaan teknik akrobatik Willy Klimanoff mendapat pekerjaan di Komedi Stamboel, kemudian mengganti namanya dengan A. Pedro.
Dalam bentuk pertunjukan atau infra strukturnya, A. Pedro banyak melakukan perombakan secara revolusioner sebagaimana sistem pertunjukan yang telah terkonsep oleh Komedi Stamboel dalam tradisi lakon dan tonilnya. Pedro melakukan perombakan radikal tradisi komedi bangsawan pendahulunya. Jika dalam Komedi Stamboel diantara pergantian adegan diisi atau diselingi dengan tarian-tarian dan lelucon untuk kepentingan hiburan, maka A. Pedro menghilangkan nuansa-nuansa lelucon dan tarian. Dardanella lebih menfokuskan pada bentuk pertunjukan drama murni. Dardanella mementingkan esensi dramatik, kekuatan cerita dan permainan aktor-aktornya, meskipun selingan tarian tetap ada namun masih berada dalam satu keutuhan pementasan, dengan lain kata, tari-tarian menjadi bagian dari alur cerita dan adegan.
Pengaruh Dardanella terhadap perkembangan teater modern Indonesia sangat besar. Seiring dengan kemajuan dardanella banyak bermunculan teater-teater lain yang diprakarsai oleh bekas sri panggung dan anggota dardanella sendiri. Seperti Bolero, Orion yang didirikan Miss ribort, dan Tjahaya Timoer yang didirikan Andjar Asmara. Andjar Asmara sewaktu menjadi anggota Dardanella menjabat sebagai tangan kanan A. Pedro. Andjar Asmara juga melakukan perombakan dalam sistem managerial dan sistem modernisasi dalam teknik tata panggung. Bahkan dampak dari kemajuan Dardanella sampai ke Jakarta, dengan didirikannya “teater Maya” yang diketuai oleh Usmar Ismail pada tanggal 27 Mei 1944.

Munculnya teater-teater kecil tersebut sebagai antitesis dari keberhasilan Dardanella dan juga sebagai proses eksperimental terhadap tema dan bentuk pementasan yang konvensional.

TUNTUTAN SEJARAH

 
Komedi Stamboel dan Dardanella yang lahir di Jawa Timur yakni Surabaya dan Sidoarjo merupakan pelopor gerakan pementasan teater modern di Indonesia, bahkan secara tidak langsung memberikan dampak yang begitu besar terhadap teater di tanahair nantinya.Semangat modernitas yang dibangun oleh Dardanella terlihat dalam setiap pertunjukannnya telah memakai scrip atau naskah, pengadaan properti, kostum, make-up, juga melakukan pementasan yang utuh, artinya, teater Dardanella menghilangkan konvensi-konvensi lelucon dan tarian-tarian yang memberikan kesenangan lebih pada penonton. Dardanella melalui A. Pedro dan Andjar Asmara telah melakukan sistem manajerial pertunjukan secara profesional yang merupakan supra struktural dari suartu pertunjukan. Hal ini yang merupakan ciri dari teater modern dengan semangat realisme.Realisme yang dimaksud ialah melihat peristiwa sehari-hari yang dialami setiap saat (ilusi kenyataan), sebuah pementasan bukan bukanlah sekedar menyajikan cerita, tetapi ada pesonanya, yakni yang seakan-akan bersungguh-sungguh, suatu permainan yang menimbulkan rangsangan pikiran bahwa yang terjadi di panggung bisa pula terjadi pada penonton.

Konsepsi estetika realisme yakni semangat impresionis. Tidak tidak menggubris lagi pesan-pesan sejarah, kitab suci, tetapi langsung memberikan kesan tentang persoalan-persoalan pokok-nya. Konsepsi realisme ingin menohok konsepsi romantisisme yang cenderung menjadikan kehidupan seperti mimpi. Dalam hal ini peentasan Dardanella tidak lagi menampilkan epos-ramayana yang merupakan model pementasan tradisional, akan tetapi Dardanella lebih banyak memainkan naskah-naskah yang sedang terjadi pada masyarakat sekitar. Misalnya dengan mementaskan naskah Nyai Dasima dan Kalibrantasi.

Dardanella dengan demikian sadar akan posisi dan konteks sosial dalam masyarakatnya, Dardanella mengapresiasi material dan mengekspresikan kultur lokal dengan perspektif modern.

Sedangkan pada dekade dewasa ini, kreator dan pekerja seni teater Jatim telah gagal mewarisi dan mempertahankan tradisi teater modern yang telah dibangun Komedi Stamboel dan Dardanella. Kegagalan pekerja teater Jatim lebih pada sikap kritis, mentalitas, spirit dan intelektualitas. Artinya, pekerja teater Jatim bersifat sebagai pekerja bukannya seseorang atau kelompok yang memiliki daya pikir kritis terhadap fenomena kultural, kepekaan terhadap konteks sosial dibelakang teks realitas.

Dalam beberapa pertunjukan terakhir teater-teater Jatim di Surabaya, pekerja teater Jatim mengesampingkan problematik perspektif kritis massa. Pertunjukan teater Jatim hanya bersifat momentum, temporal dan gegabah mencermati fenomena sosialnya. Dalam hal ini, pekerja teater Jatim khusunya Surabaya tidak mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan mental masyarakatnya. Sebagaimana kita ketahui bahwa Surabaya merupakan kota ‘metropolis’ dimana kriminalitas, kekerasan, urban, ketimpangan sosial, tata kota, pendidikan, perdagangan dsb, adalah suatu problematik yang sering kali dijumpai. Dengan lain kata, pertunjukan-pertunjukan yang ditampilkan pekerja teater Jatim kurang kritis mengklarifikasi problematik. Eksperimentasi dan eksplorasi yang dilakukan para pekerja teater Jatim lebih pada bentuk belaka, tidak menyentuh esensi dan fenomena masyarakatnya atau dengan lain kata minimnya proses kontenplatif, bukannya bermewah-mewah dengan bentuk pertunjukan, baik secara infra stuktural maupun supra strukturalnya, namun minim ide dan gagasan serta gagal menyampaikan dan mengkomunikasikan kegelisahan kultural Jatimnya.

Fenomena yang tak kalah memalukan pekerja teater Jatim ialah, para kritikus teater Indonesia, seperti Jim Lim, Zaini KM, Umar Kayam, Putu Wijaya, Nano Riantiarno, Rendra, Afrizal Malna, Bagdi Sumanto, Hanindawan, Nursahid, Sapardi Djoko Damono, Gunawan moehammad dll dalam beberapa tulisan, pembabagan, referensi-referensi dan data tentang teater modern Indonesia, Surabaya dan Jatim pada umumnya tidak pernah dicatat keberadaannya. Entah karena secara kualitas teater Jatim tidas layak, atau memang di Jatim tidak ada kritikus teater yang berkualitas sehingga dapat mengangkat nama teater Jatim. Secara logika sederhana, seharusnya teater modern Indonesia maju dan terus berkembang di Jatim, dimana pewarisan tradisi teater modern pertama kali diletakkan, bukannya di Solo, Bandung, Yogyakarta dan Jakarta.
Mari kita pikirkan bersama-sama.

Sepenggal Kisah Miss Riboet Orion dan Dardanella

 

 

Dua perkumpulan besar sandiwara berdiri pada 1925 dan 1926, Miss Riboet Orion dan Dardanella. Keduanya merajai dunia sandiwara kala itu. Mereka dikenal terutama karena pemain-pemainnya yang piawai berperan di atas panggung, cerita-ceritanya yang realis, dan punya seorang pemimpin kharismatik.
 

Kedua perkumpulan ini dikenal sebagai pembenih sandiwara modern Indonesia. Mereka merombak beberapa tradisi yang telah lazim pada masa stambul, bangsawan, dan opera, seperti: membuat pembagian episode yang lebih ringkas dari stambul, menghapuskan adegan perkenalan para tokoh sebelum bermain, menghilangkan selingan nyanyian atau tarian di tengah adegan, menghapus kebiasaan memainkan sebuah lakon hanya dalam satu malam pertunjukan, dan objek cerita sudah mulai berupa cerita-cerita asli, bukan dari hikayat-hikayat lama atau cerita-cerita yang diambil dari film-film terkenal (Oemarjati, 1971: 30-31). Rombongan sandiwara ini juga mulai menggunakan naskah untuk diperankan di atas pentas, menggunakan panggung pementasan, serta mulai mengenal peran seseorang yang mirip sutradara (pada masa itu lazim disebut programma meester, peran ini dimainkan oleh pemimpin perkumpulan).

 

Perkumpulan sandiwara Orion berdiri di Batavia pada 1925. Rombongan sandiwara ini didirikan serta dipimpin oleh Tio Tek Djien Junior. Tio merupakan seorang terpelajar pertama yang menekuni secara serius kesenian sandiwara modern. Dia lulusan sekolah dagang Batavia. Primadona mereka adalah Miss Riboet. Selain sebagai istri Tio, Riboet juga terkenal dengan permainan pedangnya. Ia sangat menonjol ketika memerankan seorang perampok perempuan dalam lakon Juanita de Vega karya Antoinette de Zerna. Selanjutnya perkumpulan ini terkenal dengan nama Miss Riboet Orion (Sumardjo, 2004: 115).

 

Perkumpulan ini semakin mengibarkan bendera ketenarannya setelah masuk seorang wartawan bernama Njoo Cheong Seng dan istrinya Fifi Young. Setelah masuknya Njoo Cheong Seng dan Fifi Young, perkumpulan ini meninggalkan cerita-cerita khayalan yang pada masa stambul dan bangsawan lazim untuk dibawakan ke panggung (Pane, 1953: 9). Kemudian Njoo Cheong Seng menjadi tangan kanan Tio Tek Djien dan bertugas sebagai penulis lakon pada perkumpulan ini dan menghasilkan cerita-cerita, seperti Saidjah, R.A. Soemiatie, Barisan Tengkorak, dan Singapore After Midnight.

 

Di tengah kepopuleran Miss Riboet Orion, berdiri perkumpulan sandiwara Dardanella di Sidoarjo pada 21 Juni 1926. Sebagaimana Miss Riboet Orion, Dardanella juga telah melakukan perubahan besar pada dunia sandiwara. Dardanella didirikan oleh A. Piedro, seorang Rusia yang bernama asli Willy Klimanoff (Ramadhan KH, 1984: 58). Pada 1929, untuk pertamakalinya Dardanella mengadakan pertunjukan di Batavia. Mulanya lakon-lakon yang dimainkan adalah cerita-cerita berdasarkan film-film yang sedang ramai dibicarakan orang, seperti Robin Hood, The Mask of Zorro, The Three Musketeers, The Black Pirates, The Thief of Baghdad, Roses of Yesterday, The Sheik of Arabia, Vera, dan Graaf de Monte Christo (Ramadhan KH, 1984: 74). Namun pada kunjungan keduanya di Batavia, mereka menghadirkan cerita mengenai kehidupan di Indonesia, seperti Annie van Mendoet, Lilie van Tjikampek, dan De Roos van Tjikembang. Cerita-cerita ini disebut dengan Indische Roman, yaitu cerita-cerita yang mengambil inspirasinya dari kehidupan Indonesia, dikarang dalam bahasa Belanda (Brahim, 1968: 116).

 

Pada tahun yang sama, seorang wartawan dari majalah Doenia Film, bernama Andjar Asmara, ikut masuk ke dalam perkumpulan ini, dan meninggalkan pekerjaannya sebagai wartawan di majalah tersebut. Seperti halnya Njoo Cheong Seng di Miss Riboet Orion, Andjar kemudian juga menjadi tangan kanan Piedro, dan bertugas sebagai penulis naskah perkumpulan. Andjar Asmara menulis beberapa naskah, seperti Dr. Samsi, Si Bongkok, Haida, Tjang, dan Perantaian 99 (Tzu You dalam Sin Po, 1939: 12). Dardanella juga terkenal dengan pemain-pemainnya yang piawai memegang peranan dalam setiap pertunjukan. Para pemain ini terkenal dengan sebutan The Big Five. Anggota Perkumpulan Dardanella yang disebut The Big Five yaitu, Ferry Kock, Miss Dja, Tan Tjeng Bok, Riboet II, dan Astaman (Tzu You dalam Sin Po, 1939: 11-12).

 

Persaingan untuk meraih perhatian publik antara Miss Riboet Orion dengan Dardanella terjadi di Batavia pada tahun 1931. Sebenarnya persaingan Miss Riboet Orion dengan Dardanella sudah mulai terlihat ketika dua perkumpulan ini memperebutkan “pengakuan nama” dari salah satu pemainnya, yaitu Riboet. Dalam dua perkumpulan ini ada satu pemain yang namanya sama. Ketika itu Dardanella yang sedang bermain di Surabaya, didatangi dan dituntut oleh Tio Tek Djien, pemimpin Miss Riboet Orion, karena Dardanella mempergunakan nama Riboet juga untuk seorang pemainnya. Tio berkata kepada Piedro, “Kami tidak senang Tuan mempergunakan nama yang sama, nama Riboet juga untuk pemain Tuan…kami menyampaikan gugatan, Miss Riboet hanya ada satu dan dia sekarang sedang bermain di Batavia”. Akhir dari perseteruan ini adalah mengalahnya Piedro kepada Tio dan merubah nama Riboet yang ada di Dardanella menjadi Riboet II (Ramadhan KH, 1982: 72).

 

Memang lazim terjadi persaingan antarperkumpulan sandiwara, terutama di kota besar seperti Batavia. Sebelum persaingan dengan Dardanella, Miss Riboet Orion juga pernah bersaingan dengan Dahlia Opera, pimpinan Tengkoe Katan dari Medan, persaingan ini berakhir dengan kemenangan pihak Orion (Tzu You dalam Sin Po, 1939: 11). Wujud dari persaingan antara Miss Riboet Orion dan Dardanella ini adalah pecahnya perang reklame. Dardanella memajukan Dr. Samsi sebagai lakon andalan mereka, sedangkan Miss Riboet Orion dengan Gagak Solo. Dalam persaingan ini, Dardanella mengandalkan A. Piedro, Andjar Asmara, dan Tan Tjeng Bok, sedangkan Miss Riboet Orion mengandalkan Tio Tek Djien, Njoo Cheong Seng, dan A. Boellaard van Tuijl, sebagai pemimpinnya (Tzu You dalam Sin Po, 1939: 12). Kedua wartawan dalam perkumpulan-perkumpulan itu bekerja dan memutar otak untuk membuat reklame propaganda yang, sedapat-dapatnya, memengaruhi pikiran publik.

 

Akhirnya Miss Riboet Orion harus menyerah kepada Dardanella. Riwayat Perkumpulan Sandiwara Miss Riboet Orion berakhir pada 1934, ketika penulis naskah mereka Njoo Cheong Seng dan Fifi Young, pindah ke Dardanella.

 

Dardanella menjadi semakin besar dengan hadirnya anggota-anggota baru seperti Ratna Asmara, Bachtiar Effendi, Fifi Young, dan Henry L. Duarte (seorang Amerika yang dilahirkan di Guam). Dalam Dardanella juga berkumpul tiga penulis lakon ternama, seperti A. Piedro, Andjar Asmara, dan Njoo Cheong Seng, di samping itu, perkumpulan ini diperkuat oleh permainan luar biasa dari bintang-bintang panggungnya seperti Miss Dja, Ferry Kock, Tan Tjeng Bok, Astaman, dan Riboet II.

 

Pada 1935, Piedro memutuskan untuk mengadakan perjalanan ke Siam, Burma, Sri Lanka, India, dan Tibet, untuk memperkenalkan pertunjukan-pertunjukan mereka. Perjalanan ini disebut Tour d’Orient. Dalam perjalanan itu tidak dipentaskan sandiwara, melainkan tari-tarian Indonesia seperti Serimpi, Bedoyo, Golek, Jangger, Durga, Penca Minangkabau, Keroncong, Penca Sunda, Nyanyian Ambon, dan tari-tarian Papua (Tzu You dalam Sin Po, 1939: 13).

2.Betawi  Music  era WW II (Perang dunia Kedua 1942-1945)

1,Miss Tjitjih

Repertory like Star Soerabaja, Tjahaja Asia, Tjahaja Timoer, Warnasari, Miss Tjitjih, Goddess Mada, as well as associations of local nature, given the task of traveling to give performances to the residents or the military. They provide entertainment as well as propaganda

2.Orkes Kroncong Empat sekawan Djakarta With Ismael marzuki.

Pada Maret 1942, saat Jepang menduduki seluruh Indonesia, Radio NIROM dibubarkan diganti dengan nama Hoso Kanri Kyoku. PRK juga dibubarkan Jepang, dan orkes Lief Java berganti nama Kireina Jawa. Saat itu Ma’ing mulai memasuki periode menciptakan lagu-lagu perjuangan. Mula-mula syair lagunya masih berbentuk puitis yang lembut seperti “Kalau Melati Mekar Setangkai”, “Kembang Rampai dari Bali” dan bentuk hiburan ringan, bahkan agak mengarah pada bentuk seriosa.
***
Pada periode 1943-1944, Ma’ing menciptakan lagu yang mulai mengarah pada lagu-lagu perjuangan, antara lain “Rayuan Pulau Kelapa”, “Bisikan Tanah Air”, “Gagah Perwira”, dan “Indonesia Tanah Pusaka”. Kepala bagian propaganda Jepang, Sumitsu, mencurigai lagu-lagu tersebut lalu melaporkannya ke pihak Kenpetai (Polisi Militer Jepang), sehingga Ma’ing sempat diancam oleh Kenpetai. Namun, putra Betawi ini tak gentar. Malah pada 1945 lahir lagu “Selamat Jalan Pahlawan Muda”.
Setelah Perang Dunia II, ciptaan Ma’ing terus mengalir, antara lain “Jauh di Mata di Hati Jangan” (1947) dan “Halo-halo Bandung” (1948). Ketika itu Ma’ing dan istrinya pindah ke Bandung karena rumah meraka di Jakarta kena serempet peluru mortir. Ketika berada di Bandung selatan, ayah Ma’ing di Jakarta meninggal. Ma’ing terlambat menerima berita. Ketika dia tiba di Jakarta, ayahnya telah beberapa hari dimakamkan. Kembang-kembang yang menghiasi makam ayahnya dan telah layu, mengilhaminya untuk menciptakan lagu “Gugur Bunga”.
Lagu-lagu ciptaan lainnya mengenai masa perjuangan yang bergaya romantis tanpa mengurangi nilai-nilai semangat perjuangan antara lain “Ke Medan Jaya”, “Sepasang Mata Bola”, “Selendang Sutra”, “Melati di Tapal Batas Bekasi”, “Saputangan dari Bandung Selatan”, “Selamat Datang Pahlawan Muda”. Lagu hiburan populer yang (kental) bernafaskan cinta pun sampai-sampai diberi suasana kisah perjuangan kemerdekaan. Misalnya syair lagu “Tinggi Gunung Seribu Janji”, dan “Juwita Malam”.
Lagu-lagu yang khusus mengisahkan kehidupan para pejuang kemerekaan, syairnya dibuat ringan dalam bentuk populer, tidak menggunakan bahasa Indonesia tinggi yang sulit dicerna. Simak saja syair “Oh Kopral Jono” dan “Sersan Mayorku”. Lagu-lagu ciptaannya yang berbentuk romantis murni hiburan ringan, walaupun digarap secara populer tapi bentuk syairnya berbobot seriosa. Misalnya lagu “Aryati”, “Oh Angin Sampaikan. Tahun 1950 dia masih mencipta lagu “Irian Samba” dan tahun 1957 lagu “Inikah Bahagia” — suatu lagu yang banyak memancing tandatanya dari para pengamat musik.
Sampai pada lagu ciptaan yang ke 100-an, Ma’ing masih merasa belum puas dan belum bahagia. Malah, lagu ciptaannya yang ke-103 tidak sempat diberi judul dan syair, hingga Ma’ing alias Ismail Marzuki — komponis besar Indonesia itu — menutup mata selamanya pada 25 Mei 1958.

Balatentara Jepang berhasil menguasai seluruh wilayah Indonesia pada tanggal 8 Maret 1942, setelah penyerahan tanpa syarat pemerintah Hindia Belanda di Kalijati, Jawa Barat. Setelah itu Jepang menduduki Indonesia sekitar 3,5 tahun. Pemerintah pendudukan Jepang bercita-cita menyatukan seluruh Asia dalam satu kepemimpinan, yaitu kepemimpinan Jepang. Selain itu, mereka menginginkan agar masyarakat Asia mendukung peperangan yang sedang dijalankan melawan Sekutu (Belanda, Amerika, Inggris). Eksploitasi hasil bumi serta mobilisasi manusia adalah wujud dari cita-cita Jepang tersebut. Untuk menyukseskan pelaksanaan kebijakan mereka tentang kemakmuran bersama Asia Timur Raya di bawah pimpinan Jepang, pemerintahan militer Jepang memberikan perhatian besar untuk mengambil hati rakyat dan bagaimana mengindoktrinasi mereka. Salah satu media yang dimanfaatkan Jepang guna menarik simpati rakyat Indonesia adalah melalui media seni sandiwara/teater. Suatu organisasi bentukan pemerintah untuk menangani masalah propaganda dibentuk pada Agustus 1942. Organisasi ini bernama Sendenbu. Sendenbu merupakan sebuah departemen yang berada dalam Badan Pemerintahan Militer (Gunseikanbu), yang sejak awal sampai akhir masa pendudukan Jepang di Indonesia selalu dipimpin oleh orang dari kalangan militer. Di dalam Sendenbu terdapat Seksi Propaganda. Seksi inilah yang kemudian mengendalikan seluruh media propaganda. Sandiwara, yang termasuk salah satu alat propaganda pemerintah, tidak lepas dari pengawasan seksi ini. Jepang memilih sandiwara sebagai alat propaganda karena sandiwara dapat menggelorakan perasaan orang banyak. Selain Sekolah Tonil, Jepang juga membentuk Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Shidosho) untuk mendukung/menunjang propaganda melalui kesenian, termasuk sandiwara. Keimin Bunka Shidosho berdiri pada 1 April 1943. Keimin Bunka Shidosho adalah organisasi di luar Sendenbu sebagai pusat kebudayaan yang bergerak di bidang kesenian. Tujuan dari Keimin Bunka Shidosho adalah untuk menyesuaikan kebudayaan Indonesia dengan cita-cita Asia Timur Raya, bekerja dan melatih ahli-ahli kebudayaan Nippon dan Indonesia bersama-sama, serta memajukan kebudayaan Indonesia. Terdapat lima bagian di dalam Keimin Bunka Shidosho, yaitu bagian kesusasteraan, bagian film, bagian lukisan dan ukiran, bagian musik, dan bagian sandiwara dan tari. Setiap bagian dipimpin oleh seorang ahli seni dari Jepang dan didampingi seorang Indonesia. Bagian sandiwara dan tari dipimpin oleh K. Jasoeda didampingi oleh Winarno.

Pengurus Keimin Bunka Shidosho. Sumber Foto: Perpustakaan Nasional

Kedudukan bagian sandiwara adalah sebagai markas besar, atas perumusan kebijakan dasar pemanfaatan seni sandiwara demi propaganda politik, dan bertanggung jawab atas pendorongan, pelatihan, tuntunan, serta kontrol segala jenis kegiatan sandiwara. Keimin Bunka Shidosho juga ”menjaring” penulis naskah sandiwara kelas satu Indonesia, misalnya Inoe Perbatasari dan Armijn Pane. Naskah-naskah yang dikarang tersebut kemudian dibagi-bagikan kepada perkumpulan-perkumpulan sandiwara untuk dimainkan. Bagian sandiwara juga turut aktif menyelenggarakan pertunjukan-pertunjukan sandiwara, yang tujuannya tidak lain adalah propaganda, atau bekerjasama dengan organisasi-organisasi bentukan pemerintah lainnya untuk menyelenggarakan pertunjukan, serta memberikan hiburan bagi prajurit. Selain itu, Keimin Bunka Shidosho juga mengorganisir perkumpulan sandiwara lokal untuk tampil di wilayah-wilayah yang setaraf dengan perkampungan pinggir kota dan membentuk perkumpulan sandiwara. Menjelang akhir 1944, dibentuk suatu himpunan sandiwara buatan pemerintah. Organisasi ini bernama Djawa Engeki Kyokai atau Perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa (POSD). POSD dibentuk oleh Sendenbu pada 1 September 1944. POSD dipimpin oleh Hinatu Eitaroo. Sebelum pendirian organisasi ini, seluruh kegiatan seni sandiwara berada dalam kontrol Keimin Bunka Shidosho dan pengawasan Seksi Propaganda Sendenbu. Organisasi ini berdiri di bawah Seksi Propaganda Sendenbu. POSD bertugas sebagai perhimpunan berbagai perkumpulan sandiwara, menyelenggarakan berbagai pertunjukan, dan menyusun cerita sandiwara melalui Badan Permusyawaratan Cerita POSD, untuk kemudian dibagikan serta dimainkan oleh perkumpulan sandiwara yang termasuk ke dalam anggota organisasi ini. Pada perkembangan selanjutnya, POSD menempatkan perkumpulan-perkumpulan yang masuk di dalamnya untuk mengadakan berbagai pertunjukan di kota-kota besar Pulau Jawa, seperti Bandung, Surabaya, Malang, Surakarta, Yogyakarta, dan Jakarta. Biasanya pertunjukan-pertunjukan ini dilakukan serentak dan dimainkan oleh perkumpulan sandiwara yang telah bergabung di dalam POSD, seperti Bintang Soerabaja, Tjahaja Timoer, Bintang, Warnasari, Dewi Mada, Pantjawarna, Noesantara, dan Sinar Sari. POSD banyak memegang peranan dalam pertunjukan lakon-lakon propaganda. Perkumpulan yang telah masuk ke dalamnya, wajib membawakan lakon-lakon propaganda yang di karang oleh Badan Permusyawaratan Cerita POSD dan Keimin Bunka Shidosho. Wujud propaganda yang direalisasikan melalui sandiwara modern terlihat pada lakon-lakon masa ini. Hampir seluruh lakon-lakon sandiwara yang tercipta pada masa ini berkisah tentang kekejaman Belanda, kepahlawanan Jepang, anjuran memasuki organsiasi semi-militer, anjuran menyerahkan hasil bumi kepada pemerintah, dan sejarah Indonesia pada zaman kerajaan. Perkumpulan-perkumpulan sandiwara yang ada pada masa ini seluruhnya berada dalam kendali pemerintah, melalui organisasi-organisasi yang khusus menangani aktifitas sandiwara seperti yang telah dipaparkan di atas. Perkumpulan sandiwara seperti Bintang Soerabaja, Tjahaja Asia, Tjahaja Timoer, Warnasari, Miss Tjitjih, Dewi Mada, serta perkumpulan-perkumpulan yang sifatnya lokal, mendapat tugas keliling untuk memberikan pertunjukan kepada penduduk atau golongan militer. Mereka memberikan hiburan sekaligus propaganda. Tentu saja lakon-lakon yang dibawakan oleh perkumpulan-perkumpulan ini adalah lakon-lakon yang tidak membahayakan keberadaan Jepang di Indonesia serta lakon yang mengobarkan semangat perang di kalangan penduduk. Salah satu contoh pertunjukan lakon propaganda yang terjadi sepanjang masa pendudukan Jepang yaitu pertunjukan dari Perkumpulan Miss Tjitjih. Surat kabar Asia Raya menyebutkan bahwa perkumpulan ini bekerjasama dengan POSD menyelenggarakan pertunjukan pada 28 Mei 1945, di Siritu Gekidjo Pasar Baru, mengambil lakon ”Pentjaran Balik Selaka” gubahan dan pimpinan Lily Somawiria. Satu artikel di dalam majalah Djawa Baroe pada 15 Juni 1945 menyebutkan bahwa: ”pertoendjoekan ini ialah oesaha dari pihak P.O.S.D. (Perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa) oentoek mempertinggi semangat peperangan dikalangan rakjat, teroetama rakjat didesa-desa dan kota-kota ketjil….”. Selain itu bertujuan juga untuk mempertebal semangat rakyat untuk menyerahkan padi. Lakon ini menggambarkan pertempuran di zaman Kerajaan Padjadjaran, yaitu sebuah cerita tentang Prabu Wirakantjana, Raja Padjadjaran. Alasan POSD memilih cerita ini karena cerita-cerita kuno ini dikenal oleh rakyat kecil di desa-desa. Pertunjukan tersebut dihadiri oleh pejabat tinggi Sendenbu, Shimitzu, prajurit-prajurit Jepang dan Heiho, serta para pemimpin sandiwara dari luar kota dan desa dari Jawa Barat. Pertunjukan-pertunjukan semacam ini terjadi sepanjang masa pendudukan. Penulis-penulis yang tergolong sebagai penulis lakon produktif dimajukan ke depan oleh pemerintah guna menghasilkan karya-karya lakon propaganda. Di antara penulis-penulis ini adalah Armijn Pane, D. Djojokoesomo, J. Hoetagaloeng, Usmar Ismail, Merayu Sukma, Karim Halim, Aoh Kartahadimadja, Inoe Perbatasari, Idroes, Ariffien K. Oetojo, Ananta Gaharsjah, El-Hakim, Kamadjaja, dan pemimpin POSD, Hinatu Eitaroo. Hasil karya mereka, seperti Kami, perempoean, Djinak-Djinak Merpati, Awas Mata-Mata Moesoeh, Djarak, Koeli dan Romusha, Moetiara dari Noesa Laoet, Pertunjukan Propaganda. Sumber: Perpustakaan Nasional Tjitra, Pandoe Partiwi, Bekerdja, Ajo…Djadi Roomusha!, Fadjar Telah Menjingsing, dan lain-lain bercerita seputar memberikan gambaran brutal terhadap penjajahan Belanda; menganjurkan untuk mengikhlaskan anggota keluarganya memasuki barisan Suka Rela, Peta (Pembela Tanah Air), Heiho, dan Jibaku; menganjurkan untuk tidak hidup bersenang-senang di tengah peperangan; rela berkorban dengan menyumbangkan tenaga dan hasil bumi kepada pemerintah; dan memuji kehebatan tentara Jepang yang berjuang mengusir penjajah Barat dari Asia. Sebagai contoh, lakon Koeli dan Romusha karya J. Hoetagaloeng berkisah tentang tingginya martabat seorang Romusha (Pekerja Sukarela) pada masa Jepang dibandingkan dengan kuli kontrak pada masa Belanda. Karya ini memenangkan sayembara penulisan lakon sandiwara yang diselenggarakan oleh surat kabar Asia Raya pada 28 Mei 1945.

Lambang POSD. SUmber: Perpustakaan Nasional

Selain kedua penulisan dan pertunjukan panggung, propaganda lewat sandiwara ini juga diwujudkan melalui siaran radio. Tercatat ada beberapa lakon sandiwara propaganda yang disiarkan pada masa pendudukan, yaitu Darah Memanggil karya Achdiat dan Rosidi; Moetiara dari Noesa Laoet dan Tempat jang Kosong karya Usmar Ismail; Djibakoe Atjeh karya Idroes; Diponegoro karya Soetomo Djauhar Arifin; Bende Mataram karya Ariffien K. Oetojo; Ajahkoe Poelang (”Tjitji Kaeroe”) karya Kikoetji Kwan; Soemping Soerong Pati karya Inoe Kertapati; Iboe Perdjoerit karya Matsuzaki Taii; serta Djalan Kembali, Mereboet Benteng Kroja, Memotong Padi, Manoesia Oetama, dan Tanah dan Air. Telah diterangkan di atas, bagaimana seni sandiwara pada masa pendudukan Jepang dijadikan alat propaganda politik. Pengaruhnya kepada masyarakat, terutama kalangan terpelajar kota, tidak begitu besar. kalangan terpelajar kota, yang umumnya lebih akrab dengan pertunjukan sandiwara, tidak begitu tertarik untuk menyaksikan sandiwara dengan tujuan propaganda, sedangkan kalangan yang kurang terpelajar, cenderung lebih mengikuti saja pertunjukan sandiwara propaganda. Ini disebabkan karena keterbatasan informasi pada kalangan yang kurang terpelajar. Bagi generasi muda, himbauan Jepang relatif diterima dengan baik. Generasi muda mempunyai kesempatan untuk menikmati jenis hiburan ini, karena sering dipertunjukan di sekolah dan rapat-rapat lokal. Sumbangan positif kegiatan seni sandiwara pada masa pendudukan Jepang bagi dunia sandiwara selanjutnya, yaitu dikenalnya dokumentasi naskah lakon, jangkauan cerita sandiwara yang lebih luas, dan muncul secara tegas peran dan tanggungjawab seorang sutradara. Di samping itu, mulai dikenalnya fungsi seni sandiwara sebagai media massa yang sesungguhnya serta dikenalnya wadah khusus untuk menangani kegiatan seni sandiwara.

 MISS TJITJIH

The group leader named Miss Tjitjih S.A. Bafaqih

The group leader named Miss Tjitjih S.A. Bafaqih, one born in Pasuruan, East Java. He was already quite advanced ditahun 1962, 75 years old, born in 1888. Theoretical Dad has been retired, according to its own terms, but in practical secraa still lead straight. Actually he was bored with the play, both as a player or a leader or a play, but somehow, when you hear there is a play, just want to watch, apaun would happen, maybe it’s inborn. He told me that he knew very well that people who play it are snadiwara liar, is tantamount to a drug seller, is not entirely correct. The difference, play and the players got dressed lakon.punya story interesting. Perhaps in this world does need people like him. The people who are just moving the field of arts and culture. People said of him, people who are not so normal, he watched people, but we also sometimes be a spectacle because people rarely live IAMI no worse than a trash. but let us feel satisfied, and the audience that we need seba if they are not satisfied, recording will not come again.

  Bafaqih father was a traveling salesman from a disorder of the city, indeed the family is a family of merchants. Then went along with the heartfelt drama. Then mewrasa interested in the play field, seterusna easement and release their commercial work into play. in the history of the father hidunya Bafaqih met alone showman, a virgin from Sumedang who have talent with a fairly good-looking face, which later became his wife. The name comes from the name of Miss Tjitjih isterinyalah, before the play group was given the name: Opera De Nacht “. then” Valencia Opera “, and so Miss Tjitjih until 1962

N the Dutch colonial era, THE SILENT MISS TJITJIH PARTICIPATE FAMOUS SONG MAKES CREATION WRSUPRATMAN: INDONESIA RAYA ”

Every opera dizaman has an orchestra (band) music is usually memaikan popular song, meant to attract viewers, the song that played in front of the theater. An event when a group of regents disesuatu entertainment venues in West Java on the show Miss Tjitjih haidr and keadatangan Regent tersbut entourage was greeted with songs accompanied by the greatness of Indonesia Raya, the father Bafaqih consequently have to deal with the legal officer (hamawet). In the Dutch colonial era space for the troupe Miss Tjitjih very limited, if greeting the audience abundant, is prohibited. Performing alau very successful, the permit was not renewed, sometimes even revoked without reason, so the debt entourage Miss Tjitjih so accumulate

(who HAVE i inFo AFTER  1962, please be willing to tell me, thank you-Dr Iwan)

Ketua rombongan Miss Tjitjih bernama S.A. Bafaqih, seorang kelahiran Pasuruan, Jawa timur. Usianya sudah agak lanjut ditahun 1962 ,75 tahun,kelahiran 1888. Teoritis Bapak ini sudah pensiun, menurut istilah sendiri, tapi secara praktisnya masih tetap memimpin secraa langsung. Sebenarnya ia sudah bosan dengan sandiwara, baik sebagai pemain ataupun pemimpin atau menonton sandiwara, tetapi entah bagaimana, kalau mendengar ada sandiwara, ingin saja ikut menonton, apaun yang bakal terjadi, mungkin sudah dibawa sejak lahir. Ia bercerita bahwa , ia tahu betul bahwa orang yang main snadiwara itu adalah tukang bohong,sama saja dengan seorang penjual obat,tidak seluruhnya benar. Bedanya, sandiwara punya lakon.punya cerita dan pemain berpakaian menarik. Mungkin didunia ini memang perlu orang-orang seperti dia. Orang-orang yang hanya bergerak dilapangan seni dan budaya. Orang berkata tentang dia, orang yang tidak begitu normal,ia ditonton orang, tetapi kami juga kadang-kadang jadi tontonan orang  sebab tak jarang hidup iami lebih jelek daripada seorang gembel. tetapi biarlah kami merasa  puas, dan penonton yang memerlukan kami  seba  jika mereka tidak puas, merekan tidak akan datang lagi.

 bapak Bafaqih adalah seorang pedagang keliling dari satu kelain kota, memang keluarganya adalah keluarga pedagang. Kemudian ikut-ikutan dalam oragnisasi sandiwara. Kemudia mewrasa tertarik dilapangan sandiwara, seterusnYa keenakan dan melepaskan pekerjaan dagangnya masuk sandiwara. dalam sejarah hidunya bapak Bafaqih bertemu dengan sorang pemain sandiwara, seorang dara dari sumedang yang memiliki bakat dengan paras yang cukup rupawan ,yang kemudian menjadi isterinya. Dari Nama isterinyalah bersumber nama Miss Tjitjih, sebelumnya rombongan sandiwaranya diberi nama :De Nacht Opera”.kemudian “Valencia Opera”, lalu jadi Miss Tjitjih sampai tahun 1962.

DI ZAMAN PENJAJAHAN BELANDA, SECARA DIAM-DIAM MISS TJITJIH IKUT SERTA MEMBUAT TERKENAL LAGU CIPTAAN W.R.SUPRATMAN :INDONESIA rAYA”

Setiap opera dizaman itu memiliki sebuah orkes(band) musik yang biasanya memaikan lagu populer, maksudnya untuk menarik penonton, lagu yang dimainkan didepan gedung pertunjukan. Suatu peristiwa ketika serombongan bupati disesuatu tempat hiburan di jawa barat haidr pada pertunjukan MIss Tjitjih dan keadatangan rombongan Bupati tersbut disambut dengan kebesaran disertai lagu Indonesia Raya, akibatnya bapak Bafaqih harus berurusan dengan petugas hukum(hamawet).Pada zaman penjajahan Belanda ruang gerak untuk rombongan Miss Tjitjih sangat dibatasi, kalau sambutan penonton melimpah,dilarang. alau Pertunjukan amat berhasil, maka izin tidak diperpanjang,adakalanya bahkan dicabut tanpa alasan,sehingga hutang rombongan Miss Tjitjih jadi menumpuk.  

 (siapa yang memiliki info setelah tahun 1962,harap berkenan menginformasikannya kepada saya,terima kasih-Dr Iwan)

 

the end @Copyright Dr Iwan Suwandy 2011

6 responses to “The Historical Betawi Music Record Development Book One 1900-1950(Sejarah Perkembangan Rekaman Musik Betawi Awal abad Ke-20)

  1. tolong pak dr, kalau itu tulisan orang lain, ditulis juga sumbernya. salam. Fandy Hutari. http://www.fandyhutari17.blogspot.com

    • tulisan dalam web blog umumnya dari saya pribadi, sedangkan bila dari orang lain diberi judul sumber google explorations and international collections.saran anda akan saya usahakan agar dapat diberikan catatan kaki,tetapi sumbernya sangat banyak sehingga sangat sulit dapat diberikan secara lengkap.
      terima kasih sudah visit blog saya

  2. Terima kasih , sangat menarik

  3. In Cape Town, these being the warmer Indian Ocean and
    the chillier Atlantic Ocean, it is difficult to believe if they are goong to
    stay in vacation rentals,like Istanbul holiday apartments.
    A rejuvenated YOU is what you should be asking yourself is how much are
    you really saving? At the point of booking fees being annoying.

Leave a comment