Pertualangan Dr iwan Ke Pulau Bangka
November 22, 2016, 11:27 am
Did you know you can view enhanced stats on WordPress.com? Show Me
//
-
Today
-
Best ever
-
All time
1,056,982 views1,934
Oleh
Dr Iwan Suwandy,MHA
Peserta
Adiwidjaya ^ By Yun, DR Iwan Suwandy,MHA ^
Ny Lily,
Aswin &Murni
Berangkat Tanggal 15 Oktober 2016 dari Jakarta jam 10.00 Pagi
Tiba Pangkal pinang sekitar jam 11.00 WIB
Kemudian munju Hotel Hariitge
Serrata Terrace Hotel ***
Alamat : Jl. Pantai Pasir Padi Pangkal Pinang
Telepon : (0717)7010166, 42560
Fax : (0717) 4256196
Hotel Bumi Asih Pangkal Pinang
Alamat : Jl. Jend. Sudirman N0.25, Pangkal Pinang, Bangka Belitung.
Telepon : (0717) 437-776
RM Asui
RM Asui merupakan restoran hidangan laut yang menyajikan makanan lokal seperti Lempah Kuning.
Klik gambar di sebelah kiri untuk menampilkan beberapa foto yang lebih besar dari RM Asui.
Lokasi |
: |
Jl. Yang Zubaidah No. 242 |
Telepon |
: |
0717 423772 |
Jam operasional |
: |
setiap hari, pk. 10:30-22:00 |
Keterangan |
: |
hanya menerima pembayaran dengan uang tunai. |
Restoran Biru Laut
Berada di pinggir Pantai Pasir Padi, Biru Laut tidak hanya menawarkan hidangan olahan laut, namun juga masakan khas Bangka seperti Lempah Kuning.
Lokasi |
: |
Jl. Pantai Pasir Padi, Pangkalpinang atau sekitar 7 kilometer dari Pangkalpinang |
Telepon |
: |
0812 717325 |
Greeng Lesehan
Greeng Lesehan adalah tempat di mana Anda bisa makan makanan tradisional Bangka, seperti lempah darat, lempah kuning, dan lainnya.
Lokasi |
: |
Jl. A. Yani, No. 97, Pangkalpinang |
Telepon |
: |
0852 68080773 |
Jam operasional |
: |
setiap hari, pk. 10:00-23:30 |
Keterangan |
: |
hanya menerima pembayaran dengan uang tunai. |
Mie Koba
Tempat makan ini khusus menyediakan Mie Koba, mie kuah khas dari Bangka.
Lokasi |
: |
Jl. Balai No. 83, Pangkalpinang |
Telepon |
: |
0813 67001929 |
Jam operasional |
: |
setiap hari, pk. 7:00-22:00 |
Keterangan |
: |
hanya menerima pembayaran dengan uang tunai. |
Otak-otak Kon Kim
Otak-otak Kon Kim ini terkenal akan otak-otaknya, makanan tradisional yang terbuat dari ikan tenggiri dan tepung, yang disajikan dengan saos tauco maupun saus kacang, dll.
Lokasi |
: |
Jl. Jend. Sudirman No. 54, Gg. Aster, Pangkalpinang |
Telepon |
: |
0717 424148 |
Jam operasional |
: |
setiap hari, pk. 10:00-22:00 |
Keterangan |
: |
hanya menerima pembayaran dengan uang tunai. |
Kedai Mie Bangka
Kedai Mie Bangkaini terkenal akan Mie Bangka-nya, salah satu makanan khas Bangka yang biasanya disajikan dengan bakso, babat, dan pangsit goreng.
Lokasi |
: |
dekat Pasar Ramayana, Pangkalpinang |
Telepon |
: |
0717 424148 |
Restoran Aurora
Restoran Aurora menawarkan hidangan khas tanah air, China dan juga hidangan Barat, serta mempunyai pemandangan yang indah dari Pantai Tajung Pesona.
Lokasi |
: |
Tanjung Pesona Beach & Resort, Jl. Pantai Rebo, Sungailiat |
Telepon |
: |
0717 436650, 0812 71235999 |
Fax |
: |
0717 435561 |
RM Saung Kuring
RM Saung Kuring menyediakan berbagai macam hidangan Sunda, terutama olahan dari ikan guramenya.
Lokasi |
: |
Jl. Girimaya, Pangkalpinang |
Telepon |
: |
0717 434647 |
Keterangan |
: |
restoran ini bisa menampung hingga 115 pengunjung dan tersedia dalam setting modern dan tradisional (lesehan |
Rumah makan Asia Pangkal pinang
- Peta Jarak Antar Kecamatan..
Peta Jarak Tempuh ke Kecamatan Lai
Peta Pangkalpinang
Lima Wisata Sejarah Paling Hits di Pangkalpinang
Kota PangkalpinangMelihat Langsung Tradisi Cengbeng. Read more … » di pulau BangkaKesederhanaan ala Kedai Kopi Akhew, Pangkalpinang. Read more … » adalah ibukota provinsi Bangka Belitung yang memiliki banyak kawasan wisata yang menarik.
1.Rumah Eks Residen Bangka
Rumah Eks Residen Bangka
Ini adalah bekas rumah Residen Bangka di Pangkalpinang yang memiliki catatan sejarah yang panjang. Rumah ini terletak di pusat kota, tepatnya di jalan Jenderal Sudirman, Pangkalpinang. Bulan Februari lalu saya sempat berkunjung kemari dan melihat langsung keindahan arsitektur rumah ini.
Rumah berarsitektur Eropa ini dibangun awal abad ke-20, dan mulai ditempati pada tahun 1913 oleh Residen (penguasa Belanda) di Bangka yang berkedudukan di kota Pangkalpinang. Menurut catatan sejarah, Pangkalpinang dijadikan ibukota karesidenan Bangka di masa penjajahan Belanda, setelah sebelumnya ibukota Karesidenan ini berada di kota MuntokMengunjungi Rumah Pengasingan Soekarno di Bangka. Read more … », Bangka BaratKejayaan Timah Bangka Bukan Isapan Jempol. Read more … ».
Bentuknya yang besar membuat warga Bangka menyebutnya sebagai rumah besar. Yang paling mencolok dari bentuk rumah ini adalah adanya 10 pilar yang berada di teras depan rumah. Selain itu yang khas dari rumah berarsitektur Eropa adalah bukaan jendela yang lebar, ventilasi dan pintu berukuran serba besar. Rumah Residen kini menjadi rumah dinas Walikota Pangkalpinang M.Irwansyah Rebuin dan menjadi salah satu cagar budaya yang dilindungi.
- Tamansari (Wilhelmina Park)
Taman Sari alias Wilhelmina Park
Nama taman Wilhelmina Park ini mengingatkan pada sosok ratu Belanda, Wilhelmina. Dinamakan seperti nama ratu Belanda karena taman ini dibangun saat masa pendudukan Belanda di IndonesiaPulau Bali Raih Best Island 2015. Read more … ». Setelah kemerdekaan RI nama taman diubah menjadi Tamansari dan diresmikan oleh Wakil Presiden Ri Mohammad Hatta pada tahun 1949.
Tamansari dirancang oleh Van Ben Benzenhorn sebagai fasilitas pendukung rumah Residen Bangka, yang letaknya bersisian. Taman ini ditata bak taman-taman di Eropa. Dengan pepohonannya yang rindang, taman ini menjadi oase bagi warga Pangkalpinang yang hendak melepas penat. Selain difungsikan sebagai taman, Tamansari juga digunakan sebagai tempat konservasi tanaman, tempat berolahraga hingga sekedar bersantai bersama keluarga.
Oiya, nama Tamansari ini diambil dari nama kecamatan tempat taman ini berada. Sejak tahun 2010 Tamansari dijadikan cagar budaya Pangkalpinang yang dilindungi Undang-undang Cagar Budaya.
- Museum Timah Indonesia
Bangka identik dengan timah, dan bicara timah asal Bangka berarti membicarakan sejarah panjang eksplorasi timah di Nusantara. Dan untuk memahami sejarah pertimahan di pulau Bangka, maka berkunjunglah ke Museum Timah Indonesia yang terletak di jalan Ahmad Yani, Pangkalpinang.
Di museum ini kita bisa menyaksikan perjalanan sejarah penambangan timah di Bangka. Mulai dari penambangan yang dilakukan secara tradisional oleh masyarakat, sejarah perkembangan teknologi pertambangan sejak jaman Belanda hingga terkini.
Mencermati satu persatu koleksi museum Timah pengunjung akan dibawa menyelami kejayaan timah Bangka di awal abad ke-20. Masa di mana timah sebagai komoditas andalan Indonesia yang dikenal bukan saja di kancah regional, namun hingga ke seluruh dunia. Keterkenalan itu menjadikan timah Bangka sebagai salah satu timah terbaik di dunia.
- Panti Wangka (Societeit Concordia)
Gedung Panti Wangka alias Societet Concordia
Panti Wangka atau gedung Societeit merupakan gedung pertemuan bagi orang-orang Belanda di kota Pangkalpinang. Gedung ini terletak di pusat kota, dekat dengan sejumlah kantor pemerintahan. Letak gedung ini tak jauh dari Wilhelmina Park atau Tamansari.
Gedung ini didirikan pada masa residen Bangka A.J.N Engelenberg yang memerintah tahun 1913 – 1918. Societeit Concordia digunakan sebagai tempat berkumpulnya sosialita Belanda, yang terdiri dari ambtenar goebernemen (petinggi pemerintahan), petinggi militer, pejabat perusahaan BTW (Banka Tin Winning), hingga pengusaha. Di tempat ini biasanya mereka melepas lelah, makan-makan, mendengarkan musik dan hiburan seni.
Seiring dengan nasionalisasi aset milik pemerintah Belanda menjadi BUMN, tahun 1953 gedung ini pun beralih pengelolaannya menjadi dibawah Unit Penambangan Timah Bangka dan berubah namanya menjadi Panti Wangka. Setelah itu gedung ini pernah menjadi gedung pertemuan, kantor sementara DPRD Provinsi Bangka Belitung, serta PN Pangkalpinang saat gedung pengadilan tersebut direnovasi. Kini gedung bersejarah ini digunakan oleh KONI Bangka Belitung sebagai kantornya.
- Rumah Kapitan Lain Nam Sen
Rumah Kapitan
Rumah cantik berarsitektur perpaduan China Hakka dengan Melayu ini bisa ditemukan di jalan Balai, Pangkalpinang. Rumah Kapitan Lain Nam Sen ini merupakan bukti betapa akulturasi budaya China berjalan dengan cara yang indah dan berdampingan dengan budaya lokal Melayu. Hidup damai berdampingan memang sudah ada sejak lama di Pangkalpinang. Ini terbukti dari keberadaan rumah ini yang sudah ada sejak tahun 1800-an.
Rumah ini awalnya adalah rumah panggung, sama seperti kebanyakan rumah di Sumatera pada masanya. Rumah semacam ini dibangun dengan alasan keamanan, sebab saat itu masih kerap ditemukan binatang buas yang berkeliaran di kampung-kampung. Dengan rumah panggung, sentral kegiatan di rumah berada di lantai atas. Sementara di bagian bawah biasanya digunakan untuk menyimpan ternak atau kendaraan.
Dari luar rumah ini tak beda dengan rumah di Pangkalpinang lainnya. Namun begitu kaki melangkah ke bagian dalam, maka akan tampak keunikan rumah ini. Yang paling unik menurut saya adalah tegelnya. Coraknya sangat vintage, cantik sekali. Kemudian pembagian ruangnya juga menarik. Rata-rata ruangannya cukup luas, dengan area publik di bagian bawah. Sementara area privat berada di lantai dua.
Keunikan berikutnya adalah furnitur kayunya yang masih terawat dengan sangat baik. Semuanya adalah peninggalan keluarga turun temurun.
Saat ini proses renovasi rumah Kapitan ini sudah hampir selesai. Nantinya rumah ini akan dijadikan semacam galeri atau museum rumah khas China-Melayu dan terintegrasi dengan hotel di bagian belakang rumah.
Interest area
Situs Kuto Panji Belinju
Fortress or Citadel Kutopanji Bongkap,
located in the village of Dull.
Monolit Sungai Liat
Benteng Kuto Panji
Sebagai salah satu asset sejarah yang menyimpan banyak cerita misteri, baik itu berupa mitos atau pun sejarah, Benteng Kuto Panji memiliki daya tarik tersendiri bagi pengunjung, terutama pada cerita sejarahnya.
Ada banyak versi cerita sejarah benteng ini yang berhubungan erat dengan kerajaan di Tiongkok.
Dari semua versi itu, ada kemiripan cerita yaitu seorang raja kerajaan kecil bernama Bong Kiung Fu yang memerintah di Belinyu yang memiliki seorang anak gadis berparas cantik bernama Bong Lili atau putri Chok Tian.
Bong Khiung Fu adalah seorang penguasa yang baik hati di Tibet-China yang menolak membayar upeti kepada penguasa Tiongkok yang lalim pada masa itu.
Sang penguasa marah dan memerintahkan hukuman mati kepada Bong Khiung Fu.
Bersama pasukan dan putrinya, Bong Khiung Fu pun melarikan diri dari daratan Tiongkok dan mengarungi samudra.
Mereka membawa seluruh harta dan pasukannya dengan menggunakan beberapa buah kapal besar dan kecil.
Mereka juga membawa tanaman jeruk Kingkit sebagai obat anti mabuk, yang dimasa mendatang, merupakan tanaman yang mahal dan langka di Indonesia.
Ketika melewati perairan Selat Berhala dekat ujung utara pulau Bangka, rombongan ini dikejar oleh para bajak laut, sehingga mereka melarikan diri menuju Pulau Bangka, memasuki Teluk Kelabat hingga muara Sungai Karang Lintang dan bersembunyi di situ.
Setelah merasa aman bersembunyi di situ, mereka lalu membuka lahan untuk berkebun dan bercocoktanam sehingga kemudian berfikir untuk mendirikan sebuah benteng pertahanan yang kokoh untuk bertahan dari serangan bajak laut dan serangan lainnya.
Bangunan yang didirikan itu sebagai benteng sekaligus istana kecil, lengkap dengan perangkat pemerintahannya. Sebagai kerajaan kecil yang saat itu tunduk pada kekuasaan Kesultanan Palembang, maka tentu saja diharuskan memberikan upeti berupa timah tiban.
Pembangunan Benteng Kuto Panji atau dalam bahasa China, Bongkap, memakan waktu 5 tahun (1664-1669 M).
Sebagai perekat/ semen, digunakan putih telor angsa sebagai campuran pasir dan batu sehingga benteng ini dapat bertahan beberapa abad sebelum benar – benar runtuh di tahun 1774 karena serangan musuh serta serangan Lanun.
Versi lainnya mengenai keberadaan benteng ini mengenai seorang raja kikir dan bengis bernama Bong Khiung Fu yang memerintah di Tibet, dimana selama pemerintahannya sang raja telah menyalahgunakan kekuasaan demi kepentingan pribadi, misalnya dengan memberlakukan pajak yang sangat tinggi sehingga menyebabkan rakyat menderita.
Hal tersebut diketahui oleh maharaja Khian Lung yang bertahta di Provinsi Fukkian setelah mengadakan peninjauan terhadap negeri – negeri kekuasaannya.
Terciumnya kebusukan Bong Khiung Fu ini bermula dari sebuah peristiwa besar yang dikenal dengan Thai Nau Fa Leu atau Insiden Hotel Seribu Bunga, dimana sang kaisar berontak hebat dengan putera angkat Bong Khiung Fu yang bernama Cok Hin, sehingga kejahatan Bong Khiung Fu pun terungkap.
Sang Kaisar marah besar dan memerintahkan para pengawal untuk menangkap Bong Khiung Fu yang kemudian memutuskan untuk melarikan diri bersama pengikut dan putri kesayangannya serta penduduk yang dibohinginya dengandalih mencari bahan makanan pokok ke Nanyang.
Bong Kiung Fu membawa semua harta kekayaannya dalam pelarian tersebut menggunakan 3 kapal besar dan 3 kapal kecil hingga merapat di pelabuhan Karang Lintang Desa Kuto Panji Belinyu. Sejak itulah mereka menetap di bagian utara pulau Bangka dengan alas an, sebagai buronan sudah semestinya bersembunyi di daerah kecil agar susah dilacak oleh kerajaan China.
Pada saat Pulau Bangka termasuk wilayah kekuasaan Sultan Mahmud Badaruddin Palembang, yang kemudian mengizinkan Bong Khiung Fu menetap di Kutopanji dan mendirikan sebuah benteng megah dan indah yang dikerjakan selama kurang lebih 149 minggu. Benteng ini memiliki 9 ruangan dan 18 sumur serta pintu gerbang – pintu gerbang yang menghadap ke Timur Laut.
Bong Khiung Fu bergelar Kapitan Bong atau lebih dikenal dengan Bongkap, memulai usaha dengan membuka tambang timah, perkebunan karet dan lada yang amat luas sehingga mempekerjakan banyak kuli dari Pulau Jawa.
Menurut beberapa versi mengenai kematian sang raja, Bong Khiung Fu mati terbunuh oleh bangsa Lanun, namun ada juga yang menyatakan dirinya lari ke Semenanjung Malaka, sementara putrinya Cok Tian mati bunuh diri dengan menceburkan diri ke sumur di sekitar istana bersama dengan seluruh emas dan perhiasan, sehingga diyakini bahwa benteng ini menyimpan harta karun yang tak ternilai harganya, serta cerita mengenai peti emas yang terbuka dengan aneka perhiasan berkilauan, tetapi setelah didekati tiba – tiba raib entah.
Benteng ini pun terkenal angker dan keramat. Sampai saat ini, reruntuhan benteng Kuto Panji masih menyisakan beberapa bangunan terletak di belakang Kantor Camat Belinyu.
Kekuasaan Bong Khiung Fu mengalami keruntuhan sekitar abad ke 17, ketika para bangsa Lanun atau bajak laut yang berasal dari Filipina mendengar bahwa di pulau Bangka ada seorang hartawan yang memiliki kekayaan berlimpah ruah.
Para Lanun tersebut menyerang ke benteng ketika Bongkap dan anak buahnya sedang berada di Malaysia untuk menjual hasil timah dan lada, namun penyerangan itu gagal setelah salah seorang kapten para perompak tewas ditimpa buah bakau yang banyak tumbuh dipelabuhan Karang Lintang.
Kejadian tersebut membuat puteri Bong Khiung Fu nekad melakukan bunuh diri setelah membuang semua harta kekayaan mereka ke dalam sumur karena takut ditangkap, dianiaya dan diperkosa oleh para Lanun.
Sejak kejadian itu, Bongkap yang semula kikir menjadi orang yang dermawan, namun kondisi kesehatannya menurun drastis dan mulai sakit-sakitan.
Pada abad ke 17, daerah ini merupakan dataran rendah bagian dari teluk Kelabat Belinyu yang lama-lama terjadi pengendapan dan pendangkalan, sehingga akhirnya berubah menjadi daratan.
Timah alluvial (endapan) dengan mudah ditemukan di kawasan ini, karena pasir timah mengendap di bagian terendah.
Sejak zaman kerajaan Bongkap, wilayah ini telah menjadi obyek galian timah dan beberapa bagian diserahkan sebagai upeti kepada kesultanan Palembang yang berkuasa pada saat itu dan dikenal sebagai Timah Tiban.
Sementara, akulturasi dan asimilasi antara suku Melayu di Belinyu dengan etnis Tionghoa di daerah ini telah berlangsung sejad dari 4 abad yang lampau.
Hingga hari ini, sisa reruntuhan benteng tersebut masih dapat dilihat di Desa Kuto Panji. Untuk menghargai jasa – jasa Bongkap, dibuatlah sebuah makam di dalam benteng. Tidak jauh dari reruntuhan benteng, terdapat sebuah kelenteng kecil yang didirikan oleh Bong Kiung Fu sendiri.Di dalam kelenteng ini terdapat sepasang patung dewa Thai Pak Kung yang dibawa dari dartan Tiongkok. Disamping kelenteng ini juga terdapat sebuah sumur tua peninggalan Bongkap yang menjadi sumber air bagi penduduk di sekitar kelanteng. Sumur ini tidak pernah kering airnya walaupun pada musim kemarau.
Enam Objek Diajukan Pemkab Bangka untuk Dijadikan Cagar Budaya
KONFRONTASI-Pemerintah Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mengusulkan enam objek di daerah itu untuk ditetapkan sebagai bangunan atau situs cagar budaya ke pemerintah pusat melalui Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
“Kami mengusulkan enam objek agar ditetapkan sebagai cagar budaya oleh pemerintah pusat,” kata Asisten Administrasi Umum Setda Kabupaten Bangka, Surtam pada sosialisasi pendaftaran cagar budaya tahun 2015 di Sungailiat, Senin.
Menurut dia, keenam objek itu diusulkan sebagai situs cagar budaya karena memiliki sejarah dengan bangunan fisik yang sudah cukup lama.
Keenam objek itu yakni Rumah Dinas Camat Belinyu, Tugu Kemerdekaan, Nisan Horatio Nelson Levyssohn, Benteng Kuto Panji, Situs Kota Kapur, dan Benteng Kotawaringin.
Ia menjelaskan, secara fisik Rumah Dinas Camat Belinyu memiliki luas bangunan 331 meter persegi dengan luas tanah 10.287 meter persegi, sementara Tugu Kemerdekaan yang belokasi di terminal Sungailiat mempunyai luas bangunan dan luas tanah 66.24 meter persegi.
Sementara Nisan Horatio Nelson Levyssohn di Sungailiat mempunyai luas bangunan dan luas tanah tiga meter persegi, Banteng Kuto Panji memiliki luas bangunan 2.784 meter persegi dan luas tanah 2.940 meter persegi, Situs Kota Kapur di Mendobarat memiliki luas bangunan 132 hektar dan luas tanah 154,045 hektar, sedangkan Benteng Kotawaringin mempunyai luas bangunan 144,94 meter persghi dan luas tanah 901,11 meter persegi.
Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaa, Harri Widianto mengatakan pendaftaran cagar budaya dilakukan di kabupaten atau kota secara online.
“Setelah mendaftar kemudian ditunjuk sebanyak tiga orang dari dinas terkait di pemerintah daerah untuk mengikuti bimbingan teknis selama satu minggu,” katanya.[mr/tar]
Wisata Rumah Sejarah Pesona Pangkalpinang
Wisata Rumah Bersejarah Di Pangkal Pinang
Kota Pangkalpinang pernah menjadi wilayah kekuasaan Inggris, Belanda, Jepang, Kerajaan Sriwijaya, dan Majapahit. Pada masa Belanda, ibukota Karesidenan Bangka terletak di Muntok. 3 September 1939 dipisahkan pengelolaan timah, administrasi, dan Pemerintahan dan memindahkan Ibukota ke Pangkalpinang. Sampai sekarang Kota Pangkalpinang menjadi daerah otonom (pusat pemerintahan, perdagangan, dan sebagainya).
Menyelusuri sebagian obyek wisata Kota Pangkalpinang memang tidak terlepas dari ‘bau’ Kolonial, Kerajaan, Sumatera Selatan, Tionghoa, dan Timah. Kali ini saya bercerita tentang rumah sejarah yang saya kunjungi. Tiga rumah berunsur sejarah yang sangat menarik bila kamu datang ke Pangkalpinang dan Muntok.
Rumah Pengasingan Bung Karno dan Bung Hatta
Rumah Pengasingan Sukarno Pangkalpinang di Bukit Menumbing
Untuk mencapai ke tempat obyek wisata sejarah ini, melewati jalan berkelok-kelok, turunan dan tanjakan yang mirip Roller Coaster atau Kora-kora di Dunia Fantasi. Namun, terbayar dengan menginjakkan kaki di Rumah Pengasingan yang dikelilingi laut dan gunung/bukit Menumbing.
Rumah yang terletak Di Bukit Menumbing, Mentok, Bangka Barat pernah menjadi tempat pengasingan Bung Karno dan Bung Hatta – saat asgresi kedua di tahun 1948-1949. Rumah besar ini terlihat megah dan kokoh. Hal pertama yang menarik dan seksi ketika masuk ke rumah ini ialah mobil klasik Ford De Luxe 8 berwarna hitam. Yang ternyata sudah tidak ada lagi mesinnya, hilang entah ke mana. Terpenting kerangkanya masih dapat bertutur bahwa Bung Karno dan beserta ajudannya pernah ada di dalamnya.
Terdapat juga , foto-foto para tokoh tertempel di dinding juga bercerita tentang peristiwa yang mereka cetuskan. Tokoh-tokoh yang pernah mengunjungi dan mengadakan pertemuan dengan Bung Karno dan Bung Hatta di Rumah Pengasingan. Selain rentetan foto, saya menemukan surat penghargaan Bung Karno tentang masyarakat Bangka. Singkat isinya:
“Rakjat Bangka njata bersemangat republikein, njata berkehendak Bangka masuk dalam daerah Republik.”
Saya sekilas mendapatkan apa yang pernah terjadi di tahun tersebut. Saya pun jadi membayangkan raut wajah Pemimpin Negara Indonesia itu ketika menuliskannya. Pasti penuh kebanggaan dan senyuman.
Di Rumah Pengasingan, dibiarkan barang-barang, desain, dan furniture apa adanya dan tidak diganti. Selain Pemerintah, ada seorang dari generasi ketiga yang pernah menjadi ajudan Presiden Sukarno di rumah pengasingan. Generasi ketiga asal Jawa ini yang memelihara rumah tersebut. Hingga ruang tidur pun tidak diubah letak posisi dan furniture yang semuanya dari kayu jati.
Kemudian, di luar rumah, ada yang menarik perhatian saya dan teman-teman, seekor ular sejenis Venom (ular berbisa). Ular tersebut muncul sekitar tahun 1951-1952, tidak pernah makan, tapi bertelur sampai 4 ekor. Ketika kami di sana, 4 ekor lainnya tidak ada di tanaman tersebut dan menurut penjaga rumah sedang jalan-jalan. What? Itu berarti saya bisa bertemu 4 ular di tempat tak terduga di rumah ini. Aish. Dan menurut penjaga sekaligus perawat rumah ini, Mas Tedjo – meski tanaman telah berkali-kali diganti – ular-ular itu tetap mendiami posisinya di mana pot tanaman diletakan seperti semula.
Pemandangan Di Rumah Pengasingan Bangka #pesonapangkalpinang. Dokumentasi Foto: Rosid
Satu lagi yang seksi. Pemandangan alam luar Rumah Pengasingan. Dari atas rumah pengasingan, kami dapat melihat wilayah Muntok yang ternyata bagus sekali. Atas rumah yang berbentuk segi empat dan tiap sudutnya berdiri bendera Merah Putih. Langsung semua pada foto-foto dan wefie atau selfie. Di area ini, udaranya segar dan bukit-bukit atau gunung Menumbing terlihat hijau dan gagah. Bagus nih kayagnya buat terapi dan meditasi. Eh..
Wisma Ranggam
Rumah atau disebut wisma ini masih berkaitan dengan sejarah Rumah Pengasingan Bung Karno dan Bung Hatta. Di Wisma ini, Bung Karno dan Agus Salim, M. Roem, Ali Sastroamidjojo dan lainnya pernah menginap di tahun 1948 dan 1949. Wisma yang terdiri dari 8 ruang (kamar dan ruang pertemuan) berbentuk sederhana dan berdiri sejak tahun 1827. Dan tak perlu melalui jalanan berkelok yang bikin jantung naik-turun. Malah jalanannya mulus, rapi, dan bersih.
Wisma Ranggam, Muntok #PesonaPangkalpinang.
Dibangun oleh Banka Tin Winning, perusahaan timah milik Belanda. Terletak masih di wilayah Muntok. Di depannya, kami langsung bisa melihat sebuah tugu berwarna putih. Di samping halaman berdiri beberapa batu. Sayangnya tempat wisata yang sederhana dan menarik ini tidak terlihat keterangan mengenai wisma, batu, dan tugu. Mungkin ada hal lainnya yang terselip di Wisma Ranggam – yang tidak terlihat di mata pengunjung. Padahal Wisma Ranggam salah satu obyek wisata yang juga perlu dikupas.
Rumah Kapitan Lain Nam Sen
Rumah bertingkat dua yang dibangun dari peninggalan seorang kapitan peranakan Tionghoa dan Melayu terletak di Jalan Balai, Pangkalpinang. Dibangun sekitar tahun 1700-an. Rumah yang juga disebut rumah panggung merupakan destinasi paling berkesan bagi saya (selain ketiga di atas). Di rumah ini tidak saja merupakan destinasi sejarah, tapi juga seni budaya. Dengan arstitektur Tionghoa dan Malayu, pemilik sekarang tidak menghilang ‘arwah’ seni yang begitu kental.
Dari interior, perlengkapan rumah, ornamen, ventilasi, sampai lantai membuat saya terkagum-kagum pada tempat ini.
Rumah Kapitan Tionghoa Malayu, Wisata Sejarah & Seni Budaya #PesonaPangkalpinang
Rumah yang dibangun oleh seorang kapitan, dan pernah menjadi salah satu orang berpengaruh di Bangka di masa perjuangan, meninggalkan Heritage luar biasa. Warisan yang tidak hanya bercerita tentang gaya hidup dan rumah-rumah di zaman dulu, tapi juga dapat memikat wisatawan melalui seni bernilai tinggi.
Kini, Rumah Kapitan dimiliki Ongky, entah dari generasi berapa. Ongky bercerita tentang kakek dari kakeknya yang membangun rumah cantik ini. Jadi silahkan menghitung sudah berapa generasi rumah ini berdiri. Ia pun sengaja memugar rumah tersebut tanpa melenyapkan perabotan rumah dan lainnya serta sebagian lebih bangunan. Alasannya agar wisatawan bisa menjelajah obyek wisata sejarah dan seni budaya .
Udara yang masuk pun begitu bebas dan berhawa ke tempoe doeloe. Suatu tempo yang terus hadir di masa modern ini. Dan masih tidak ketinggalan bila orang menerapkan konsep seni Tionghoa dan Malayu yang kuno dan authentic di rumah, cafe, bahkan di
isi-isi dari Rumah kuno tapi bernilai seni ini. Dari lemari, meja tamu, meja makan, tempat tidur, kaca, televisi, kaca rias, lantai, ornamen ventilasi, pintu, dan rupa-rupa lainnya, saya potret satu per satu. Asli sangat berkesan.
ini merupakan keindahan seni otentik yang berkumpul di satu tempat. Belum lagi kuliner daerah ini yang rasanya enak dan patut dicicipi.
Kenikmatan apalagi yang didustakan. Jiah ngikutin pribahasa kekinian.
Rumah Kapitan Tionghoa-Malayu Halaman Belakang. Wisata
sejarah & seni budaya #PesonaPangkalpinang
Paling kece lagi, di halaman belakang Rumah Kapitan, berdiri gapura dan tangga yang menghubungkan tamu salah satu hotel dengan rumah ini.
Menunjukan pemilik rumah sekarang, membuka akses wisata dan membiarkan para tamu menikmati kejayaan masa lalu beserta seni yang tidak memudar ini.
Population at Bangka-Belitung Islands Province (2008)
Regency/Municipality |
Number of Population |
||
Male |
Female |
Total |
|
Bangka |
149,912 |
127,792 |
270,704 |
Bangka Barat |
83,641 |
74,792 |
158,433 |
Bangka Tengah |
76,903 |
68,767 |
145,670 |
Bangka Selatan |
85,042 |
76,045 |
161,087 |
Belitung |
73,143 |
65,404 |
138,547 |
Belitung Timur |
48,096 |
43,007 |
91,103 |
Pangkalpinang |
82,875 |
74,107 |
156,982 |
Total |
592,612 |
529,914 |
1,122,526 |
Kantor Pos Pangkal Pinang
Kode Area Telepon : 0715-0719
Kode Area Pos : 33111-33791
Robustness of the remains of the Citadel building berwaran grayish-black is made from baked clay, which was built around 1700 by
Kapitan Bong Bong or Khiung Fu
Blinyu Goa Maria
Ujung utara Pulau Bnagka
Dari Bangka kie Belitung dengan pesawat Udara
Resorant
10 Tempat Wisata di Belitung yang Wajib Dikunjungi
Belitung bisa dikatakan sebagai salah satu destinasi wisata yang dulunya tersembunyi. Tidak banyak orang tahu keindahan sesungguhnya dari Belitung. Tetapi sejak munculnya film Laskar Pelangi, keindahan Belitung yang sesungguhnya mulai terekspos. Hal ini mengakibatkan Belitung menjadi salah satu destinasi liburan favorit bagi para traveler yang ingin mengeksplor keindahan negara kita tercinta ini.
Jika Anda memasukkan Belitung sebagai tempat liburan Anda selanjutnya, beberapa tempat wisata di Belitung yang wajib dikunjungi antara lain:
1. Pantai Tanjung Tinggi
Pantai Tanjung Tinggi adalah pantai terkenal di Belitung yang digunakan sebagai salah satu lokasi syuting untuk film Laskar Pelangi. Pantai ini terletak di sebelah utara Belitung, tepatnya 37 km dari kota Tanjung Pandan. Berpasir putih, air laut jernih, dan batu granit super besar adalah ciri khas dari pantai ini.
Ombak di Pantai Tanjung Tinggi relatif tenang sehingga Anda bisa berenang tanpa harus takut terbawa ombak. Di tepi pantai, terdapat warung-warung yang menjajakan seafood untuk memuaskan rasa lapar Anda setelah puas bermain air.
2. Pantai Tanjung Kelayang
Terletak di sebelah utara Pulau Belitung, Pantai Tanjung Kelayang adalah pantai kedua yang terkenal setelah Pantai Tanjung Tinggi. Yang khas dari pantai ini adalah Batu Kelayang yang merupakan maskot dari Sail Wakatobi – Belitung 2011. Pantai Tanjung Kelayang terdiri dari dua bagian, yaitu sebelah barat dengan gugusan batu granit dan sebelah timur berupa hamparan pasir putih nan cantik. Anda bisa menyelam, berenang, berjemur, memancing, dan malakukan beragam atraksi air lainnya di pantai ini.
3. Pulau Lengkuas
Objek wisata ketiga yang terkenal di Belitung adalah Pulau Lengkuas. Pulau ini berada di sebelah utara Pulau Belitung, Anda hanya perlu menempuh jarak sekitar 30 menit untuk menyeberang ke pulau ini. Hal yang menarik dari Pulau Lengkuas adalah mercusuar yang menjulang tinggi di tengah-tengah pulau.
Mercusuar ini sudah berdiri sejak tahun 1882. Dari atas mercusuar ini, Anda bisa menikmati pemandangan keindahan pantai-pantai di Belitung dari
ketinggian.
4. Bukit Berahu
Bukit Berahu adalah sebuah tempat perpaduan antara resto dan bungalow atau villa di sebuah pantai indah di Belitung. Bukit Berahu terletak dekat dengan Tanjung Tinggi. Dari atas Bukit Berahu, Anda bisa menikmati keindahan pantai berpasir putih dan laut biru muda yang jernih.
Untuk mencapai pantai di bungalow ini, Anda harus menuruni 97 anak tangga, sehingga ada baiknya Anda menggunakan sepatu tanpa hak. Karena pantai di sini merupakan bagian dari bungalow, Anda bisa menikmati sensasi private beach yang tidak bisa Anda temukan di pantai Belitung lainnya.
5. Pantai Punai
Pantai Punai berlokasi di sebelah Tenggara Belitung, tepatnya di desa Tanjung Kelumpang. Berbeda dengan pantai khas Belitung lain yang memiliki batu granit super besar, di pantai ini Anda akan mendapati pasir putih dengan batu granit kecil dan suasana yang lebih tenang.
Di depan pantai ini ada pulau kecil bernama Pulau Punai. Dulunya, di pulau ini terdapat banyak sekali burung punai. Untuk menuju pulau ini Anda hanya perlu berjalan kaki jika air sedang surut.
6. Pulau Pasir
Pulau Pasir sesungguhnya adalah sebuah tumpukan daratan yang hanya terdiri dari pasir. Saat air laut surut, tumpukan pasir ini akan terbentuk seperti pulau. Sedangkan saat air laut pasang, daratan ini seluruhnya akan tenggelam di bawah air laut. Pulau ini tidak terlalu luas, hanya sebesar setengah lapangan sepak sepak bola.
Saat air surut, ada banyak sekali wisatawan yang singgah di pulau ini dengan menggunakan perahu nelayan. Anda akan merasa takjub dengan pemandangan di pulau ini, karena pulau ini berdekatan dengan pulau-pulau lain.
7. Danau Kaolin
Danau Kaolin ini sebenarnya bukan tempat wisata umum, tetapi banyak fotografer yang ingin mengetahui potensi fotografi di sini, sehingga ada beberapa agen wisata yang menyediakan jasa paket wisata ke tempat wisata di Belitung ini. Kaolin adalah salah satu kekayaan tambang di pulau Belitung. Keindahan tempat ini merupakan perpaduan antara air danau berwarna biru dan kaolin berwarna putih. Pemandangan di sini hampir sama dengan pemandangan Kawah Putih di Bandung.
8. Pantai Penyabong
Pantai Penyabong adalah sebuah pantai yang terletak di Kecamatan Membalong, Belitung Selatan. Pantai ini juga dikenal dengan sebutan Pantai Batu Lubang. Keindahan alam pantai ini hampir sama dengan keindahan di Pantai Tanjung Tinggi, dengan gugusan batu granit yang bertebaran di tepi pantai. Bedanya, batu granit di pantai ini saling menyambung dan memanjang, menjorok ke arah laut sehingga membentuk seperti dermaga secara alami. Ombak di sini tidak terlalu besar sehingga aman untuk berenang, air pantai juga jernih dengan pasir putih yang lembut.
9. Museum Kata
Museum Kata Andrea Hirata adalah museum literatur pertama di Indonesia. Di sini, Anda bisa menyaksikan koleksi tentang film Laskar Pelangi. Anda bisa menemukan berbagai karya Andrea Hirata di museum ini.
Ada sebuah cerpen khusus yang dibuat oleh Andrea Hirata yang tidak diterbitkan umum, dan hanya bisa Anda baca di sini. Museum ini dibangun Andrea Hirata dengan tujuan untuk menginspirasi anak-anak dan remaja di desa Gantong, agar memgembangkan bakat seni mereka.
Selain jejak Laskar Pelangi, di sini juga terdapat banyak sekali karya seni Andrea. Ada juga Warung Kupi Kuli yang merupakan sebuah gambaran keseharian kehidupan para penambang.
10. Pantai Nyiur Melambai
Pantai Nyiur Melambai terletak di Desa Lalang, Kecamatan Manggar, Belitung Timur. Pantai ini adalah salah satu pantai yang banyak dikunjungi oleh wisatawan, dan termasuk lokasi wisata terpopuler.
Jika biasanya pantai dihiasi pohon kelapa, berbeda dengan Pantai Nyiur Melambai. Pantai ini ditumbuhi oleh pohon pinus di sekitarnya dengan pasir putih khas pantai Belitung. Garis pantai di sini panjang dan suasana di sini teduh. Aktivitas yang dapat Anda lakukan di sini antara lain berenang, voli pantai, dan juga panjat tebing.
Belitong Timur Kampung AHOK
:
Museum Belitong Timur
Rumah Bupati Belitung Timur(ex AHOK)
1740-1812
Indonesia) Bangka Chinese Tin Mining Token,Kongsi ‘中和公正”祉山’ (1740-1812) Rare
(Indonesia) Bangka Chinese Tin Mining Token,Kongsi ‘兵郎公司’ ca 1775-1812 Rare(Indonesia) Bangka Chinese Tin Mining Token,Kongsi ‘光道聚寳”源記’ ca 1740/50-1812 RR
Bangka Historic Collections
Created By
Dr Iwan Suwandy,MHA
Private limited edition E-Book In CD-ROM
Copyright@2012
This the sample of CD-ROM,the complete info exist but only for premium member,subscribed via comment.
2012
Goal of 640 Posts Completed. Congratulations!
100%
October 13, 2016. 9:03 Pmta 4 P.M.
View : 1.048.102
Best Over 5.272
Comment : 1.912
To Day October,13th.2016 : 151
Introduction
Nature of the Bangka Island
Bangka-Belitung Islands Province was formed as the 31st province by Indonesian Government based on the Act No. 27 year 2000 with Pangkal Pinang as its capital city. It consists of two main islands i.e. Bangka and Belitung Islands and several small islands (see Figure 4), located at 104° 50’ – 109° 30’ E and 0° 50’ – 4° 10’ S.
The total area of Bangka-Belitung Islands Province is about 81,725.14 km2, consisting of land area about 16,424.14 km2 or 20.1 percent of the total area and sea area about 65,301 km2 or 79.9 percent of the total area.
Figure 4. Administrative Map of Bangka-Belitung Islands Province
The hill or mountain lies at the center of Bangka and Belitung Island. The highest level of topography is 675 m at the mountain in the north part of Bangka Island. In general, the slope at the center of Bangka Island ranged from 5% to 40%, while near the coastline, the slope is very gentle.
In terms of the characteristics of the coast line and marine condition in general the seabed has a gentle to slightly steep slope from the coastal line to the sea. The regional bathymetry map is provided in Figure 5.
Bangka and Belitung Islands are located on the area with relatively low seismicity. There are no significant earthquakes in Bangka-Belitung Islands Province. The main earthquake events are along Sumatera Island at the western part as Semangko Fault manifestation (Figure 6). The value of peak ground acceleration on the basement rock for 500 years period is based on SNI 1726-2002 is very small, about 0.03 g.
Figure 5. Topography and Bathymetry Map of Bangka Belitung Region
Figure 6. Earthquake Distribution along 1900 – 2009 (source USGS)
The shortest distance of an active volcano (Bukit Lumut Balai) to Bangka is ± 303 km to the southwest direction. There is no volcano in Bangka-Belitung Islands Province (See Figure 7).
Figure 7. Distribution of Active Volcanoes around Bangka-Belitung Islands Province
Geologically, the main formation in Bangka Island is the Tanjung Genting Formation which is dominated by clastic rocks (sandstone) sedimentation of Triassic age which settled at shallow sea and Klabat Granite which is dominated by intrusive granite of Late Triassic age (see Figure 8).
Figure 8. Geological Map of Bangka Belitung Islands Province
Bangka island lies in Sunda peneplain, which is a part of elevated Sunda land. From geological point of view, distribution of tin ore in Indonesia is a continuation of granitic belt of Jurassic to Cretaceous that extends from Burma, Thailand, Malaysia, Riau islands (Singkep, Karimun and Kundur islands), Bangka, Belitung to Karimata islands. The belt is also known as the tin belt, a granite containing casiterite series.
There is no significant tsunami effect in Bangka-Belitung Islands Province. The main sources of tsunami are mostly located in Indian Ocean, at the west side of Sumatera Island. The effect of tsunami from this area is retained by Sumatera Island and therefore the Bangka-Belitung Islands was protected from tsunami hazard.
Demographically, the total population of Bangka-Belitung Islands Province in year 2008 was 1,122,526 people (National Socio-economy Survey, SUSENAS 2008) as shown in Table 16, while population in 2000 was 899,095 people (Year 2000 Population Census), therefore the population growth rate is about 1,19 percent.
Population at Bangka-Belitung Islands Province (2008)
Regency/Municipality |
Number of Population |
||
Male |
Female |
Total |
|
Bangka |
149,912 |
127,792 |
270,704 |
Bangka Barat |
83,641 |
74,792 |
158,433 |
Bangka Tengah |
76,903 |
68,767 |
145,670 |
Bangka Selatan |
85,042 |
76,045 |
161,087 |
Belitung |
73,143 |
65,404 |
138,547 |
Belitung Timur |
48,096 |
43,007 |
91,103 |
Pangkalpinang |
82,875 |
74,107 |
156,982 |
Total |
592,612 |
529,914 |
1,122,526 |
Lima Wisata Sejarah Paling Hits di Pangkalpinang
28 Maret, 20164 April, 2016 syaifuddin sayuti 2 Komentar bangka, pesona pangkalpinang, rumah kapitan
Kota PangkalpinangMelihat Langsung Tradisi Cengbeng. Read more … » di pulau BangkaKesederhanaan ala Kedai Kopi Akhew, Pangkalpinang. Read more … » adalah ibukota provinsi Bangka Belitung yang memiliki banyak kawasan wisata yang menarik. Bulan lalu bersama sejumlah bloggerKranggan, Sebelah Mana Indonesia?. Read more … » saya sempat berkunjung ke kota ini selama 3 hari. Terlalu singkat memang kunjungan ini. Harusnya minimal seminggu berada di kota ini dan bisa menyelami satu persatu keragaman destinasi wisatanya.
Sebagai penggemar wisata budaya dan sejarah saya begitu terpukau dengan kota cantik ini. Ternyata kota ini menyimpan berbagai kekayaan budaya dan sejarah yang luar biasa. Menurut catatan Ahmad Elvian, Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Pangkalpinang, di kota ini sedikitnya ada 30 destinasi wisata sejarah. Wah, ternyata yang kami datangi baru beberapa diantaranya.
Adanya perpaduan budaya Melayu dan China dalam keseharian masyarakat Pangkalpinang membuat kota ini unik. Terlebih adanya peninggalan bangunan masa penjajahan Belanda membuat kota ini makin menarik. Lalu, apa saja destinasi wisata sejarah yang ada di Pangkalpinang? Saya pilihkan 5 diantaranya.
1.Rumah Eks Residen Bangka
Rumah Eks Residen Bangka
Ini adalah bekas rumah Residen Bangka di Pangkalpinang yang memiliki catatan sejarah yang panjang. Rumah ini terletak di pusat kota, tepatnya di jalan Jenderal Sudirman, Pangkalpinang. Bulan Februari lalu saya sempat berkunjung kemari dan melihat langsung keindahan arsitektur rumah ini.
Rumah berarsitektur Eropa ini dibangun awal abad ke-20, dan mulai ditempati pada tahun 1913 oleh Residen (penguasa Belanda) di Bangka yang berkedudukan di kota Pangkalpinang. Menurut catatan sejarah, Pangkalpinang dijadikan ibukota karesidenan Bangka di masa penjajahan Belanda, setelah sebelumnya ibukota Karesidenan ini berada di kota MuntokMengunjungi Rumah Pengasingan Soekarno di Bangka. Read more … », Bangka BaratKejayaan Timah Bangka Bukan Isapan Jempol. Read more … ».
Bentuknya yang besar membuat warga Bangka menyebutnya sebagai rumah besar. Yang paling mencolok dari bentuk rumah ini adalah adanya 10 pilar yang berada di teras depan rumah. Selain itu yang khas dari rumah berarsitektur Eropa adalah bukaan jendela yang lebar, ventilasi dan pintu berukuran serba besar. Rumah Residen kini menjadi rumah dinas Walikota Pangkalpinang M.Irwansyah Rebuin dan menjadi salah satu cagar budaya yang dilindungi.
- Tamansari (Wilhelmina Park)
Taman Sari alias Wilhelmina Park
Nama taman Wilhelmina Park ini mengingatkan pada sosok ratu Belanda, Wilhelmina. Dinamakan seperti nama ratu Belanda karena taman ini dibangun saat masa pendudukan Belanda di IndonesiaPulau Bali Raih Best Island 2015. Read more … ». Setelah kemerdekaan RI nama taman diubah menjadi Tamansari dan diresmikan oleh Wakil Presiden Ri Mohammad Hatta pada tahun 1949.
Tamansari dirancang oleh Van Ben Benzenhorn sebagai fasilitas pendukung rumah Residen Bangka, yang letaknya bersisian. Taman ini ditata bak taman-taman di Eropa. Dengan pepohonannya yang rindang, taman ini menjadi oase bagi warga Pangkalpinang yang hendak melepas penat. Selain difungsikan sebagai taman, Tamansari juga digunakan sebagai tempat konservasi tanaman, tempat berolahraga hingga sekedar bersantai bersama keluarga.
Oiya, nama Tamansari ini diambil dari nama kecamatan tempat taman ini berada. Sejak tahun 2010 Tamansari dijadikan cagar budaya Pangkalpinang yang dilindungi Undang-undang Cagar Budaya.
- Museum Timah Indonesia
Bangka identik dengan timah, dan bicara timah asal Bangka berarti membicarakan sejarah panjang eksplorasi timah di Nusantara. Dan untuk memahami sejarah pertimahan di pulau Bangka, maka berkunjunglah ke Museum Timah Indonesia yang terletak di jalan Ahmad Yani, Pangkalpinang.
Di museum ini kita bisa menyaksikan perjalanan sejarah penambangan timah di Bangka. Mulai dari penambangan yang dilakukan secara tradisional oleh masyarakat, sejarah perkembangan teknologi pertambangan sejak jaman Belanda hingga terkini.
Mencermati satu persatu koleksi museum Timah pengunjung akan dibawa menyelami kejayaan timah Bangka di awal abad ke-20. Masa di mana timah sebagai komoditas andalan Indonesia yang dikenal bukan saja di kancah regional, namun hingga ke seluruh dunia. Keterkenalan itu menjadikan timah Bangka sebagai salah satu timah terbaik di dunia.
- Panti Wangka (Societeit Concordia)
Gedung Panti Wangka alias Societet Concordia
Panti Wangka atau gedung Societeit merupakan gedung pertemuan bagi orang-orang Belanda di kota Pangkalpinang. Gedung ini terletak di pusat kota, dekat dengan sejumlah kantor pemerintahan. Letak gedung ini tak jauh dari Wilhelmina Park atau Tamansari.
Gedung ini didirikan pada masa residen Bangka A.J.N Engelenberg yang memerintah tahun 1913 – 1918. Societeit Concordia digunakan sebagai tempat berkumpulnya sosialita Belanda, yang terdiri dari ambtenar goebernemen (petinggi pemerintahan), petinggi militer, pejabat perusahaan BTW (Banka Tin Winning), hingga pengusaha. Di tempat ini biasanya mereka melepas lelah, makan-makan, mendengarkan musik dan hiburan seni.
Seiring dengan nasionalisasi aset milik pemerintah Belanda menjadi BUMN, tahun 1953 gedung ini pun beralih pengelolaannya menjadi dibawah Unit Penambangan Timah Bangka dan berubah namanya menjadi Panti Wangka. Setelah itu gedung ini pernah menjadi gedung pertemuan, kantor sementara DPRD Provinsi Bangka Belitung, serta PN Pangkalpinang saat gedung pengadilan tersebut direnovasi. Kini gedung bersejarah ini digunakan oleh KONI Bangka Belitung sebagai kantornya.
- Rumah Kapitan Lain Nam Sen
Rumah Kapitan
Rumah cantik berarsitektur perpaduan China Hakka dengan Melayu ini bisa ditemukan di jalan Balai, Pangkalpinang. Rumah Kapitan Lain Nam Sen ini merupakan bukti betapa akulturasi budaya China berjalan dengan cara yang indah dan berdampingan dengan budaya lokal Melayu. Hidup damai berdampingan memang sudah ada sejak lama di Pangkalpinang. Ini terbukti dari keberadaan rumah ini yang sudah ada sejak tahun 1800-an.
Rumah ini awalnya adalah rumah panggung, sama seperti kebanyakan rumah di Sumatera pada masanya. Rumah semacam ini dibangun dengan alasan keamanan, sebab saat itu masih kerap ditemukan binatang buas yang berkeliaran di kampung-kampung. Dengan rumah panggung, sentral kegiatan di rumah berada di lantai atas. Sementara di bagian bawah biasanya digunakan untuk menyimpan ternak atau kendaraan.
Dari luar rumah ini tak beda dengan rumah di Pangkalpinang lainnya. Namun begitu kaki melangkah ke bagian dalam, maka akan tampak keunikan rumah ini. Yang paling unik menurut saya adalah tegelnya. Coraknya sangat vintage, cantik sekali. Kemudian pembagian ruangnya juga menarik. Rata-rata ruangannya cukup luas, dengan area publik di bagian bawah. Sementara area privat berada di lantai dua.
Keunikan berikutnya adalah furnitur kayunya yang masih terawat dengan sangat baik. Semuanya adalah peninggalan keluarga turun temurun.
Saat ini proses renovasi rumah Kapitan ini sudah hampir selesai. Nantinya rumah ini akan dijadikan semacam galeri atau museum rumah khas China-Melayu dan terintegrasi dengan hotel di bagian belakang rumah.
Interest area
According to literature study and field confirmation, all of the visited areas in Bangka Island are free from exclusions factors and therefore they can be considered as areas which are potential to be developed further.
However, to enable good site survey management, 2 areas with best characteristics in terms of their acceptability (safety, suitability, and construction cost), proximity to Sumatera Island, and other considerations are selected as the preferred areas for the first NPP sites.
The two areas will then be called interest areas.
The two interest areas are:
The interest area 1 can be reached from Pangkal Pinang through Kelapa by paved road of approximately 140 km long, then continued for about 4 to 6 km by unpaved road, of which only 3 km can only be accessed by car and the rest by motorcycle or by 4 wheel-drive vehicle. The unpaved road needs to be repaired before starting the main activity.
The interest area 2 can be reached from Pangkal Pinang through Sungai Selan, Bangka Kota, Simpang Rimba, Permis,Village, Rajik Village and Sebakin Village by paved road of 83.5 km long. It seems that the unpaved road does not need further improvement before main activities start except for the broken small Sebagin bridge.
Road network including access road to both interest areas is provided in Figure 10
Figure 10. Access Road to Interest Area 1 and 2 from Pangkal Pinang
(1) Teluk Manggris-Tanah Merah in Bangka Barat Regency,
The interest area 1 can be reached from Pangkal Pinang through Kelapa by paved road of approximately 140 km long, then continued for about 4 to 6 km by unpaved road, of which only 3 km can only be accessed by car and the rest by motorcycle or by 4 wheel-drive vehicle. The unpaved road needs to be repaired before starting the main activity.
Figure 9. Interest Areas in Bangka Island
and;
(2) Tanjung Berani-Tanjung Krasak in Bangka Selatan Regency (see Figure 9).
The interest area 2 can be reached from Pangkal Pinang through Sungai Selan,
Bangka Kota, Simpang Rimba, Permis,Village, Rajik Village and Sebakin Village
by paved road of 83.5 km long.
It seems that the unpaved road does not need further improvement before main activities start except for the broken small Sebagin bridge.
Road network
including access road to both interest areas is provided in Figure 10
Figure 10. Access Road to Interest Area 1 and 2 from Pangkal Pinang
The chronicle history Of Bangka
How does the history of tin that originated on the island of Bangka who has been known as the Chinese sailors named
the island
Pu-lei since the 3rd century AD.
Chinese news the 7th century
mentions that the commodity trade of Shih-li-fo-hell (Srivijaya), among others, is tin.
Srivijaya Sumatera Portuguese Cube Cross Tin Coin (River Found)
CAD 6.50 0 Bids <1m , CAD 7.96 Shipping, 14-Day Returns
In later centuries it Bangka-Billiton including Srivijaya territory.
Only in the mid-18th century
the involvement of Chinese people in the Pacific, which generally comes from Hakka region, comes into play, either as a rough power, buyer agents, and entrepreneurs mining itself.
The presence of Chinese mainland origin miners in Bangka Island area of 11,704 square kilometers continues to grow.
Mary F. Somers Heidhues in Bangka Tin and Mentok Pepper explained, thousands of workers from China were imported by the Dutch in bulk and bumpy as contract laborers in the Pacific in 1710.
The Netherlands took over the power of tin mining on Bangka Island from Palembang Sultanate in the 19th century post-fall of Sultan Mahmud Badaruddin II.
Holland then established tin mining company,
This then became the early presence of PT Timah on the island of Bangka-Belitung until now
1700
Tin mines in Bangka in the open around mid-year 1700
The arrival of the first Hakka is to the Overseer and Montrado, gold mining dikonsesi by Sultan Mempawah and Sambas, Around the beginning of the year 1700, they brought in large numbers through Sarawak.
When the tin mines in Bangka in the open around mid-year 1700, which followed later in the Pacific Islands, hundreds of Hakka people shipped to the Pacific.
Fortress or Citadel Kutopanji Bongkap,
located in the village of Dull.
Benteng Kuto Panji
Bahasa Indonesia/ English
Sebagai salah satu asset sejarah yang menyimpan banyak cerita misteri, baik itu berupa mitos atau pun sejarah, Benteng Kuto Panji memiliki daya tarik tersendiri bagi pengunjung, terutama pada cerita sejarahnya.
Ada banyak versi cerita sejarah benteng ini yang berhubungan erat dengan kerajaan di Tiongkok.
Dari semua versi itu, ada kemiripan cerita yaitu seorang raja kerajaan kecil bernama Bong Kiung Fu yang memerintah di Belinyu yang memiliki seorang anak gadis berparas cantik bernama Bong Lili atau putri Chok Tian.
Bong Khiung Fu adalah seorang penguasa yang baik hati di Tibet-China yang menolak membayar upeti kepada penguasa Tiongkok yang lalim pada masa itu.
Sang penguasa marah dan memerintahkan hukuman mati kepada Bong Khiung Fu.
Bersama pasukan dan putrinya, Bong Khiung Fu pun melarikan diri dari daratan Tiongkok dan mengarungi samudra.
Mereka membawa seluruh harta dan pasukannya dengan menggunakan beberapa buah kapal besar dan kecil.
Mereka juga membawa tanaman jeruk Kingkit sebagai obat anti mabuk, yang dimasa mendatang, merupakan tanaman yang mahal dan langka di Indonesia.
Ketika melewati perairan Selat Berhala dekat ujung utara pulau Bangka, rombongan ini dikejar oleh para bajak laut, sehingga mereka melarikan diri menuju Pulau Bangka, memasuki Teluk Kelabat hingga muara Sungai Karang Lintang dan bersembunyi di situ.
Setelah merasa aman bersembunyi di situ, mereka lalu membuka lahan untuk berkebun dan bercocoktanam sehingga kemudian berfikir untuk mendirikan sebuah benteng pertahanan yang kokoh untuk bertahan dari serangan bajak laut dan serangan lainnya.
Bangunan yang didirikan itu sebagai benteng sekaligus istana kecil, lengkap dengan perangkat pemerintahannya. Sebagai kerajaan kecil yang saat itu tunduk pada kekuasaan Kesultanan Palembang, maka tentu saja diharuskan memberikan upeti berupa timah tiban.
Pembangunan Benteng Kuto Panji atau dalam bahasa China, Bongkap, memakan waktu 5 tahun (1664-1669 M).
Sebagai perekat/ semen, digunakan putih telor angsa sebagai campuran pasir dan batu sehingga benteng ini dapat bertahan beberapa abad sebelum benar – benar runtuh di tahun 1774 karena serangan musuh serta serangan Lanun.
Versi lainnya mengenai keberadaan benteng ini mengenai seorang raja kikir dan bengis bernama Bong Khiung Fu yang memerintah di Tibet, dimana selama pemerintahannya sang raja telah menyalahgunakan kekuasaan demi kepentingan pribadi, misalnya dengan memberlakukan pajak yang sangat tinggi sehingga menyebabkan rakyat menderita.
Hal tersebut diketahui oleh maharaja Khian Lung yang bertahta di Provinsi Fukkian setelah mengadakan peninjauan terhadap negeri – negeri kekuasaannya.
Terciumnya kebusukan Bong Khiung Fu ini bermula dari sebuah peristiwa besar yang dikenal dengan Thai Nau Fa Leu atau Insiden Hotel Seribu Bunga, dimana sang kaisar berontak hebat dengan putera angkat Bong Khiung Fu yang bernama Cok Hin, sehingga kejahatan Bong Khiung Fu pun terungkap.
Sang Kaisar marah besar dan memerintahkan para pengawal untuk menangkap Bong Khiung Fu yang kemudian memutuskan untuk melarikan diri bersama pengikut dan putri kesayangannya serta penduduk yang dibohinginya dengandalih mencari bahan makanan pokok ke Nanyang.
Bong Kiung Fu membawa semua harta kekayaannya dalam pelarian tersebut menggunakan 3 kapal besar dan 3 kapal kecil hingga merapat di pelabuhan Karang Lintang Desa Kuto Panji Belinyu. Sejak itulah mereka menetap di bagian utara pulau Bangka dengan alas an, sebagai buronan sudah semestinya bersembunyi di daerah kecil agar susah dilacak oleh kerajaan China.
Pada saat Pulau Bangka termasuk wilayah kekuasaan Sultan Mahmud Badaruddin Palembang, yang kemudian mengizinkan Bong Khiung Fu menetap di Kutopanji dan mendirikan sebuah benteng megah dan indah yang dikerjakan selama kurang lebih 149 minggu. Benteng ini memiliki 9 ruangan dan 18 sumur serta pintu gerbang – pintu gerbang yang menghadap ke Timur Laut.
Bong Khiung Fu bergelar Kapitan Bong atau lebih dikenal dengan Bongkap, memulai usaha dengan membuka tambang timah, perkebunan karet dan lada yang amat luas sehingga mempekerjakan banyak kuli dari Pulau Jawa.
Menurut beberapa versi mengenai kematian sang raja, Bong Khiung Fu mati terbunuh oleh bangsa Lanun, namun ada juga yang menyatakan dirinya lari ke Semenanjung Malaka, sementara putrinya Cok Tian mati bunuh diri dengan menceburkan diri ke sumur di sekitar istana bersama dengan seluruh emas dan perhiasan, sehingga diyakini bahwa benteng ini menyimpan harta karun yang tak ternilai harganya, serta cerita mengenai peti emas yang terbuka dengan aneka perhiasan berkilauan, tetapi setelah didekati tiba – tiba raib entah.
Benteng ini pun terkenal angker dan keramat. Sampai saat ini, reruntuhan benteng Kuto Panji masih menyisakan beberapa bangunan terletak di belakang Kantor Camat Belinyu.
Kekuasaan Bong Khiung Fu mengalami keruntuhan sekitar abad ke 17, ketika para bangsa Lanun atau bajak laut yang berasal dari Filipina mendengar bahwa di pulau Bangka ada seorang hartawan yang memiliki kekayaan berlimpah ruah.
Para Lanun tersebut menyerang ke benteng ketika Bongkap dan anak buahnya sedang berada di Malaysia untuk menjual hasil timah dan lada, namun penyerangan itu gagal setelah salah seorang kapten para perompak tewas ditimpa buah bakau yang banyak tumbuh dipelabuhan Karang Lintang.
Kejadian tersebut membuat puteri Bong Khiung Fu nekad melakukan bunuh diri setelah membuang semua harta kekayaan mereka ke dalam sumur karena takut ditangkap, dianiaya dan diperkosa oleh para Lanun.
Sejak kejadian itu, Bongkap yang semula kikir menjadi orang yang dermawan, namun kondisi kesehatannya menurun drastis dan mulai sakit-sakitan.
Pada abad ke 17, daerah ini merupakan dataran rendah bagian dari teluk Kelabat Belinyu yang lama-lama terjadi pengendapan dan pendangkalan, sehingga akhirnya berubah menjadi daratan.
Timah alluvial (endapan) dengan mudah ditemukan di kawasan ini, karena pasir timah mengendap di bagian terendah.
Sejak zaman kerajaan Bongkap, wilayah ini telah menjadi obyek galian timah dan beberapa bagian diserahkan sebagai upeti kepada kesultanan Palembang yang berkuasa pada saat itu dan dikenal sebagai Timah Tiban.
Sementara, akulturasi dan asimilasi antara suku Melayu di Belinyu dengan etnis Tionghoa di daerah ini telah berlangsung sejad dari 4 abad yang lampau.
Hingga hari ini, sisa reruntuhan benteng tersebut masih dapat dilihat di Desa Kuto Panji. Untuk menghargai jasa – jasa Bongkap, dibuatlah sebuah makam di dalam benteng. Tidak jauh dari reruntuhan benteng, terdapat sebuah kelenteng kecil yang didirikan oleh Bong Kiung Fu sendiri.Di dalam kelenteng ini terdapat sepasang patung dewa Thai Pak Kung yang dibawa dari dartan Tiongkok. Disamping kelenteng ini juga terdapat sebuah sumur tua peninggalan Bongkap yang menjadi sumber air bagi penduduk di sekitar kelanteng. Sumur ini tidak pernah kering airnya walaupun pada musim kemarau.
Kuto Panji Fortress
As one of the historical assets keeping many mystical stories, both myth and history, Kuto Panji Fortress holds specific appeal especially in its history to visitors. There are many versions of it strongly related to Chinese Empire. A story of a ruler named Bong Khiung Fu has a similarity to it. Bong ruled in a small administration in Belinyu and had a beautiful daughter named Bong Lili or Princess Chok Tian.
Bong Khiung Fu was a good ruler in Tibet-China. However, because he refused to pay some money as a tribute to tyrannical Chinese emperor, he was sentenced to death by the emperor. He, along with his daughter and army, went away from the mainland China across ocean. They loaded all their wealth onto several big and small Chinese ocean-going junks. They also took key-lime with them as an anti-sea sick plant which is an expensive and rare plant in Indonesia nowadays.
When they were on Berhala Strait waters at the northern part of Bangka Island, they were chased by pirates. It forced them to sail into Kelabat bay to hide in Karang Lintang river. After feeling safe, they cleared the ground and started farming. To protect themselves from pirates and others, they built a strong fortress thence. It was not only functioned as a fortress but also a small palace along with its government and officials. However, as a small administration, they obeyed Palembang sultanate, and for that, they had to pay timah tiban or tiban tin as a tribute to the sultanate.
The construction of Kuto Panji Fortress – known as Bongkap in Chinese – spent five years (1664 – 1669). The use of swan egg white as cement to mix with sand and stone was the reason why this fortress stood firmly for several years before it really collapsed in 1774 due to pirate attack.
Another version of its existence was about a tight-fisted and cruel local ruler named Bong Khiung Fu in Tibet. During his reign, he misused his power for his own purpose such as imposing a very high tax causing people suffering. It was heard by his superior – Khian Lung ruling in Fukian province – after he inspected his territory.
Khian Lung got wind of Bong’s crime in a big incident known as Thai Nau Fa Leu or A Thousand Flowers Hotel Incident when he was in fight with Bong’s stepson, Cok Hin. Bong’s crime was then revealed. Khian Lung was very angry and ordered his troops to arrest Bong who decided to abscond with his followers and lovely daughter. He also lied to his people on the pretext of looking for staple food to Nanyang so his people were willing to join him.
Bong loaded all his wealth onto three big and small Chinese ocean-going junks to finally anchor to Karang Lintang port in Kuto Panji village, Belinyu. Thenceforth they lived in the northern part of Belinyu. This remote area was difficult to track by Chinese empire.
Bangka was under the authority of Palembang Sultanate ruled by Sultan Mahmud Badaruddin at that time. He permitted Bong to stay in Kuto Panji. Bong built a luxurious fortress shortly thereafter. It was constructed in 149 weeks consisting of nine rooms, eighteen wells, and gates facing to the northeast.
Bearing a tittle as Kapitan Bong – commonly known as Bongkap – he started his business in tin mining, rubber plantation and pepper. His businesses employed so many Javanese coolies.
According to some versions, Bong was killed by pirates, but some also said he absconded to the Malay Peninsula, while his daughter committed suicide by throwing herself into a well around the fortress. All of the gold and jewelries were taken with her. That’s why it’s believed the fortress hides priceless hidden treasure. Some even told stories about a mysterious opened-treasure box with shining jewelries in it which vanished when it was approached. Thus, this fortress is well known of being horrifying remains.
Bongkap started to lost his power around 17th century when Philippine’s pirates heard how rich he was in Bangka. The pirates attacked his fortress when he was selling his tin and pepper in Malaysia. Fortunately, the attack was failed because one of the pirate captains died stroke by falling mangrove fruit which trees grew so many at Karang Lintang port. However, the pirate’s plan terrified Bong’s daughter and forced her to put end of her life by throwing herself into a well. She was afraid of being caught, abused, and raped by the pirates. After that, Bongkap who was a miser changed into a generous person. Thenceforth, his health worsened day by day.
In the 17th century, this lowland area was previously part of Kelabat bay in Belinyu which became shallow waters because of sedimentation and turn into land. Since it was as same level as the sea, tin sedimentation was easily found here. It has been explored since Bongkap era and some tin had been given to Palembang Sultanate as tributes known as timah tiban. The assimilation and acculturation of Malay and Chinese has also started in 17th century.
The remaining of the fortress is still firmly standing in Kuto Panji village, Belinyu. To glorify his contributions, Bong was buried inside the fortress. A small Chinese temple – in which Pak Kung or Earth god taken from the mainland China are kept – built by him stands nor far from it. Besides the temple, there is a well dug also by Bong as a source of water for surrounding people. The well never runs dry even in dry season.
Naskah: Risnawati (diambil dari berbagai sumber)
Translator: SAS
Photo: Edo Martyno
Robustness of the remains of the Citadel building berwaran grayish-black is made from baked clay, which was built around 1700 by
Kapitan Bong Bong or Khiung Fu
1709
Tin was first excavated in Bangka Island in 1709.
1740-1812
·
Indonesia) Bangka Chinese Tin Mining Token,Kongsi ‘中和公正”祉山’ (1740-1812) Rare
o IDR701,168.83
Was: IDR1,168,701.30
(Indonesia) Bangka Chinese Tin Mining Token,Kongsi ‘兵郎公司’ ca 1775-1812 Rare
o IDR1,168,701.30
Was: IDR1,947,922.08
o Buy It Now
o 40% off
o Apr-06 05:38
o From Singapore
(Indonesia) Bangka Chinese Tin Mining Token,Kongsi ‘光道聚寳”源記’ ca 1740/50-1812 RR
o IDR623,246.75
Was: IDR1,038,831.17
o Buy It Now
o 40% off
o Apr-06 04:14
o From Singapore
(Indonesia) Bangka Chinese Tin Mining Token,Kongsi ‘Jawi Script’ 1740/50-1812
o IDR1,792,077.92
Was: IDR2,986,883.12
o Buy It Now
o 40% off
o Oct-20 23:04
o From Singapore
Bangka Chinese Tin Mining Token,Kongsi both ‘Ornamental Designs’ 1740/50-1812
o IDR2,181,688.31
Was: IDR3,636,233.77
o Buy It Now
o 40% off
o Oct-20 22:45
o From Singapore
(Indonesia) Bangka Chinese Tin Mining Token,Kongsi ‘大吉茂記’ ‘眾用’ 1740/50-1812 RRR
o IDR1,947,922.08
Was: IDR3,246,623.38
o Buy It Now
o 40% off
o Oct-20 22:30
o From Singapore
(Indonesia) Bangka Chinese Tin Mining Token,Kongsi ‘Jawi Script’ 1740/50-1812
o IDR1,168,701.30
Was: IDR1,947,922.08
o Buy It Now
o 40% off
o Oct-20 21:36
o From Singapore
(Indonesia) Bangka Chinese Tin Mining Token,Kongsi ‘列港’ ‘公司’ ca 1740/50-1812 RR
o IDR529,870.13
Was: IDR883,116.88
o Buy It Now
o 40% off
o Oct-19 23:09
o From Singapore
Bangka Chinese Tin Mining Token,Kongsi “UNKNOWN SCRIPTS” ca 1740/50-1812 RRR
o IDR1,324,545.45
Was: IDR2,207,662.34
o Buy It Now
o 40% off
o Oct-19 23:01
o From Singapore
Bangka Chinese Tin Mining Token,Kongsi “UNKNOWN SCRIPTS” ca 1740/50-1812 RRR
o IDR1,402,467.53
Was: IDR2,337,532.47
o Buy It Now
o 40% off
o Oct-19 22:56
o From Singapore
- More items related to bangka tin
Nice XF Bangka Indonesia Chinese Gongsi Token 1740-1812
o IDR1,558,441.56
o Buy It Now
o Free international shipping
o
o Oct-01 05:29
o From Malaysia
o
October 14, 2016, 11:21 pm
Did you know you can view enhanced stats on WordPress.com? Show Me
//
-
Today
-
Best ever
-
All time
1,048,249 views1,932 comments
1800
Tin mining continued until mid 1800.
Average Contract Coolie Meixien imported from china and they come without bringing his wife.
When the contract runs out there are only two choices, go back to China or settle in the vicinity of the mine.
For those who do not return to open settlement in the Pacific, as in Belinyu.
1933
Tan Liong Tjen (80th) was born in Sunghin, near the town of Clay River, West Bangka. Her mother (mama) Ngafa who is the daughter of Jet Tan On which since the 1800’s served as head of the Trench (Mining) Tin in Sunghin in collaboration with the Indian government Belanda.Ibu Ngafa married to his father Tan Mung Jung. The father joined his father’s head trench,
Tjen Liong Tan was born in 1933 in Sung Hin, as a child to-5 of 12 brothers (currently only five people are still alive, in the Pacific there are still two people).
(Tan liong Tjen is dr Iwan Neighbour from bangka)
1938
BTW, aka Winning Banka Tin
1938
.
1940
As a child participate in sunghin father, a school in sung Hin, elementary school Suek Siauw Sung Hin, and
Papa tan yung story might have a story about mine (trench) Tin.
Tin Mine a lot of Chinese workers by the hundreds, of workers in the screen grab yourself with your own boat from China (Kwantung village, Sichuan)
Special for szechuan etnis I upload some picture from their homeolnad country below
Chengdu
If you fall off the eastern edge of the Himalayan mountains, the first major city (population 4.1 million) that you come to is Chengdu, in China’s Sichuan province. You’ve heard of it from the spicy Chinese food, called “Szechuan” in the west.
Rosemary and I spent 5 or 6 days based around there. A few of those were visiting a Buddhist holy mountain, and the largest Buddha in the world – I’ll write about them in another post.
Chengdu itself was like every other large Chinese city – endless streets with few distinguishing features. My fault for hoping it might be a bit better than that. It has some super parks, but you have to deliberately go to them, you couldn’t stumble upon them by accident.
We saw real Giant Pandas at the breeding centre outside town – they’re super cute, mainly because they have a sixth thumb-like finger so they look like people as they eat bamboo. The Red Pandas are even better. I hope somebody domesticates some soon. They were running round playing, happy like dogs, but cute like cats.
The surprise attraction in Chengdu itself was Du Fu’s “cottage”. Really a whole complex of buildings and gardens (photo right), originally where an 8th century poet lived in a thatched house. There was lots of good bonsai trees, and also calligraphy of Du Fu’s poems. Those are the two arts which I’ve seen that are both still practiced properly in China, and are uniquely Chinese
From google exploration I found information from Szecuan during Dai Nippon Occupation below
Dari eksplorasi Google ditemukan info tentang kampong Szechuan masa perang dunia kedua
Needham Photographs – Wartime China, 1942-1946 |
Northwest Journey 西北之旅
Photographs taken by Joseph Needham on the long expedition to the northwest from Chongqing to Jiayuguan in Gansu province and back, via Chengdu, Lanzhou and many other places. Note that on this journey he travelled beyond Jiayuguan to the Buddhist caves at Qianfodong near Dunhuang in Gansu, the photographs for which are in CFT. The Northwest journey was undertaken from 7th August – 14th December 1943, but there are also a few photographs taken before and after the journey on rolls NW2 and NW6. On the outward leg of the journey to Lanzhou, Needham was accompanied by SBSCO staff members H.T. Huang 黃興宗 and Liao Hongying 廖鴻英, as well as Edward Beltz, an American oil geologist, and a young scientist Chen Zixin 陳自信. In another truck travelled the famous explorer Sir Eric Teichman (1884-1944). From Lanzhou to Qianfodong and back he was accompanied by H.T. Huang (who travelled back to Lanchow separately), Rewi Alley (1897-1987), Sun Guangjun 孫光俊 and Wang Wansheng 王萬盛, two boys from the Lanzhou Bailie School, the painter Wu Zuoren 吳作人, as well as a driver, Kuang Wei 鄺威, and a mechanic from Lanzhou, Yu Dexin 俞德新. The photographs have been rearranged from their original sequence into chronological order.
照片是李约瑟先生在从重庆到甘肃省嘉峪关往返的漫长途中拍摄的,期间他还经过了成都市,兰州市和其它许多地方。需要指出的是在这次旅行中,他还参观了甘肃敦煌的千佛洞,那部分的照片请参看CFT。西北之旅的照片是在1943年8月7号到12月14号之间拍摄的,但NW2和NW6胶卷上也有少量照片是在之前和之后拍摄的。在去兰州旅行的途中,陪同李约瑟先生的有中英科学合作馆的黄兴宗和廖鸿英,还有美国石油地质学者 Edward Beltz 和青年科学家陈自信。在另外一个卡车上旅行的有著名的探险家 Eric Teichman 爵士。从兰州到千佛洞往返的途中,陪同的有黄兴宗 (从兰州回来时他独自返回),路易–艾黎 Rewi Alley (1897-1987),孫光俊和王萬盛, 来自兰州培黎学校的两个男孩, 画家吳作人,司机鄺威,还有来自兰州的机械师余德新。照片已按照年代顺序重新进行排列。
<BTitle: H.T. Huang (Huang Hsing-Tsung / Huang Xingzong 黃興宗) outside the guest-house in Lichuang (Lizhuang) 李莊, Szechuan (Sichuan) 四川
Location: Lizhuang 李莊, Sichuan 四川省.
Date: 4 Jun. 1943 – 12 Jun. 1943
Original caption by Joseph Needham:
Photographer: Needham, Joseph.
Classmark: NW2/27
<BTitle: Joseph Needham outside the guest-house in Lichuang (Lizhuang) 李莊, Szechuan (Sichuan) 四川
Location: Lizhuang 李莊, Sichuan 四川省.
Date: 4 Jun. 1943 – 12 Jun. 1943
Original caption by Joseph Needham:
Photographer: Needham, Joseph.
Classmark: NW2/26
Chinese immigrants who worked as coolies in the tin mines of Bangka build such temples in the 1800.
Kwan Ti Miau temp
Chinese immigrants who worked as coolies in
Kwan Tie Miau one of the oldest temples on the Bangka Island
Kwan Tie Miau
The history of an old temple in Bangka Island can not be separated from the history of tin mining and Kwan Tie Miau. Big wave arrival of the Chinese to exploit tin in Bangka began in the early 20th century.
Many trade partnership that stands to mine and sell / purchase of tin, each group or partnership has its own leaders and social structure, they also bring genuine belief from which they originate.
To perform worship according Their religious. Chinese immigrants who worked as coolies in the tin mines of Bangka build such temples in the 1800. would not be surprised if the from end to end of Bangka Island stood so many temple. indeed there is no exact data, but at least there are 200 temples big and small.
Kwan Tie Miau
in Pangkalpinang is one of the oldest temples on the island of Bangka – Formerly called the Temple of Kwan Tie Bio -.
1841
This Kwan Tie Miau temple is located on the Major Syafrie Rachman Street Pangkal Pinang . This temple is built in 1841 AD (according from the Chinese characters on an iron bell in temple) and built by a group of tin mining in Pangkalpinang,
1846
Temple Kwan tie Miau inaugurated in 1846.
This proved of congratulations from several associations on a good day a good month year 26 Daoguang which coincided with the year 1846.
Temple of Kwan Tie Miau
There’s Pumpkin fruit garnish (gourd) at the top of the roof of the temple. in front of the temple there is a symbol of Patkwa ( Pakua ) which in the middle there is a black and white circles (Ying and Yang). Patkwa (Pakua) symbolizes good luck, fortune or happiness . Two features of the above shows that the Taoisme still the most important
The main worship of the temple is to Thian (God’s universe) and to Huang Ti (Emperor of Chin dynasty, the famous Shih Huang Ti) is the dominant one in this temple, so they are often called the Cin.
there are statues of Chui chang on the left and Pien Kuan on right besides Huang Ti.
In addition to gods and goddesses derived from Confucian beliefs, the worship of Goddess Kwan Im also performed.
This goddess is Awalokiteswara, one God in the pantheon of Mahayana Buddhism is believed to awaken the world from destruction and save humanity from the doom of the Hereafter.
Every day to 13 months of five calendar days of the Lunar New Year celebration was held the god of the temple deity.
1850
.
The plague of beri-beri disease (Vitamin B1 deficiency)in the Bangka around year 1850-
1860
this activity is performed to reject any reinforcements and the plague that struck the public like the plague of beri-beri in the Bangka around year 1850-1860
1900
1928
The houses in the street Pangkal Pinang is an elite area occupied by employees of mining tin porch, built in 1928
1932
Dutch East indies (Indonesia) send postcards from Belawan (Medan Port) via Dutch Post 18.06.1932 Agent Louth singapore to Bangka Island.
The Dutch post abroad Agent Will showed in the next Indonesia Postal History (Shipmail), Singapore Post british agent never reports, the collections below post still not clear british agent in Indonesia or abroad Straits (Singapore) or Johor cancceled stamps at the port (Singapore or Indonesia) if the letter Pls post the ship arrived at the Port Abroad,. @ Copyright Dr. Iwan S.
1942
In the city Muntok
there is also a monument to 21 (twenty one) Australian nurses who died in the bombing of ships Australia by the Japanese army on 16 February 1942.
The nurses were stranded in Muntok after the boat they were riding the SS Vyner Brooke sank in the waters of the Pacific on his way to Singapore.
1942-1945
TAN.’s experience during Dai Nippon Occupation
When the soldiers of Dai Nippon from Pangkal pinang dating to the Sung Hin village wwhere Tan lived(Tan is Dr Iwan neighbour from Bangka), all the people had to march and salute memebri (beggar), if not the first man will be beaten or put to the sun heated up, their stature official clothing tentara.Semua people are afraid of soldiers met dai Nippon, many who fled into the forest.
During the Japanese occupation of difficult economic times, rice, cassava and apparel is up, people eat cassava and beras.sehingga sack dress of the people starving and many died.
After Japan’s defeat, the Dutch came in and ruled for five years, and the newly independent in 1949.
1945
History of the Pacific after the Proclamation of Independence of the Republic of Indonesia
the role of the Chinese Bangka (Thong Ngin) into the regional administration in the early days of independence and the exile of President Sukarno, Vice President Mohammad Hatta on the island of Bangka.
On December 10, 1946
born of a decision by Lieutenant General Gouverneur Netherlands Indies as an autonomous region makes the Pacific through the Pacific While the Board formation (Voorlopige Bangka Raad).
Bangka Council
While this is the highest government agency in the Pacific, was unveiled February 10, 1947 with co-chaired by
Datuk Masyarif Bendaharo Lelo,
beraggotakan 25orang, 14 people were Indonesia (13 elected, one appointed by the resident), 9 Chinese (8 elected, one appointed by the resident, two Dutch people (one elected, one appointed by the resident). This is the first official government in the Pacific after Republic of Indonesia’s independence proclamation of August 17, 1945.
Since the initial form of government in Bangka Bangka Chinese people (Thong Ngin Bangka) already involved in it.
Through July 12, 1947
decision letter No.7 (Stbl. 1947 # 123) “While the Pacific Council” to the Pacific Council appointed 11 November 1947.
Until 22 April 1950
Bangka Council mandate handed to the Governor of South Sumatra Dr. M. Isa, then the Pacific are under a resident named Raden Sumarjo.
Pacific People’s Struggle for Independence against Dutch colonialism was not a bit ranging from civil disobedience to fight the army of the people. Good resistance is sporadic or organized resistance. The spirit of nationalism People Bangka, experienced a peak when
the arrival of President Sukarno and Foreign Minister Agus Salim on February 6, 1949.
This is illustrated in the writings of Abdullah
“… Sunday morning on February 6, 1949 appear in droves flow of people back and forth and in groups waiting in the outskirts of major road, heard the news when and where Bung Karno was going to land. Those who have money or who have private vehicles and or who have a great zest to the coming of the Bung Karno, group after group was headed to the airfield Dul Village, where Bung Karno likely will land, figuring it would be impossible to ship.
After a while they wait, the news gives another, out of nowhere comes the source said Bung Karno and Haji Agus Salim will arrive by plane katalina through …
From start Jetty Balam Balam arrived at the
intersection of Jetty pier environments that are restricted primarily to barbed wire, already crowded people are standing and fro, looking for opportunities to enter the front entrance pelabuhan.Di colonial police guard with his weapon to the rigors. Intermittently they move to block the people who continue to come forward …
In the midst of the throng that crowded the sound of car horns. Three sedans after splitting the stream of people struggling, finally can also go up on the edge of the pier.
From sedans are out the mission of the BFO Anak Agung Gde Agung (NTT), Ateng Karmamiharja, accompanied the delegation, Dr RI. Darma Setiawan, Sujono and Dr. Leimena. Mr. entourage then out again. Moh. Rum … more about Around 10:00 am, the sound of aircraft sounds.
Shortly Katalina them a plane seems closer. All eyes fixed on the door of the plane. Heart thumping. Whether that comes true Bung Karno’s beloved President? Just a moment, but it was a long time. With gray suits, and the famous black cap never cracked the head. No doubt, that he, Bung Karno. Following Haji Agus Salim wearing white suits with gray coat, cane, glasses and cap the pointed beard hitam.Jelas visible and have started to turn white …
when Bung Karno menjejakan foot on the jetty Jetty Balam
, Suddenly came Mat Amin (Alimin) Bung Karno squatting ushered up to his shoulder. Stature as a driver krant Mat Amin was quite stocky coupled with overwhelming enthusiasm. He was like take it easy as getting satisfaction.
Arriving at the gates of the port state was already out of control again … There’s nothing more that could catapult independent cried. Throat feels clogged. Tears of emotion began to flow.
A white Plymouth sedan service vehicles Masyarif BN 2 specifically provided for both the leaders, but the Bung Karno prefer to sit on the front hood of course. Tjong Tjhia Ka (Ka Chia Cong) from Ipphos Fotocorrespondent with his assistants busy looking and waiting for a good snap. 12.30 .. until the vehicle is still at Jetty Balam.
Arriving at the village Lembawai.
Car engine is turned off. Car is running slowly, driven by a burly-burly young man … Finally at about 14:00 just got home Masyarif “. Thus the story of Abdullah’s paintings are bright for the events Bung Karno’s exile on the island of Bangka.
People kept coming Bangka Island Old Young, Male Female, Thong Fan Ngin Ngin all united to welcome the arrival of President Sukarno.
There is a sense of unity, togetherness, pride, enthusiasm and euphoria of independence in the Republic of Indonesia welcomed the supreme leader at the time. Then get together with Bung Karno, Bung Hatta who had arrived earlier to exile in deadlock, t
he House of Bangka Tin Mine (CCTs) on Mount Manumbing. Bung Karno, Bung Hatta, Haji Agus Salim and some pertinggi Indonesia at that time under house arrest in landfills, at Mount Manumbing, Mentor, the island of Bangka.
In landfills is still undergoing funginya Bung Karno as Head of the State with all its limitations. He also met with various leaders of the movement, leaders of Chinese organizations Bangka, the young warrior, and so forth.
Be a deep impression Bung Karno, etched deep in the Pacific People’s hearts at the time. Masyarif, Mat Amin, Tjhia Tjong Ka (Ka Chia Cong), Bung Karno, Bung Hatta, Haji Agus Salim all had gone, but the sense of unity, togetherness, pride, enthusiasm and euphoria of independence still exist in the middle of the Pacific people to kini.MEERDEKAAA
1946
in 1946
Tan in junior high school in Louth Hung Mung Suek Siauw until graduation.
There to learn Mandarin (every day), Malay (1xseminggu), arithmetic, geography, history (Lie Se).
Bangka history learned in junior high, Chinese history, History of the Pacific is studied.
In the Dutch colonial period, there is a dutch in Sung Hin as a supervisor (controleur) and assistant at the Jetty Pinang.Waktu r4esident school in Louth remain in Hin sung every morning at 4:00 am riding a bike to the base of the Areca (the distance is 8 km, taken two hours )
1949
Bung Karno Mentor Mount Manumbing discharged into the Pacific
The place is currently
Pensions Menumbing is a silent witness to the struggle of historic building figures proclaimer of the Republic of Indonesia tens of years ago. This building is one of the houses built by the Dutch exile to limit the space for independence leaders at the time. No data exactly when the guesthouse / guesthouse was built Menumbing. Clearly this building was built by the workers corvee (forced labor) in the Dutch colonial period around the year 1927, while other sources mention of this complex was built in 1890 and other sources mentioned in 1932. This historic building located at the top of Mount Menumbing and the building stood on a height of 450 meters above sea level and directly facing the Bangka Strait. This building is a historical asset that should continue to be preserved, because it became a place of exile of President Sukarno and republican leaders during Dutch colonial rule in 1949.
Over an area of two hectares, this building stands upright diketinggian 445 meters above sea level. Consisting of three buildings, namely the main building comprising 6 rooms and two pavilions comprising 6 rooms and 7 rooms. Here is an idea sparked by the founders of this republic to conduct negotiations with the Dutch. Based on information written and displayed in room 102 House Menumbing, Sukarno and a number of other national leaders brought to this place is divided into three groups or party. The first group, Mohammad Hatta, Mr. A.G. Pringgodigdo, Mr. Assaat and Air Commodore S Suryadarma the exiled December 22, 1948 from Yogyakarta. Then the second group, Mr. Roem and Mr Moh. Sastroamidjojo who was exiled from Yogyakarta to Manumbing on December 31, 1948. And the third group, Bung Karno and Agus Salim also exiled to the Pacific on February 6, 1949 from exile in the city originally Prapat, North Sumatra.
To get into your building free of charge for Rp.2.500/orang. Inside the building visitors can see the old VW car (Volks Wagon) driven by Sukarno’s old to get around Mentor who only lived body (frame) only while the engine already lost. In addition there are also bed as many as two pieces which fitted inside the bathroom, 2 lounge chairs, a wardrobe and so forth fruit. Outside the room there is a room where the writing and reading of Bung Karno.
To reach this location you should proceed first in Post 1 (Entrance) especially if you bring a car. This is because the road is narrow because it only passable by one vehicle only. By driving a car or motorcycle then the time required to reach the location of exile Ir.H Soekarno about 15 minutes. But if you are traveling by foot, it takes about 1 hour trip more meaningful time round trip takes about 2 hours more. Not a short time. I suggest you better ride the vehicle to get to the top unless you want to really feel the cool mountian air.
The President himself did not long been at the Mount Menumbing because of her condition could not stand the cold weather of the mountains. At his request, Bung Karno was placed in the middle of the city of Mentor in a building that is currently named Pesanggrahan Ranggam or Ranggam Pensions. Bung Karno just stay at Pesanggrahan Ranggam, but daily life may be more at Wisma Menumbing. Before coming to the House of Bung Karno Menumbing first inhabited by another character, say Vice President Mohammad Hatta, the Secretary of State Pringgodigdo, Foreign Minister Agus Salim, Minister of Teaching Sastroamidjojo, Mr. Chairman KNIP Assaat, Deputy Prime Minister Mr. Mohammad Roem and Chief of Staff of the Air Force Air Commodore S Suryadarma. Bung Karno himself brought to the Pacific uses the plane type B-25 bomber Sukarno moved from North Sumatra to Bangka. No one knows exactly what kind of atmosphere when the leaders gathered in Menumbing. It’s just a choice to pursue confrontation and negotiations with the Dutch-born Menumbing.
Keeping the spirit of that history is important, because in this region Bung Hatta to make poetry of the importance of the island of Bangka for Indonesia’s independence. Consider the poem that ever engraved on metal plates which today no longer know where missing.
Under the rays of light sparkling weather
Recalled memories bring victory
Bangka, Jogjakarta, London
Living Pancasila, Unity in Diversity.
Hatta wrote memories about Menumbing as part of his gratitude to the people of Bangka the unrelenting show of support to the nation’s leaders during the exile. Unfortunately his gratitude was wasted with no history of Pensions Menumbing terawatnya assets by local governments.
But the history of the Pensions Menumbing that should be the primary concern of government in power today no longer even a pride, Wisma Menumbing ever rented in 1996. Bangka regency government, when it was incorporated with the Province of South Sumatra, the historic building is leased to PT Carmeta for 15 years to be managed as a hotel and restaurant. Pensions Menumbing also changed its name to Hotel Jati Menumbing. I wonder what the reason was time Bangka regency, allow the Pensions Menumbing leased. Too bad assets of the history that was built towers and telecommunication facilities broadcasting television station. Unconsciously the existence of the tower is clearly damaging the overall landscape of the historic site.
But the history of assets is much more valuable. This is where tens of years ago the leaders of Indonesia’s independence penjuang for approximately nine months to finish his time
Indonesian version
Bagaimana sejarah timah itu berawal di Pulau Bangka yang telah dikenal pelaut-pelaut China sebagai pulau bernama
Pu-lei sejak abad ke-3 Masehi.
Berita China abad ke-7
menyebutkan bahwa komoditas perdagangan dari Shih-li-fo-sih (Sriwijaya) antara lain adalah timah.
Pada abad-abad itu Bangka-Belitung termasuk wilayah kekuasaan Sriwijaya.
Baru pada pertengahan abad ke-18
keterlibatan orang-orang Tionghoa di Bangka, yang umumnya datang dari wilayah Hakka, mulai berperan, baik sebagai tenaga kasar, agen pembeli, maupun pengusaha pertambangan itu sendiri.
Keberadaan penambang asal daratan Tiongkok di Pulau Bangka seluas 11.704 kilometer persegi terus bertambah.
Mary F Somers Heidhues dalam Bangka Tin and Mentok Pepper memaparkan, ribuan pekerja asal China didatangkan oleh Belanda secara massal dan bergelombang sebagai kuli kontrak di Bangka pada tahun 1710.
Belanda mengambil alih kuasa penambangan timah di Pulau Bangka dari Kesultanan Palembang pada abad ke-19 pasca-kejatuhan Sultan Mahmud Badaruddin II.
Belanda kemudian mendirikan perusahaan pertambangan timah,
Inilah yang kemudian menjadi awal keberadaan PT Timah di Pulau Bangka-Belitung hingga kini
1700
Tambang timah di Bangka di buka sekitar pertengahan tahun 1700
Kedatangan Hakka pertama adalah ke Mandor dan Montrado, pertambangan emas yang dikonsesi oleh Sultan Mempawah dan Sambas, Sekitar awal tahun 1700, mereka didatangkan dalam jumlah besar melalui Serawak.
Ketika tambang timah di Bangka di buka sekitar pertengahan tahun 1700, yang disusul kemudian di Belitung, beratus-ratus orang Hakka dikapalkan ke Bangka.
Benteng Kutopanji atau Benteng Bongkap,
terletak di kampung Kusam. Kekokohan sisa-sisa bangunan Benteng berwaran hitam keabuan—terbuat dari tanah liat yang dibakar—yang dibangun sekitar 1700 oleh
Kapitan Bong atau Bong Khiung Fu
1709
Timah pertama kali digali di Pulau Bangka pada tahun 1709.
1800
Penambangan Timah terus berlanjut hingga pertengahan tahun 1800.
Rata-rata Kuli Kontrak cina didatangkan dari Meixien dan mereka datang tanpa membawa istri.
Ketika kontrak habis hanya ada dua pilihan, kembali ke Cina atau menetap di sekitar lokasi tambang.
Bagi mereka yang tidak pulang membuka permukiman di Bangka, seperti di Belinyu.
1933
Tan Liong Tjen(80th) lahir di Sunghin,dekat kota Sungai Liat,Bangka Barat. Ibunya(mama)Ngafa yang merupakan putri dari Tan On Jet yang sejak tahun 1800-an menjabat sebagai kepala Parit(Tambang) Timah di Sunghin yang bekerjasama dengan pemerintah Hindia Belanda.Ibu Ngafa menikah dengan ayahnya Tan Mung Jung. Sang ayah ikut ayahnya kepala parit,
Tan Liong Tjen lahir tahun 1933 di Sung Hin,sebagai anak ke-5 dari 12 orang bersaudara(saat ini tinggal lima orang masih hidup, di Bangka masih ada dua orang).
1938
Banka Tin Winning alias BTW
1938
.
1940
Waktu kecil ikut bapak di sunghin ,sekolah di sung Hin, sekolah SD Sung Hin Suek Siauw, dan
Cerita Papa tan mung yung pernah cerita tentang tambang(parit) Timah.
Tambang Timah banyak pekerjanya dari tiongkok yang jumlahnya ratusan,pekerja di ambil sendiri dengan Kapal Layarnya sendiri dari Tiongkok (kampungnya Kwantung –sichuan)
1928
Rumah-rumah di kawasan jalan Depati Amir itu adalah kawasan elit yang ditempati oleh pegawai teras atas pertambangan timah, dibangun pada tahun 1928
1932
Dutch East indie(Indonesia) postcard send from Belawan (Medan Port) 18.6.1932 via Dutch Post Agent singapore to Pangkal Pinang Bangka Island.
The Dutch post Agent abroad will showed in the next Indonesia Postal History (Shipmail), Singapore british Post Agent never report, the collections below still not clear british post agent abroad in Indonesia or Straits(singapore) or Johor stamps cancceled at the port (Singapore or Indonesia) if the letter post when the ship arrived at the abroad Port,.@Copyright Dr Iwan S.
1942
Di kota Muntok
terdapat pula monumen peringatan 21 (duapuluh satu) perawat Australia yang gugur dalam peristiwa pemboman kapal laut Australia oleh tentara Jepang pada tanggal 16 Pebruari 1942.
Para perawat itu terdampar di Muntok setelah kapal yang mereka tumpangi SS Vyner Brooke tenggelam di perairan Bangka dalam perjalanan menuju Singapura.
1942-1945
1945
Pengalaman masa pendudkan jepang
Apabila tentara Dai Nippon dari Pangkal pinag dating ke Sung Hin,semua rakyat harus berbaris dan memebri hormat(kere),bila tidak kere akan dipukul atau dihukum berdiri dipanas matahari, mereka badannya pendek pakaian dinas tentara.Semua orang takut ketemu tentara dai Nippon,banyak yang kabur ke Hutan.
Pada masa pendudukan jepang ekonomi sulit,beras ,singkong dan pakaian sudah habis,orang makan singkong dan baju dari karung beras.sehingga rakyat kelaparan dan banyak yang meninggal dunia.
Setelah Jepang Kalah,Belanda masuk dan berkuasa selama lima tahun,dan baru merdeka tahun 1949.
Sejarah Bangka Paska Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
peranan orang Tionghoa Bangka (Thong Ngin) ke dalam pemerintahan daerah pada masa awal kemerdekaan dan masa pembuangan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta di Pulau Bangka.
Pada 10 Desember 1946
lahirlah sebuah keputusan oleh Letnan Gouverneur General Nederlandsch Indie menjadikan Bangka sebagai daerah otonom melalui terbentuknya Dewan Bangka Sementara (Voorlopige Bangka Raad).
Dewan Bangka
Sementara ini merupakan lembaga pemerintahan yang tertinggi di Bangka, diresmikan 10 Februari 1947 dengan diketuai oleh
Masyarif Datuk Bendaharo Lelo,
beraggotakan 25orang, 14 orang Indonesia (13 dipilih, 1 diangkat oleh residen), 9 orang Tionghoa (8 dipilih, 1 diangkat oleh residen, 2 orang Belanda (1 dipilih, 1 diangkat oleh residen). Ini adalah merupakan pemerintahan resmi pertama di Bangka setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945.
Sejak awal pemerintahan di Bangka terbentuk orang-orang Tionghoa Bangka (Thong Ngin Bangka) sudah terlibat didalamnya. Melalui surat keputusan 12 Juli 1947 No.7 (Stbl. 1947 no.123) ”Dewan Bangka Sementara“ menjadi Dewan Bangka yang dilantik 11 November 1947.
Hingga akhirnya 22 April 1950
diserahkannya mandat Dewan Bangka ke Gubernur Sumatera Selatan Dr. M. Isa, selanjutnya Bangka berada dibawah seorang residen bernama Raden Sumarjo.
Perjuangan Kemerdekaan Rakyat Bangka melawan penjajahan Belanda tidaklah sedikit mulai dari perlawanan sipil hingga perlawanan tentara rakyat. Baik perlawanan yang sporadis maupun perlawanan yang terorganisir. Semangat nasionalisme Rakyat Bangka, mengalami puncaknya ketika
kedatangan Presiden Sukarno dan Menteri Luar Negeri Agus Salim pada 6 Februari 1949.
Ini terlukis dalam tulisan Abdullah “…Minggu pagi tanggal 6 Februari 1949 kelihatan berbondong-bondong arus manusia hilir mudik dan berkelompok-kelompok menanti di pinggir-pinggir jalan besar, mendengar berita kapan dan dimana Bung Karno akan mendarat. Mereka yang punya duit atau yang punya kendaraan pribadi dan atau yang punya animo besar terhadap kedatangan Bung Karno tersebut, berkelompok-kelompok sudah menuju ke lapangan udara Kampung Dul, tempat kemungkinan besar Bung Karno akan mendarat, dengan pertimbangan takkan mungkin dengan kapal laut.
Setelah agak lama mereka menunggu, terbetik berita, entah dari mana datang sumbernya mengatakan Bung Karno dan Haji Agus Salim akan tiba dengan pesawat katalina lewat Pangkal Balam…Dari mulai simpang Pangkal Balam sampai di lingkungan dermaga yang dibatasi denan kawat berduri, sudah penuh sesak manusia berdiri dan hilir mudik, mencari kesempatan untuk dapat masuk ke pelabuhan.Di muka pintu masuk polisi kolonial dengan senjatanya berjaga-jaga dengan ketatnya. Sebentar-sebentar mereka bergerak menghalau orang-orang yang terus mau maju…
Di tengah kerumunan manusia yang berjejal tersebut terdengar bunyi klakson mobil. Tiga buah sedan setelah bersusah payah membelah arus manusia, akhirnya dapat juga masuk sampai di pinggir dermaga.
Dari sedan-sedan tersebut keluar perutusan BFO Anak Agung Gde Agung (NTT), Ateng Karmamiharja, disertai delegasi RI yaitu Dr. Darma Setiawan, Sujono dan Dr. Leimena. Kemudian keluar lagi rombongan Mr. Moh. Roem…Sekitar lebih kurang pukul 10.00 pagi, kedengaran bunyi pesawat udara.
Tak lama antaranya sebuah pesawat Katalina tampak mendekat. Semua mata tertuju ke pintu pesawat. Jantung berdetak keras. Apakah betul Bung Karno yang datang itu Presiden RI tercinta? Hanya sesaat, tapi terasa lama sekali. Dengan stelan abu-abu, dan peci hitamnya yang terkenal tak pernah lekang dari kepala. Tak salah lagi, itu dia, Bung Karno. Menyusul kemudian Haji Agus Salim mengenakan stelan putih dengan mantel abu-abu, bertongkat, berkacamata dan peci hitam.Jelas nampak jenggotnya yang lancip dan sudah mulai memutih…
saat Bung Karno menjejakan kakinya di dermaga Pangkal Balam
, tiba-tiba datang Mat Amin (Alimin) berjongkok menyilakan Bung Karno naik ke pundaknya. Perawakan Mat Amin sebagai supir krant memang cukup kekar ditambah dengan semangatnya yang meluap-luap. Ia seperti santai saja seperti mendapat kepuasan tersendiri. Sampai di gerbang pelabuhan keadaan sudah sudah tidak dapat dikendalikan lagi…Tak ada lagi yang sanggup melontarkan pekik merdeka. Kerongkongan terasa tersumbat. Air mata haru mulai mengalir.
Sebuah sedan Plymouth putih BN 2 kendaraan dinas Masyarif disediakan khusus untuk kedua orang pemimpin, tapi Bung Karno lebih senang duduk diatas kap depannya saja. Tjhia Ka Tjong (Chia Ka Cong) dari Ipphos Fotocorrespondent dengan pembantu-pembantunya sibuk mencari dan menanti snap yang bagus. ..hingga pukul 12.30 kendaraan masih di Pangkal Balam. Sampai di kampung Lembawai. Mesin mobil dimatikan. Mobil berjalan pelan, didorong oleh para pemuda yang tegap-tegap…Akhirnya sekitar pukul 14.00 baru tiba di rumah Masyarif “. Demikian lukisan kisah Abdullah yang terang atas peristiwa pengasingan Bung Karno di Pulau Bangka.
Rakyat Pulau Bangka terus berdatangan Tua Muda, Laki Perempuan, Thong Ngin Fan Ngin semua bersatu menyambut kedatangan Presiden Sukarno. Ada rasa persatuan, kebersamaan, kebanggaan, antusiasme dan euforia kemerdekaan di dalam menyambut pemimpin tertinggi Republik Indonesia kala itu. Kemudian Bung Karno berkumpul dengan Bung Hatta yang sudah tiba lebih dulu untuk diasingkan di mentok, di Wisma Tambang Timah Bangka (TTB) di Gunung Manumbing. Bung Karno, Bung Hatta, Haji Agus Salim dan beberapa pertinggi Indonesia kala itu menjalani tahanan rumah di tempat pembuangan, di Gunung Manumbing, Mentok, Pulau Bangka. Di tempat pembuangan inilah Bung Karno tetap menjalani funginya sebagai Kepala Negera dengan segala keterbatasannya. Ia bertemu pula dengan berbagai pemimpin pergerakan, pemimpin organisasi Tionghoa Bangka, pemuda-pemuda pejuang, dan lain sebagainya. Kesan yang mendalam akan seorang Bung Karno, tergores dalam di hati sanubari Rakyat Bangka kala itu. Masyarif, Mat Amin, Tjhia Ka Tjong (Chia Ka Cong), Bung Karno, Bung Hatta, Haji Agus Salim semua sudah pergi, namun rasa persatuan, kebersamaan, kebanggaan, antusiasme dan euforia kemerdekaan masih ada di tengah-tengah orang-orang Bangka hingga kini.MEERDEKAAA
1946
tahun 1946
Tan sekolah di SMP di Pangkal Pinang Hung Mung Suek Siauw sampai tamat.
Di sana belajar bahasa mandarin(tiap hari),bahasa Melayu(1xseminggu),berhitung,ilmu bumi,sejarah(Lie Se).
Sejarah Bangka yang dipelajari di SMP,sejarah Tiongkok,Sejarah Bangka tidak dipelajari.
Pada Masa Kolonial Belanda, ada belanda di Sung Hin sebagai pengawas(controleur) dan assisten r4esident di Pangkal Pinang.Waktu sekolah Di Pangkal Pinang tinggal tetap di sung Hin tiap pagi jam 4.00 pagi naik sepeda ke pangkal Pinang (jaraknya 8 km,ditempuh dua jam)
1949
Bung Karno dibuang ke Mentok Gunung Manumbing Bangka
Tempat tersebut saat ini
Wisma Menumbing merupakan sebuah bangunan bersejarah saksi bisu perjuangan tokoh-tokoh proklamator Republik Indonesia puluhan tahun silam. Bangunan ini merupakan salah satu rumah pengasingan yang dibangun oleh Belanda untuk membatasi ruang gerak para tokoh kemerdekaan pada saat itu. Tidak ada data pasti kapan wisma/pesanggrahan Menumbing ini dibangun. Yang jelas bangunan ini dibangun oleh para pekerja rodi (pekerja paksa) pada masa penjajahan Belanda sekitar tahun 1927, sementara dari sumber lain menyebutkan komplek ini dibangun pada tahun 1890 dan sumber lainnya menyebut pada tahun 1932. Bangunan bersejarah ini berada di puncak Gunung Menumbing dan bangunannya berdiri di atas ketinggian 450 meter dari permukaan laut dan langsung menghadap selat Bangka. Bangunan ini merupakan aset sejarah yang harus terus dilestarikan, karena menjadi tempat pengasingan Presiden Soekarno dan para tokoh republik pada masa pemerintahan kolonial Belanda di tahun 1949.
Di atas lahan seluas dua hektar, bangunan ini berdiri tegak diketinggian 445 meter dari permukaan laut. Terdiri dari tiga bangunan, yakni bangunan utama yang terdiri 6 kamar dan dua paviliun terdiri 6 kamar dan 7 kamar. Disini lah tercetus ide oleh para tokoh pendiri republik ini untuk melakukan perundingan dengan belanda. Berdasarkan informasi tertulis dan terpajang di ruang 102 Wisma Menumbing, Soekarno dan sejumlah tokoh nasional lainnya dibawa ke tempat ini dibagi menjadi tiga kelompok atau rombongan. Rombongan pertama, Mohammad Hatta, Mr A.G. Pringgodigdo, Mr. Assaat dan Komodor Udara S Suryadarma yang diasingkan 22 Desember 1948 dari Yogyakarta. Kemudian rombongan kedua, Mr. Moh Roem dan Mr. Ali Sastroamidjojo yang diasingkan dari Yogyakarta ke Manumbing pada 31 Desember 1948. Dan rombongan ketiga, Bung karno dan Agus Salim juga diasingkan ke Bangka pada 6 Februari 1949 dari tempat pengasingannya semula di Kota Prapat, Sumatera Utara.
Untuk masuk ke dalam bangunan anda dipungut biaya sebesar Rp.2.500/orang. Di dalam bangunan tua tersebut pengunjung bisa melihat mobil VW (Volks Wagon)tua yang dikendarai Soekarno untuk berkeliling Mentok yang hanya tinggal body (kerangka) saja sedangkan mesinnya udah hilang. Selain itu juga terdapat tempat tidur sebanyak 2 buah yang didalamnya dilengkapi kamar mandi,2 buah kursi santai, 1 buah lemari pakaian dan sebagainya. Di luar kamar terdapat ruangan tempat Bung Karno menulis dan membaca.
Untuk menuju lokasi ini anda harus melapor lebih dulu di Pos 1 (Pintu Masuk) apalagi jika anda membawa mobil. Hal ini dikarenakan jalan yang sempit karena hanya bisa dilewati oleh satu kendaraan saja. Dengan mengendarai mobil atau sepeda motor maka waktu yang dibutuhkan untuk mencapai lokasi pengasingan Ir.H Soekarno sekitar 15 menit. Namun jika anda menempuh perjalanan dengan berjalan kaki, maka dibutuhkan waktu perjalanan sekitar 1 jam lebih berarti waktu perjalanan pulang pergi memakan waktu sekitar 2 jam lebih. Bukan waktu yang singkat. Saya menyarankan lebih baik anda naik kendaraan untuk menuju puncak kecuali jika anda ingin benar-benar merasakan sejuknya hawa pengunungan.
Sang Presiden sendiri tidak lama berada di Bukit Menumbing karena kondisi tubuhnya yang tak tahan cuaca dingin pegunungan. Atas permintaannya, Bung Karno ditempatkan di tengah kota Mentok pada sebuah bangunan yang saat ini bernama Pesanggrahan Ranggam atau Wisma Ranggam. Bung Karno hanya menginap di Pesanggrahan Ranggam, namun kesehariannya boleh jadi lebih banyak di Wisma Menumbing. Sebelum kedatangan Bung Karno ke Wisma Menumbing terlebih dahulu di huni oleh tokoh lain, sebut saja Wakil Presiden Mohammad Hatta, Sekretaris Negara Pringgodigdo, Menteri Luar Negeri Agus Salim, Menteri Pengajaran Ali Sastroamidjojo, Ketua Badan KNIP Mr Assaat,Wakil Perdana Menteri Mr Moh Roem dan Kepala Staf Angkatan Udara Komodor Udara S Suryadarma. Bung Karno sendiri dibawa ke Bangka menggunakan pesawat pembom jenis B-25 memindahkan bung karno dari Sumatra Utara ke Bangka. Tak ada yang tahu persis seperti apa suasana para tokoh saat berkumpul di Menumbing. Hanya saja pilihan untuk menempuh konfrontasi dan perundingan dengan Belanda lahir di Menumbing.
Menjaga ruh sejarah itu memang penting, sebab di kawasan ini Bung Hatta membuat puisi akan arti penting Pulau Bangka bagi kemerdekaan Indonesia. Simak saja puisinya yang pernah terpahat pada lempeng besi yang sekarang ini tak tahu lagi ke mana rimbanya.
Di bawah sinar gemerlap terang cuaca
Kenang-kenang membawa kemenangan
Bangka, Djokjakarta, Djakarta
Hidup Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika.
Hatta menuliskan kenangan tentang Menumbing sebagai bagian dari rasa terima kasihnya kepada masyarakat Bangka yang tak henti-hentinya menunjukkan dukungan kepada para pemimpin bangsa selama dalam pengasingan. Sayang rasa terima kasih itu terbuang sia-sia dengan tak terawatnya aset sejarah Wisma Menumbing oleh pemerintah setempat.
Tapi nilai sejarah Wisma Menumbing yang seharusnya menjadi perhatian utama pemerintah yang berkuasa saat ini malah tak lagi menjadi kebanggaan, Wisma Menumbing pernah di sewakan tahun 1996. Pemerintah Kabupaten Bangka, saat itu masih tergabung dengan Provinsi Sumatera Selatan, menyewakan bangunan bersejarah tersebut kepada PT Carmeta selama 15 tahun untuk dikelola sebagai hotel dan restoran. Wisma Menumbing pun berubah nama menjadi Hotel Jati Menumbing. Entah apa alasan Pemkab Bangka waktu itu, mengizinkan Wisma Menumbing tersebut disewakan. Sayang sekali aset sejarah itu pun dibangun menara sarana telekomunikasi dan stasiun pemancar siaran televisi. Secara tak sadar keberadaan menara itu jelas merusak lanskap keseluruhan situs bersejarah tersebut.
Namun aset sejarah ini jauh lebih berharga. Disinilah puluhan tahun silam para tokoh penjuang kemerdekaan RI itu selama kurang lebih sembilan bulan menghabisi waktunya.
in 1986
Name of the temple has been amended twice. in the Orde Baru era is named Amal Bhakti temple
the front of the temples kwan tie miap being exposed to widening the road so that the front yard, front door and the wall back several feet. the altar remains intact and in the front is built into 2 floors.
In 1991
the back of the temple was changed into place of employee bed and kitchen.
Dated February 22, 1998
a fire destroyed all the buildings except the temple on the left side of the building,
after that the temple was rebuilt by an expert in the temple: Jamal. All restored and finished as the form now and
inaugurated on August 5, 1999
under the name
Temple of Kwan Tie Miau.
Kwan Tie Miau
near by with the location of Pasar Mambo and Gang Singapur has changed as one of the place attractions the city Pangkalpinang as place of cultural tourism and shopping tourism.
This site attempted to china town (to remind the old faces Pangkalpinang city heavily influenced by the houses and temples china). and also serves as a center for celebrating the Lunar New Year (Imlek), celebrating Cap Go Meh, Sembahyang Rebut activities and activities of Pot Ngin Bun. Pot Ngin Bun activities is the only one ritual in the Temple of Kwan Tie Miau.
Bangka Travelling Informations
Legend story
Tradisi Perang Ketupat di Tempilang, Bangka
Perang Ketupat di Tempilang
Gendang panjang, gendang Tempilang/Gendang disambit, kulet belulang/Tari kamei, tari Serimbang,/Tari kek nyambut, tamu yang datang
Lagu Timang Burong (Menimang Burung) pengiring tari serimbang itu dilantunkan secara lembut.
Lagu itu, diiringi suara gendang dari enam penabuh serta alunan biola, untuk mengiringi gerak lima penari remaja yang menyambut tamu.
Dengan baju dan selendang merah, kelima penari menyita perhatian ribuan pengunjung yang memadati Pantai Pasir Kuning, Tempilang, Bangka Barat, Bangka Belitung.
Tarian yang menggambarkan kegembiraan sekumpulan burung siang menyambut kehadiran seekor burung malam itu merupakan pembukaan dari rangkaian tradisi perang ketupat,
khas Kecamatan Tempilang, awal September lalu. Tradisi tersebut menggambarkan perang terhadap makhluk-makhluk halus yang jahat, yang sering mengganggu kehidupan masyarakat.
Tradisi itu sebenarnya sudah dimulai pada malam sebelum perang ketupat dimulai. Pada malam hari sebelumnya, tiga dukun Kecamatan Tempilang, yaitu dukun darat, dukun laut, dan dukun yang paling senior, memulai upacara Penimbongan.
Upacara dimaksudkan untuk memberi makan makhluk halus yang dipercaya bertempat tinggal di darat. Sesaji untuk makanan makhluk halus itu diletakkan di atas penimbong atau rumah-rumahan dari kayu menangor.
Secara bergantian, ketiga dukun itu memanggil roh-roh di Gunung Panden, yaitu Akek Sekerincing, Besi Akek Simpai, Akek Bejanggut Kawat, Datuk Segenter Alam, Putri Urai Emas, Putri Lepek Panden, serta makhluk halus yang bermukim di Gunung Mares,
yaitu Sumedang Jati Suara dan Akek Kebudin.
Menurut para dukun, makhluk-makhluk halus itu bertabiat baik dan menjadi penjaga Desa Tempilang dari serangan roh-roh jahat. Karena itu, mereka harus diberi makan agar tetap bersikap baik terhadap warga desa.
Pada upacara Penimbongan itu digelar tari campak, tari serimbang, tari kedidi, dan tari seramo.
Tari campak dilakukan dalam beberapa tahap dengan iringan pantun yang dinyanyikan secara bersahut-sahutan. Tari ini juga biasa digelar dalam pesta pernikahan atau pesta rakyat lainnya.
Tari kedidi lebih mirip dengan peragaan jurus-jurus silat yang diilhami gerakan lincah burung kedidi, sedangkan tari seramo merupakan tari penutup yang menggambarkan pertempuran habis-habisan antara kebenaran melawan kejahatan.
Seusai upacara Penimbongan, para dukun itu kembali mengadakan upacara Ngancak, yakni pada tengah malamnya. Upacara Ngancak dimaksudkan memberi makan kepada makhluk halus penunggu laut.
Diterangi empat batang lilin, dukun laut
membuka acara itu dengan membaca mantra-mantra pemanggil makhluk halus penunggu laut, di antara bebatuan tepi Pantai Pasir Kuning, Tempilang. Nama-nama makhluk halus itu diyakini tidak boleh diberitahukan kepada masyarakat agar tidak disalahgunakan untuk kepentingan tertentu.
Seperti pada upacara Penimbongan, upacara Ngancak juga dilengkapi sesaji bagi makhluk halus penunggu laut. Sesaji itu dipercaya merupakan makanan kesukaan siluman buaya, yaitu buk pulot atau nasi ketan, telur rebus, dan pisang rejang.
Perang ketupat
Pagi harinya,
seusai tari serimbang digelar, dukun darat dan dukun laut bersatu merapal mantra di depan wadah yang berisi 40 ketupat.
Mereka juga berdoa kepada Yang Maha Kuasa agar perayaan tersebut dilindungi, jauh dari bencana.
Di tengah membaca mantra, dukun darat tiba-tiba tak sadarkan diri (trance) dan terjatuh. Dukun laut menolongnya dengan membaca beberapa mantra, dan akhirnya dukun darat pun sadar dalam hitungan detik.
Menurut beberapa orang tua di tempat tersebut, ketika itu dukun darat sedang berhubungan dengan arwah para leluhur. Kenyataannya, setelah siuman, dukun darat menyampaikan beberapa hal yang tidak boleh dilakukan (pantangan) warga selama tiga hari, antara lain melaut, bertengkar, menjuntai kaki dari sampan ke laut, menjemur pakaian di pagar, dan mencuci kelambu serta cincin di sungai atau laut.
Setelah semua ritual doa selesai, kedua dukun itu langsung menata ketupat di atas sehelai tikar pandan. Sepuluh ketupat menghadap ke sisi darat dan sepuluh lainnya ke sisi laut.
Kemudian, 20 pemuda yang menjadi peserta perang ketupat juga berhadapan dalam dua kelompok, menghadap ke laut dan ke darat.
Dukun darat memberi contoh dengan melemparkan ketupat ke punggung dukun laut dan kemudian dibalas, tetapi ketupat tidak boleh dilemparkan ke arah kepala. Kemudian, dengan aba-aba peluit dari dukun laut, perang ketupat pun dimulai.
Ke-20 pemuda langsung menghambur ke tengah dan saling melemparkan ketupat ke arah lawan mereka. Semua bersemangat melemparkan ketupat sekeras-kerasnya dan berebut ketupat yang jatuh.
Keadaan kacau sampai dukun laut meniup peluitnya tanda usai perang dan mereka pun berjabat tangan.
Selanjutnya, perang babak kedua dimulai. Prosesnya sama dengan yang pertama, tetapi pesertanya diganti. Perang kali ini pun tidak kalah serunya karena semua peserta melempar ketupat dengan penuh emosi.
Rangkaian upacara itu ditutup dengan upacara Nganyot Perae atau menghanyutkan perahu mainan dari kayu ke laut. Upacara itu dimaksudkan mengantar para makhluk halus pulang agar tidak mengganggu masyarakat Tempilang.
Pergeseran budaya
Kentalnya pengaruh dukun dan dominannya aspek dinamisme dalam tradisi perang ketupat terjadi karena budaya ini merupakan warisan masyarakat asli Pulau Bangka yang belum beragama, atau sering disebut sebagai orang Lom.
Tidak ada yang mengetahui secara pasti kapan dimulainya tradisi ini. Namun, berdasarkan cerita rakyat, ketika Gunung Krakatu meletus pada tahun 1883, tradisi ini sudah ada.
Seiring dengan masuknya pengaruh Islam ke Bangka, tradisi tersebut pun mengalami beberapa perubahan cara dan pergeseran substansi. Meskipun tetap turut menonton perang ketupat, sebagian besar warga yang beragama Islam telah mengubah beberapa ritual menjadi bernuansa islami.
Perayaan yang dulunya difokuskan bagi roh-roh halus, kini sebagian ditujukan untuk mengenang arwah leluhur. Demikian pula dengan sesaji, diubah menjadi kenduri untuk dimakan bersama.
Puteri Malam Cerita Rakyat Bangka
Penggemar cerita rakyat mungkin akan mendapat kesulitan untuk menemukan cerita rakyat Pulau Bangka.
Berbeda dengan cerita rakyat daerah lainnya seperti: Sunda, Jawa, Batak, Aceh, Sulawesi, yang sudah banyak diterbitkan. Baik dalam suatu kumpulan bersama antara cerita rakyat dari berbagai daerah maupun sendiri-sendiri.
Namun demikian penggemar cerita rakyat Pulau Bangka yang dikenal sebagai penghasil timah itu tidak perlu kecewa karena masih dapat ditolong oleh Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Pada tahun 1983 Proyek ini pernah menerbitkan buku Puteri Ladang dan Puteri Malam yang ditulis oleh Amiruddin D (Dja’far) berisi cerita rakyat Bangka .
Dalam kata pengantar pengarang kita pun akhirnya mengetahui bahwa buku ini merupakan lanjutan penerbitan sebelumnya yakni Cerita-Cerita Purba dari P. Bangka yang ditulis oleh pengarang yang sama. Mungkin karena penerbitan dengan oplah terbatas kedua buku ini pun sukar ditemukan di tengah masyarakat.
Selanjutnya dalam tulisan ini kita mencoba melihat nilai budaya daerah dalam cerita rakyat Puteri Malam.
Puteri Malam mengisahkan Pak Raje seorang kepala desa yang memiliki sawah dan bertindak sewenang-wenang. Sawah yang ditanami padi yang sedang berbuah itu dimasuki beberapa ekor babi. Pak Raje meminta kepada Sang Penyumpit menjaganya dengan dalih orang tua Sang Penyumpit yang sudah almarhum pernah berutang kepadanya. Demi membayar utang orang tua Sang Penyumpit rela bekerja pada Pak Raje.
Ketika menjalankan tugasnya Sang Penyumpit mendapat rezeki yang tak diduga sehingga kaya raya. Melihat ini Pak Raje juga ingin mengikuti jejak Sang Penyumpit namun nasibnya sial, Pak Raje mati. Untunglah kemudian Sang Penyumpit mau membantu sehingga Pak Raje pulih kembali. Di akhir cerita Pak Raje insaf akan perbuatannya.
Lalu menikahkan anaknya yang bungsu dengan Sang Penyumpit. Jabatan kepala desa pun diserahkannya kepada menantunya yang baik hati itu.
Tema cerita ini memperlihatkan bahwa orang yang jahat akan mendapat hukuman yang setimpal dan orang yang baik akan mendapat keberuntungan.
Sedang pesan atau amanat cerita adalah sebaiknya jangan berbuat jahat dan sewenang-wenang kepada orang lain.
Perlakuan jahat yang dilakukan Pak Raje pada mulanya ketika sawahnya dimasuki babi.
Dia memaksa Sang Penyumpit untuk mau menjaga. Agar Sang Penyumpit tak dapat menolak Pak Raje mengatakan bahwa pekerjaan ini sebagai ganti membayar utang ayahnya yang sudah almarhum.
Sang Penyumpit tak dapat menolak demi untuk melunasi hutang ayahnya dan inilah tanda ia berbakti kepada orang tua. Sang Penyumpit bekerja keras siang malam demi membela nama baik orang tuanya.
Tutur Amiruddin Ja’far dalam cerita Puteri Malam:
Sampai diladang ia pun membakar kemenyan minta restu dewa-dewanya, tak lupa ia memuja mentemau (dewa babi) agar suka menolongnya supaya babi-babi jangan dilepaskan memakan ladang Pak Raje.
Jika malam telah menyungkupi alam ini, sunyi senyaplah perladangan itu, merondalah Sang Penyumpit kesegenap pojok ladang.
Tiga malam belum kejadian apa-apa, demikianlah hingga tujuh malam berlalu. Siang hari ia harus bekerja di ladang menuai padi dan malam hari harus pula jaga hingga tubuhnya merasa lemas dan pucat. Kadang-kadang ingin ia beristirahat tapi mengingat ancaman Pak Raje terpaksa ia terus berjaga-jaga.
Kerja keras Sang Penyumpit diberi imbalan yang baik. Dalam cerita dikisahkan ketika babi memasuki sawah ia sempat menombak dan mengenai seekor babi. Ingin tahu Sang Penyumpit menelusuri ke mana babi itu lari lewat darah yang bercucuran.
Tiba di sebuah desa dalam rimba itu ia akhirnya mengetahui yang terkena seorang puteri. Ibu puteri itu minta kepada Sang Penyumpit menyembuhkan sakit puteri.
Sang Penyumpit menolong puteri yang sakit. Nilai budaya menolong di sini digambarkan pengarang dalam cerita sebagai berikut:
Didekatinya gadis yang sedang sakit itu, dibukanya selimut yang menutupi kakinya.
Sang Penyumpit meneliti tampak olehnya suatu benda hitam mencuat, sedikit ditelitinya betul-betul nyatalah bahwa itu mata tombak. ”Bik, kuminta agar disediakan buluh seruas panjang sehasta, daun keremunting yang sudah ditumbuk banyaknya secupak”, kata Sang Penyumpit kepada ibu gadis itu……..
……………dicabutnya mata tombak yang terhunus , ….luka bekas cabutan ditutupinya dengan daun keremunting untuk penahan darah yang keluar.
Besok tentu ia sudah bisa berjalan-jalan kembali….
Di sini kita juga diberi informasi bagaimana mengobati orang luka dengan dedaunan obat yang tersedia di daerah itu.
Nilai budaya tolong-menolong dapat ditemukan juga dalam cerita rakyat ini, ketika Sang Penyumpit akan pergi meninggalkan desa puteri itu.
Sang Penyumpit yang telah menolong menyembuhkan puteri yang sakit diberi hadiah. Hal itu digambarkan pengarang sebagai berikut:
……tetapi sebelum anak pulang paman mau menyiapkan oleh-oleh guna kau bawa ke duniamu.
Inilah oleh-oleh dari dunia kami, ini bungkusan kunyit, ini bungkusan buah nyatoh, ini daun simpur, ini buah jering. Tapi kempat bungkusan ini jangan anakku buka sebelum sampai ke rumah. Supaya anak tidak mendapat kesulitan di jalan bakarlah dulu kemenyan ini.
Dalam cerita selanjutnya digambarkan ketika oleh-oleh itu dibuka dirumah Sang Penyumpit ternyata isinya bukan kunyit dan jering tetapi perhiasan emas, pemata intan berlian. Sejak itu tersiar kabar bahwa Sang Penyumpit telah menjadi kaya raya. Hutang ayahnya kepada Pak Raje pun segera dilunasi.
Mendengar pengalaman Sang Penyumpit yang akhirnya menjadi kaya raya, Pak Raje pun ingin meniru.
Tapi sial ketika Pak Raje mengikuti jejak Sang Penyumpit dalam cerita dikisahkan mati.
Setelah mengobati anak gadis yang kena tombak itu Pak Raje tertidur.
Ketika bangun ia diserang berpuluh-puluh ekor babi yang besar-besar. Tubuhnya disobek-sobek.
Berita ini tersiar di desa Pak Raje. Puteri tua Pak Raje menyampaikan nasib ayahnya kepada Sang Penyumpit. Mendengar kabar ini Sang Penyumpit ingin segera menolong lebih-lebih ia sudah mengenal desa itu.
Sifat menolong dan jujur yang dimiliki oleh Sang Penyumpit merupakan nilai budaya daerah yang khas dalam cerita rakyat Puteri Malam.
Hal ini tercermin dalam baris-baris yang disusun pengarang Amiruddin Ja’far sebagai berikut:
Dewa Matemau mengetahui bahwa anakku seorang yang jujur. Karena kejujuranmu itu, anakku dianiaya ataupun ditipu oleh sebangsamu di duniamu sendiri.
Sebat itulah Matemau pada mulanya melarang adik-adikmu ke tempat buah-buahan yang enak di ladang Pak Raje, kemudian Matemau memerintahkan supaya adik-adikmu datang lagi ke ladang.
Kami bertanya mengapa Matemau memerintahkan demikian? Katanya cucuku Sang Penyumpit harus ditolong karena dia sendiri ditipu oleh Pak Raje. Bagaimana caranya Sang Penyumpit menolong Pak Raje sehingga tubuhnya tak tersobek-sobek lagi dan hidup kembali?
Dikisahkan Sang Penyumpit menggunakan 7 helai daun. Lalu dia membakar kemenyan lalu menyebut, ada tangan, ada kaki. Semua anggota tubuh Pak Raje disebut. Terakhir diucapkan Pak Raje.
Digambarkan dalam asap mengepul Sang Penyumpit membacakan manteranya lalu tampak Pak Raje berusaha duduk.
Dia tampak menggosok-gosokkan matanya.
Pak Raje yang telah insaf dan mengaku bersalah digambarkan pengarang dengan kalimat sebagai berikut:
” Marilah kita pulang Sang Penyumpit segala kesalahankku kepadamu dan kepada rakyat segera kuminta maaf. Sesudah itu engkau kukawinkan dengan si Bungsu lalu aku akana mengundurkan diri, engkaulah akan menggantiku.
Marilah kita pulang agar kabar gembira ini segera kita laksanakan”.
Sesuai dengan janji Pak Raje pada saat yang telah ditentukan puteri Bungsunya dinikahkannya dengan Sang Penyumpit. Jabatan sebagai kepala desa pun diserahkan kepada menantunya yang baik hati itu.
Selanjutnya kedua insan yang baru menjadi suami isteri ini hidup berbahagia.***
- LATAR BELAKANG
- Upacara Rabu Kasan setiap tahun diadakan di desa Air Anyer Kecamatan Merawang Kabupaten Bangka. Upacara ini merupakan tolak balak yang dilaksanakan tiap-tiap hari Rabu di bulan Syafar Tahun Hijriah.
Perkataan Rabu Kasan berasal dari kata Rabu yang terakhir (Bulan Syafar).
Menurut keterangan dari beberapa orang ulama, setiap tahun Allah menurunkan bermacam-macam bala lebih kurang 3.200 macam bala ke muka bumi ini pada hari Rabu terakhir di bulan Syafar, mulai terbitnya fajar sampai siang Rabu tersebut.
Maka setiap penduduk pada hari itu hendaklah hati-hati, karena pada hari itulah yang paling mudah dan paling banyak mendapatkan bala (bahaya).
Oleh sebab itu dianjurkan pada setiap penduduk yang ada berencana untuk mengerjakan pekerjaan yang berat-berat atau akan bepergian jauh sebaiknya diundurkan atau dibatalkan dulu sampai kira-kira pukul 02.00 siang, serta dianjurkan setiap penduduk pada hari itu sebaiknya berkumpul dan bersama-sama membaca do’a agar tersisih dari sekalian bala yang diturunkan Allah S.W.T pada hari itu.
Ada bermacam-macam cara dan pendapat mereka mengadakan upacara tolak bala tersebut.
Pada hari biasanya diadakan di ujung / batas kampung, masyarakat pergi beramai-ramai dan berkumpul di tempat upacara serta membawa makanan-makanan dan yang penting agi adlaah ketupat lepas yaitu ketupat tolak bala dan air wafak.
Yang dimaksud dengan ketupat tolak balak yaitu ketupat yang dianyam sedemikian rupa yang mudah terlepas apabila bagian ujung dan pangkal daun yang dianyam itu ditarik. Dan ketupat ini tanpa isi.
Demikian juga Air Wafak yaitu air yang telah dicampur dengan air do’a wafak yang diambil dari ayat Al-Qur’an dan do’a ini ditulis di piring porselin yang putih bersih dengan tinta dawer dari Mekkah, kemudian piring yang bertulisan itu diisi dengan air bersih sampai tulisan itu terhapus dan bercampur dengan air tadi.
Jika kita memerlukan lebih banyak, maka air ini boleh kita tambah sebanyak mungkin.
- TEMPAT UPACARA
Pada waktu dahulu upacara ini diadakan di ujung atau perbatasan kampung, di sana mereka berkumpul tua, muda, laki-laki, permepuan setiap yang hadir telah membawa makanan-makanan, dan masing-masing membawa kerupat tolak balak yang telah disediakan masing-masing keluarga. Tetapi sekarang ini telah diadakan di masjid dan yang hadir cukup para lelaki saja, terutama bagi kepala keluarga.
III. JALANNYA UPACARA
- Sehari sebelum upacara Rabu Kasan diadakan, semua penduduk telah menyiapkan segala keperluan upacara tersebut seperti ketupat tolak balak, air wafak dan makanan untuk dimakan bersama pada hari itu.
- Tepat pada hari Rabu Kasan itu, kira-kira pukul 07.00 WIB semua penduduk yang akan mengikuti upacara telah hadir ke tempat upacara dengan membawa sedulang makanan, ketupat tolak bala sebanyak jumlah keluarga masing-masing. Setelah berkumpul semua sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan baru acara segera dimulai.
- TATA TERTIB PELAKSANAAN
- Pertama berdirilah seorang di depan pintu masjid dan menghadap keluar lalu mengumandangkan adzan.
- Lalu disusul dengan pembacaan do’a bersama-sama. Selesai berdo’a semua yang hadir menarik/melepaskan anyaman ketupat tolak balak yang terlah tersedia tadi, satu persatu menurut jumlah yang dibawa sambil menyebut nama keluarganya masing-masing.
- Setelah selesai acara melepaskan anyaman ketupat tolak balak tersebut baru mereka makan.
- Setelah makan bersama, lalu masing-masing pergi mengambil air wafak yang telah disediakan termasuk untuk semua keluarganya yang ada di rumah masing-masing.
- Setelah selesai acara ini mereka pulang dan bersilahturahmi ke rumah tetangga/keluarganya.
- Pada akhir-akhir ini banyak yang menggunakan kesempatan ini pada sore-sore harinya terutama bagi muda mudi mencari hiburan di Pantai Air Anyer. Bahkan sekarang ini makin banyak pengunjung yang datang dari luar kampung Air Anyer menyaksikan dan berlibur ke Pantai Air Anyer pada setiap tahun diadakan acara Upacara Rabu Kasan ini.
- PENUTUP
Demikianlah sinopsi Rabu Kasan ini dibuat, semoga berguna bagi kita untuk mengetahui sejarah kebudayaan yang ada di Pulau Bangka dan kita patut untuk menjaga dan kelestariannya.
Pesona Wista Pekak Liang Bangka
Palau Bangka
We went by dinghy (dinghied does not compute to the spell checker) to the village this morning to deliver a case of clothes kindly donated by Anglicare to the lady and group that Dianne met yesterday.
We included some Rid, Bushman and Insect repellent as one of their children had been suffering from considerable sandfly/bug bites.
Of course they were delighted and returned the favour with freshly cut green coconuts which are great to drink and the soft immature flesh delightful to eat – you really need to go troppo for a while to appreciate the value of the green coconut.
We went shopping at a couple of the ‘shoplets’ for eggs and a few extras and the village group wanted to see Charmar so they followed us back across the bay and came on board. It was great fun and we took and printed photos for them, which they absolutely enjoy, dined on chocolate bars and communicated well without language! Great fun.
On the way back to Charmar we had passed a fishing boat anchored only a short distance behind us and they called us over and presented us with a coconut just turning yellow, so we took them back a bottle of softdrink.
After the first visitors left they signalled they would like to come across so they have been on board for about three hours.
We have been playing with lures and fishing gear and they have taken away some spoons and lures and stainless wire and gear.
The youngest was 15 and there were three of them. They wouldn’t eat lunch but we are not sure whether they were Muslim and Ramaden they do not eat for this season as most people here are Budhist or Christian.
They really enjoyed getting off their rolly boat onto a stable platform for a while. They have a compass on their boat but the elder one and I guess the skipper was fascinated by the GPS Plotter and depthsounder! Winches and things on board generally they all wanted to check out.
There are many Chinese people in this village and one man who was visiting his brother here for holiday said to us it called China Town where we were.
Of course relations between the Chinese and Indonesian have not always been cordial but here everyone seems to be living in harmony, and why not it is a delightful area with sandy beaches, coral reefs, surf beaches, comfortable accommodation, although the fishing village people were in stilt houses with basic huts and a common well. They were the nicest and most welcoming people.
But it is time for us to press on as Kirsty only has less than a week on her visa! So in an hour or so we will untie the boys on the prau behind us, they are still attached but are back on their boat, pull up a headsail and drift off north in the following breeze to see how far we can get overnight.
Talk to you then!
Behind the beaches
18/09/2008, Palau Bangka
This anchorage at Palau Bangka is great. There are permanent fish traps built in the sea outside this area where they put lights on at night, lower nets, take their catch. It seems people get left out on them to do the work. They are constructed of Bamboo in about 20 metres of water.
Back to the anchorage, palm tree lined beaches, shallow at about 5 metres, and interesting bays, rocky outcrops and long beaches of white sand. AND the beaches are relatively clean about as clean as most Aussie beaches, some thongs, bottles and the odd bit of flotsam but relatively clean.
Yesterday we went about 20 mins by dinghy to the local village. Not much English spoken here but a very large house on the beach and the owner took us through the house block, past the monkeys, chooks etc into the main street of the village.
People came out and spoke with us and one elderly man took us and very proudly showed us around a hotel they are building with accommodation, billiard room, cafe etc. Very interesting. From amongst this group we found out there were no markets in the village, we would have to go to the city! (Parang???) , no bemos or buses and a car was hard to get. One chap volunteered a motorcycle ride so I set off with instructions to buy fresh fruit and veges for both boats.
Off we went along first dirt roads , then bitumen track through villages and settlements across the island and sure enough 30 mins later we were in a significant town with a shopping street, market shops and a supermarket. Papaya, grapes, oranges, melon, lychees, apples, pears, etc were bought at the market shops and we visited the supermarket but didn’t buy, loaded up the scooter and headed back for the beach village.
Stopped at a roadside vendor and bought two pineapples and two cucumbers (much cheaper than the town prices) and headed off again with a very fully loaded scooter bottoming out on all the many bumps and potoholes!
We were back at the village in the hour and half. The boy who took me to town was a mechanic from Djakarta and he didn’t want anything for taking me in. Of course we did provide him a gift – it was great to top up the fruit and vege supplies and the Papaya (although expensive by local standards) are so rich and good to taste and BIG.
The village here is predominantly Budhist, but the boy who took me to town was proudly Christian. Many people appear to be of Chinese extraction. The houses are neat and tidy and well kept and furnished and it appears to be a very pretty and pleasant place to livel.
The village is a fishing village and Dianne and the others had been “talking” with the locals and making friends – we will take a suitcase of clothing back over this morning. We might also be able to buy some fish when the boats come back in this morning – goodness knows we seem to have no possibility of actually catching one here – and no wonder the way we fish is just plain lazy compared to the work they put into it.
There are maybe a hundred or so fishing boats tied up outside the village all fitted with strong lamps etc that go out fishing from here at night.
A very friendly and welcoming place.
Large fires on the island showered us with ash and soot last night which was a great shame as we were so pleased that the heavy rain squalls of a few nights ago had finally washed the last of the Darwin ash and dust off the boat! Now we are back where we started!
Time wise we could have gone up to see the Orang-u-Tans in Kalimantan but we are enjoying the easy days here and have really enjoyed this anchorage and a bit of swimming, snorkelling and exploring.
Late this afternoon we will probably head off for an overnighter to the next destination.
Fishermen and a whole community of people converted into illegal tin ore divers on the coast of Bangka Island, South of Sumatra, Indonesia.
Jalan-Jalan ke Pulau Bangka
Pagi terasa begitu menyenangkan, walaupun lelah telah menderu semalaman. Daypack pun menunggu di samping pintu kamar, tak sabar rasanya ingin lepas dari penatnya rutinitas.
Yeaay, pagi ini saya akan menuju ke Pulau Bangka. Acara tahunan kantor yang lebih dikenal dengan istilah Outing atau Kick-off Meeting.
Tak ingin mengulang kejadian tahun lalu dimana saya harus terburu-buru ditambah dengan perut melilit sepanjang perjalanan, pagi ini saya terpaksa harus berangkat lebih awal.
Di kegelapan pagi, saya bergegas menuju halte kampus UI, deretan Burung Biru siap mengantarkan saya menuju bandara. Beruntung, pak supir cukup sigap menghadapi kemacetan jalan raya. Yaaa.. walaupun telat untuk sarapan pagi bersama, setidaknya roti dan susu yang saya makan di tengah perjalanan, cukup untuk mengganjal perut sesampainya di Bangka.
10.45 CGK – PGK.
Day1
Waktu menunjukkan pukul 11.45, cuaca cukup bersahabat ketika kami tiba di
Bandara Depati Amir, Pangkal Pinang.
Rombongan kami yang berjumlah 25 orang disambut dengan hangat oleh pemandu wisata yang siap mengantarkan kami ke beberapa objek wisata di Pangkal Pinang.
Dengan menggunakan minibus, perjalanan wisata kami pun dimulai. Dian, seorang pemandu wisata yang akan memandu kami selama 2 hari kedepan mulai bercerita sepanjang perjalanan mengenai pulau Bangka. Dengan gaya bahasa yang lucu dan sedikit agak narsis,
Dian mulai menjadi sasaran empuk untuk menjadi bahan kecengan selama perjalanan. Lulusan Akuntansi Universitas Padjajaran ini lebih memilih bekerja di pemerintahan daerah dan menjadi pemandu wisata karena kecintaannya akan pulau Bangka. Hmm.. sepertinya kami memliki pemandu wisata yang mumpuni untuk mengenal lebih jauh mengenai pulau ini.
Menempuh waktu selama 30 menit dari bandara Depati Amir, akhirnya kami sampai di tujuan pertama,
Pantai Pasir Padi.
Pantai yang berjarak 7 Km dari Pangkal Pinang, ibu kota Propinsi Kepulauan Bangka Belitung ini merupakan tempat pertama yang kami kunjungi karena lokasinya yang masih berada di kota dan sangat mudah untuk dijangkau.
Hampir semua wisatawan yang tiba dari bandara Depati Umar, pasti mengunjungi Pasir Padi terlebih dahulu sebagai persinggahan pertama.
Keunikan Pantai Pasir Padi adalah ombak yang tenang dan kontur pasir yang padat, putih dan halus. Kata Dian, saat air laut mengalami pasang surut, pantai ini bisa digunakan sebagai arena lomba balap motor.
Selain Pasir Padi, banyak pantai indah yang dimiliki oleh Pulau Bangka, seperti
Pantai Parai, Tanjung Pesona, Pantai Matras, Pantai Rebo, Tanjung Ular, Tanjung Kalian, Air Anyir dan Romodong.
Waah.. bakalan nggak cukup 3 hari nih untuk menikmati semua wisata pantai. Istirahat di Pasir Padi kami manfaatkan untuk makan siang di
Rumah Makan Biru Laut.
Setelah puas makan siang dan berfoto-foto, perjalanan pun kami lanjutkan kembali. Kali ini kami akan mengunjungi
Museum Timah.
Dalam perjalanan menuju Museum, Dian bercerita mengenai kondisi alam di Pulau Bangka yang saat ini kurang mendapat perhatian dari pemerintah daerah. Tampak oleh kami, beberapa tempat di pinggir jalan raya, banyak dijumpai bekas penambangan timah yang sepertinya ditinggal begitu saja.
Letaknya yang strategis di jalan raya Pangkal Pinang, membuat Museum Timah sangat mudah untuk ditemui, ditambah dengan kereta timah yang terpajang di depan gedung Museum, semakin menguatkan identitas dari sebuah Museum.
Sesampainya di Museum Timah, pemandu museum yang ramah dan penuh semangat menjelaskan kepada kami mengenai
sejarah penambangan timah di Pulau Bangka.
Semua peninggalan dan cerita sejarah tersimpan rapih di museum ini.
Museum yang dibuka sejak tahun 1997
ini menempati bangunan bekas rumah karasidenan zaman belanda. Sebelum menjadi museum, rumah ini merupakan rumah tempat tinggal karyawan perusahaan BTW ( Banka Tin Winning).
Dari museum ini kita bisa mengetahui kalau timah pertama kali digali di Pulau Bangka pada tahun 1709.
Pulau Bangka Belitung memang sangat terkenal dengan timahnya. Jadi, kalau anda ke pulau Bangka, anda wajib mengunjungi Museum Timah.
Tak ingin menyia-nyiakan waktu hari ini, kami meyempatkan diri mengunjungi pengrajin kain Ishadi Cual yang menjual pakaian dan kain khas Bangka. Letaknya berada di Jl. Ahmad Yani No. 46. Ishadi merupakan nama dari Isnawati dan Abdul Hadi (telah meninggal Januari 2006). Cual sendiri merupakan kain adat yang sudah berkembang sejak abad XVI di pulau Bangka, hanya saja masyarakat disini lebih mengenal songket palembang karena sebelumnya kepulauan Bangka Belitung masuk ke dalam propinsi Sumatera Selatan. Kain cual pada dasarnya adalah kain tenun seperti songket, dengan warna-warna yang cerah dan menyala, khas kain tradisional Melayu. Tak banyak yang bisa kami lakukan disini selain melihat-lihat beberapa hasil kerajinan kain cual.
Tempat berikutnya adalah
Otak Otak Amui.
Kata Dian, disini adalah otak-otak terenak di pulau Bangka, walaupun yang saya rasakan sama aja dengan otak-otak yang saya beli di Jakarta, hanya saja variasi otak-otaknya lebih banyak. Sambil ngobrol santai dengan teman, hampir semua mengatakan “yang bikin enak sambelnya”. Yup, rasa otak-otaknya sih sama aja dengan kebanyakan otak-otak, hanya saja sambelnya yang membuat saya tidak bisa berhenti menguyah. Makan otak-otak disini belum lengkap rasanya kalu belum ditemani dengan
es kacang merah.
Anyway buswaaay, sepertinya ini tempat terlama yang kami kunjungi sebelum kami menuju ke hotel untuk beristirahat. Rombongan kami pun memesan otak-otak yang diantarkan di hari terakhir sebagai oleh-oleh.
Hanya 2 jam waktu yang bisa kami manfaatkan untuk beristirahat di kamar hotel.
Pada saat keluar hotel, minibus sudah siap mengantarkan kami. Kata Dian, kami akan makan malam di salah satu tempat makan yang wajib dikunjungi di pulau Bangka, namanya
Rumah Makan Mr. Asui.
Mr. Asui terletak di tengah kota Pangkal Pinang, tepatnya di Yang Zubaidah. Dari plang nama yang kami lihat, kami kira rumah makan ini berada di pinggir jalan, ternyata kami harus memasuki sebuah gang untuk menuju tempat makan tersebut.
Ada tiga rumah makan dalam satu deret rumah yang menyatu. Mr. Asui berada di rumah kedua.
Lagi-lagi, kami disuguhi makanan laut seperti di Pasir Padi.
Hadir dihadapan saya,
buntut ikan tenggiri bakar, kepiting saus tiram dan cah kangkung. Kombinasi yang pas ditambah dengan cocolan sambal terasi khas bangka.
Makan malam di Rumah Makan Ashuy menjadi tempat wisata terakhir di hari ini. Satu kata untuk hari ini, kenyang
Malam mulai mengusik rasa ingin tahu saya mengenai kehidupan malam di kota Pangkal Pinang.
Setelah mencoba mengendap-ngendap dan mencari tahu dari beberapa pegawai hotel, akhirnya supir hotel mulai mengantarkan kami ke
tempat karaoke di salah satu hotel
yang letaknya tidak jauh dari tempat kami menginap.
Dari luar, suasana begitu sepi. Tapi siapa sangka, begitu kami masuk, phiuuuhhh.. suara sayup-sayup musik mulai terdengar dan gadis-gadis berpakaian seksi berlalu lalang sambil menatap dengan senyuman nakal. Salah satu wanita mulai mengantarkan kami menyusuri lorong demi lorong. Wooow, belom pernah saya melihat tempat karaoke seperti ini.
Ruangannya lumayan besar dengan sofa kulit memanjang yang terlihat sobek disana sini. Beberapa lantai keramik terlihat pecah. Di pojok ruangan terdapat meja yang sepertinya mirip meja makan dengan beberapa bangku dan kamar mandinya yang jauh dari kesan terawat. Peralatan karaoke pun seadanya, televisi 50 inchi dengan monitor komputer CRT 14 inchi sebagai operator. Ya.. sudahlah.. nikmati saja.
Day2:
Tidak puas kami mengunjungi Pasir Padi di hari pertama, kali ini kami akan mengunjungi
Parai.
Salah satu pantai terindah di Pulau Bangka.
Tapi sebelum menuju kesana, kami harus lebih dulu mengunjungi dua tempat wisata, yaitu
Desa Gedong dan Phak Kak Liang.
Perjalanan menuju Desa Gedong kami tempuh selama 2 jam dari Pangkal Pinang. Kendaraan hanya diijinkan untuk masuk sampai dengan Gapura.
Selanjutnya kami harus berjalan kaki untuk menyusuri tempat ini. Desa Gedong merupakan kampung Cina tertua di Pulau Bangka yang saat ini ditetapkan sebagai Desa Wisata.
Letaknya berada di wilayah Lumut, kecamatan Belinyu.
Warga di Desa Gedong adalah generasi penambang terakhir di Pulau Bangka. Kehidupan mereka rata-rata berdagang dan pembuat makanan khas Bangka seperti kerupuk, kemplang dan getas.
Di kampung inilah kami mengunjungi salah satu pembuat
kerupuk getas,
makanan khas Bangka Belitung yang terbuat dari ikan tenggiri dan kerupuk kricu yang terbuat dari cumi-cumi. Sayang, kami tidak diijinkan untuk melihat langsung pembuatan kerupuk ini dengan alasan rahasia perusahaan.
Dari kampung inilah, kerupuk Getas dan Kricu didistribusikan ke seluruh Bangka. Sambil ngobrol-ngobrol dengan pemilik rumah, mulut ini sepertinya tidak mau berhenti menyicipi ‘kerupuk gratisan’. Alhasil, setiap orang setidaknya membeli minimal 3 kerupuk untuk dijadikan oleh-oleh.
Tempat kedua yang kami kunjungi masih berhubungan dengan kebudayaan China, namanya Phak Kak Liang.
Phak Kak Liang, Belinyu
Phak Kak Liang merupakan tempat wisata yang dibangun di atas bekas penambangan timah. Lokasinya berada di kecamatan Belinyu.
Untuk menuju Phak Kak Liang, kami harus melewati penambangan timah. Di kanan kiri jalan, terlihat jelas sisa-sisa penambangan timah yang membentuk kubangan besar dan timbunan pasir yang tinggi.
Daya tarik lain bagi wisatawan disini yang tak kalah menariknya adalah ikan air tawar yang berada di danau ini. Pengunjung dapat memberi makan yang telah disediakan oleh penjaga setempat. Menurut cerita yang sampai saat ini masih diyakini, ikan-ikan yang ada di danau ini tidak boleh dipancing atau dimakan.
Perjalanan kami lanjutkan menuju pantai Parai. Perjalanan terasa begitu membosankan. Yang kami lihat sepanjang perjalanan hanya hutan, sesekali terlihat beberapa pemukiman penduduk dan penambangan timah.
Pemandangan yang monoton membuat kami tertidur sepanjang perjalanan. Suasana yang tadinya riang dan penuh riuh canda, sekejap berubah menjadi sunyi senyap.
Setelah satu jam kami lalui, tiba-tiba dari kejauhan terlihat pesisir pantai. Ahh.. Parai! Pantainya cukup terlihat indah dengan beberapa batuan yang menjadi tempat favorit kami untuk berfoto-foto. Parai menjadi penutup perjalanan wisata kami di pulau Bangka.
Tidak puas dengan pengalaman malam kemarin, kali ini saya mencoba menyambangi salah satu klub malam dan tempat billiard yang cukup terkenal di Pangkal Pinang. Hahaha… teteuuu. Saya dan teman-teman menghabiskan malam terakhir di tempat ini dan keesokan hari kami harus berkemas kembali dan bersiap menuju Jakarta.
Menariknya dari kegiatan ini begitu kental dengan kegiatan nilai budaya lokal dan pesona wisata yang menakjubkan di pulau Bangka. Tak kurang sekitar 500 peserta dari 31 propinsi dari seluruh Indonesia disuguhiatraksi dan keindahan bumi Sepintu Sedulang (red-sebutan untuk kabupaten Bangka).
Sejak pembukaan acara, peserta sudah disuguhi tari-tari khas daerah Bangka seperti tari Sambut Sepintu Sedulang, tabuhan Rampak Gendang Melayu, dan tari-tarian lain. Setiap hari lidah para peserta dimanjakan dengan makanan khas yang serta seafood. Bahkan ketika melakukan riset lapangan, interaksi dengan masyarakat lokal penambang, masyarakat etnis Tionghoa, dan Melayu menjadi kajian yang menarik untuk ditulis oleh para peserta.
Pengembangan pariwisata sebagai alternatif sumber penghasil selain penambangan pun ikut dicermati oleh para peserta. Lokasi penelitian untuk siswa ditempat di kawasan multi etnis dengan nilai budayalokal yang masih kental. Bahkan ibu bapak guru yang ikut mendampingi para peserta tak luput dari kegiatan workshop guru.
Workshop Guru memberikan pengalaman menarik untukpara tenaga pengajar dari seluruh Indonesia itu untuk melakukan riset sosial atau ilmu pengetahuan alam dengan lokasi di Pantai Matras, Pantai Parai Tenggiri, dan lingkungan multi etnis di perkampungan Pohin (Air Duren) Bangka.
Pantai Matras dan Pantai Parai Tenggiri menjadi representatif pantai-pantai di Bangka yang amat indah dan landai. Terletak disebelah timur laut Pulau Bangka dan berjarak sekitar 40 km dari Pangkalpinang atau 7 km dari kota Sungailiat. Pantai indah ini terkenal dengan nama Pantai Matras karena terletak di desa Matras, Kelurahan Sinar Jaya, Kecamatan Sungailiat, Kabupaten Bangka. Panjang pantai ini mencapai 3 km dan lebar 20-30 m yang dilatar belakangi pepohonan kelapa dan aliran sungai yang jernih dari daratan menuju laut. Sedangkan Pantai Parai Tenggiri karena keelokan pemandangan dan suasananya, sering menyebut pantai ini sebagai Pantai Surga.
Untuk wisata sejarah, field trip di Bangka Barat, tepatnya di Kota Muntok, tentu saja menjadi sangat menarik. Kota ini merupakan tanah tempat pengasingan para pemimpin bangsa di awal-awal kemerdekaan. Sejumlah nama seperti Ir. Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, Sekretaris Negara Pringgodigdo, Menteri Luar Negeri Agus Salim, Menteri Pengajaran Ali Sastroamidjojo, Ketua Badan KNIP Mr Assaat,Wakil Perdana Menter iMr Moh Roem dan Kepala Staf Angkatan Udara Komodor Udara S Suryadarma pernah di tempatkan di Wisma Ranggam.
Pesanggrahan Muntok adalah nama asli Wisma Ranggam. Kata pesanggrahan diambil dari bahasa Sansekerta yang berartitempat peristirahatan atau penginapan. Wisma Ranggam dibangun pada tahun 1927 oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Tempat ini dijadikan sebagai tempat peristirahatan pegawai perusahaan timah milik Belanda.
Didepan Wisma Ranggam berdiri kokoh sebuah tugu yang tak lekang dimakan zaman. Ditugu tersebut terdapat prasasti yang ditandatangani oleh Bung Hatta padatanggal 17 Agustus 1951. Isi tulisan tersebut adalah:
” Kenang-kenang Menoembingdi Bawah Sinar Gemerlap Terang Tjoeatja, Kenang-kenang membawa Kemenangan, Bangka, Djogdjakarta, Djakarta, Hidoep Pancasila, Bhineka Tunggal Ika”.
Lokasi berikutnya adalah sebuah pantai yang terletak di Kelurahan Tanjung,Kecamatan Mentok. Pantai ini terletak ±9 km dari Kota, di sini terdapat menaraatau Mercusuar yang dibangun pada tahun 1862. Dari puncaknya dapat disaksikan seluruh kawasan Pantai Mentok yang indah. Fungsi dari menara itu sendiri untuk melihat keluar masuknya kapal-kapal dari/ke Pelabuhan Mentok.
Bukan hanya itupara peserta pun berkesempatan untuk melihat proses peleburan timah di kawasan PELTIM muntok, bahkan beberapa kelompok berhasil mencapai puncak Menumbing. Menumbing bukan tempat asing dalam sejarah Bangsa ini. Sama seperti Wisma Ranggam, Kompleks Giri Sasana Menumbing menjadi tempat pengasingan tokoh-tokoh bangsa.
Berdasarkan informasi tertulis yang dipajang di ruang 102, Soekarno dan kawan-kawan dibawa ke tempat ini dibagi menjadi tiga kelompokatau rombongan. Rombongan pertama adalah Mohammad Hatta, Mr A.G. Pringgodigdo, Mr. Assaat, dan Komodor Udara S Suryadarma. Mereka datang ke tempat ini tanggal 22 Desember 1948 dari Yogyakarta. Rombongan kedua adalah Mr. Moh Roem dan Mr.Ali Sastroamidjojo, yang dibawa langsung oleh Belanda dari Yogyakarta ke Manumbing pada tanggal 31 Desember 1948 dan rombongan ketiga adalah Bung karnodan Agus Salim didatangkan ke Bangka pada tanggal 6 februari 1949 dari tempat pengasingannya Kota Prapat, Sumatera Utara yang berdekatan dengan Danau Toba. Mereka datang dengan pesawat Catalina yang mendarat di Muara Sungai Pangkalbalam.
Kegiatan perkemahan ilmiah yang berakhir di komplek dengan ketinggian 445 meter dari permukaan laut ini membawa berbagai macam perasaan, mulai dari rasa keperihatinan lingkungan, kekaguman, kebersamaan, dan wawasan baru tentang bumi Indonesia.
Pelabuhan Belinyu
Kapal-kapal dari luar Bangka berlabuh di Pelabuhan Belinyu sejak 2010. Sedangkan seblumnya di
palabuhan sungai Liat
Kota Sungai Liat sudah ada sejak masa hindia Belanda,saat kunjungan terakhir 2012,sempat berkunjung kesana,banyak orang oramg Tiomghoa dengan ekonomi lumayan,pekrjaan tersedia dan disini juga ada timah.Masa Pak harto dilarang tambang timah oleh rakyat, dan masa Gus Dur diizin tambang rakyat.
Tambang timah Rakyat di kota sungai Liat
Tanah disemprot dan dibuat sumur kira-kira empat meter dan ketemu pasir timah, sesudah itu disedot keatas ,dicuci baru ketemu timah dan timah diambil dan air limbah dibuang ketempat lain.
Pasir timah bias dijual pada pedagang antara, satu kg Rp.80.000.- .satu hari bias ditemukan berkisar dua puluh sampai tiga puluh kg.
Alat berat punya pemerintah dapat disewa swasta,satu jam Rp.300.000.-
Dua lelaki tanpa baju menggotong pipa paralon yang disembunyikan dari gubuk di samping kolong (lubang galian tambang). Badan kekar dan kulit coklat kehitaman yang terbakar matahari menandakan aktivitas sehari-hari mereka.
Aktivitas tambang inkonvensional (TI) dan tambang rakyat (TR) mulai terdengar di Desa Sirna Jaya, Kecamatan Sungai Liat, Kabupaten Bangka, Provinsi Bangka Belitung.
Gemuruhnya makin terdengar ketika ekskavator dan pompa penyemprot air mulai bekerja di tempat pendulangan untuk memisahkan tanah dan menyisakan batu dan pasir timah.
Di tempat lain
di Gedung PT Timah Tbk, Pangkal Pinang,
enam perajin sibuk menggarap berbagai bentuk suvenir yang dibuat dari pewter. Ini adalah bahan olahan dari timah murni (97 persen), dicampur sedikit tembaga (2 persen) dan antimon (1 persen). Dengan alat sederhana, mulai dari gunting, kikir, solder, las, hingga mesin bubut, mereka memoles timah menjadi suvenir yang menarik.
Ke Belinyu , Melihat Kota Tua Timah
Sementara saya menampik tawaran mengunjungi Pantai Tanjung Bunga, Hutan Wisata TuaTunu, Kuburan Cina Sentosa, Katedral ST. Yosef, Kuburan Akek Bandang, Museum Timah Indonesia, Rumah Eks Residen, Perigi Pasem, Tugu Kemerdekaan, Kerhof, yang ditawarkan oleh dinas Pariwisata Bangka-Belitung lewat buklet bagi peserta Temu Sastrawan Indonesia II yang hendak melancong.
Bukan karena tempat itu tidak menarik, tapi saya ingin sesuatu yang beda.
Saya ingin mengunjungi objek wisata yang tidak terpromosikan. Berdasarkan pengalaman saya sebelumnya, tempat seperti itu kadang memiliki pesona yang tersembunyi.
Gayung bersambut!
Kebetulan ada yang bertandang ke rumah di Belinyu.
Bersama rombongan , saya menumpangi bus Damri yang disediakan oleh dinas Pariwisata negeri Timah itu.
Selama perjalanan dari Pangkalpinang ke Belinyu, saya pergunakan untuk melihat daerah yang dilintasi dari kaca bus yang melaju dalam angin petang.
Beberapa kali saya tertegun, setiap kali melihat bekas-bekas lubang tambang timah yang ditinggalkan dan terbengkalai. Dan pohon-pohon yang tidak seramai laiknya di tepi Lintas Sumatera, berjajar rapat menatap bus yang melintas.
Duh, kegersangan yang menciptakan kesedihan. Tapi saya musti melihatnya.
Melihatnya sebagai pelancong yang hanya bisa bertanya “kenapa?” tanpa menemukan jawaban yang memuaskan. Sebab tidak ada guide dalam rombongan kami selama perjalanan di bus itu.
Diam-diam, kami seperti bersepakat menjadi guide bagi diri kami sendiri. Seperti sengaja menciptakan pertanyaan-pertanyaan bagi diri kami sendiri dan dijawab oleh diri kami sendiri.
Tak terasa lebih kurang 3 jam, bus itu mengantarkan kami ke kota kecamatan Belinyu.
Sebuah kota tua yang didirikan karena pertambangan timah.
Kami disambut deretan bangunan-bangunan tua dan ruko-ruko yang sebagian besar tutup.
Padahal baru jam 5 sore. Lagi-lagi saya didera pertanyaan “kenapa?”
Karena tidak tahan, saya pun bertanya , “Kenapa ruko-ruko di sini tutup?”
“Ternyata di sini orang-orang berdagang cuma sampai jam 4 petang,”
Lalu ia mengajak saya masuk ke rumahnya, menyusul yang lain. Di depan pintu, saya disambut oleh Mama Sunlie yang berumur sekitar 60-an dan ramah.
Ia Menyapa saya dalam bahasa Cina Hakka.
Saya cuma bisa memberi senyum, lantaran tidak faham bahasa Hakka itu.
“Mama saya tidak bisa ngomong dengan bahasa Indonesia,” ucap Sunlie.
Di Belinyu sekitar 30 persen penduduknya adalah Cina Hakka.
Dalam sejarah Cina perantauan (Overseas Chinese) ke Asia Tenggara, setidaknya dikenal 5 kelompok besar yang datang dan menetap, yaitu Hokkian,Hakka, Tiochiu atau Hoklo, Kanton, dan Hailam.
Kelompok Hokkian dan Tiochiu dikenal sebagai kelompok pedagang,
Kanton sebagai kelompok pengrajin dan tukang kayu.
Hakka sebagai pekerja tambang dan perkebunan.
Dalam sejarah, Hakka adalah kelompok terakhir yang datang ke Indonesia . Mereka datang berombongan untuk dipekerjakan sebagai kuli tambang dan perkebunan.
Kedatangan Hakka pertama adalah ke Mandor dan Montrado, pertambangan emas yang dikonsesi oleh Sultan Mempawah dan Sambas, Sekitar awal tahun 1700, mereka didatangkan dalam jumlah besar melalui Serawak.
Ketika tambang timah di Bangka di buka sekitar pertengahan tahun 1700, yang disusul kemudian di Belitung, beratus-ratus orang Hakka dikapalkan ke Bangka. Dan terus berlanjut hingga pertengahan tahun 1800. Rata-rata didatangkan dari Meixien. Mereka datang tanpa membawa istri. Ketika kontrak habis hanya ada dua pilihan, kembali ke Cina atau menetap di sekitar lokasi tambang. Bagi mereka yang tidak pulang membuka permukiman di Bangka, seperti di Belinyu.
Putusan untuk menetap diikuti dengan mengambil wanita setempat sebagai istri. Arsitektur permukiman mereka telah berbaur dengan budaya setempat. Namun yang masih terlihat menonjol adalah banyaknya tapekong (tempat pemujaan besar kecil dalam permukiman itu).
Berbagai perayaan besar dalam tradisi Cina masih mereka lakukan. Sembahyang Imlek masih dirayakan dengan ketat, seperti pantangan menyapu pada hari Imlek, saling memberi Angpau, perayaan Cengbeng atau Cingming (perayaan bersih kubur leluhur). Begitu pula dengan Cioko atau sembahyang rebut, masih dilakukan.
Yang tak kalah menarik, di Belinyu memiliki tradisi mengadakan pembakaran Taiseja. Dalam perayaan itu juga disertakan berbagai replika alat transportasi seperi kapal laut, kapal terbang, dan sebagainya. Menurut Sunlie, itu disediakan bagi arwah-arwah orang Cina yang hendak pulang ke negeri leluhur. Sayangnya, saya tidak datang pada saat perayaan itu berlangsung.
Namun, jalan-jalan melewati rumah-rumah kuno beraksitektur campuran Melayu-Cina-Belanda, pedagang buah-buahan, martabak Bangka, Sate Madura, Warung Pecel Lele, Bakso Solo, Ampera Padang, Otak-otak Bakar, Mpek-mpek, di bawah cahaya bulan malam itu menciptakan nuansa eksotis. Apalagi kelengangan memberikan kedamaian tersendiri. Jauh dari suasana kota metropolis yang hiruk-pikuk.
Kapitan Bongkap, Benteng Kutopanji, Kelenteng Liang San Phak
Merasakan malam pertama di kota Belinyu dengan listrik yang mati hingga subuh.
Karena listrik bermasalah. Sebagian jaringan Listrik dilayani PT Timah karena PLN kekurangan jaringan. PLTU Mantung dekat pelabuhan Belinyu, yang pernah dibilang terbesar di Asia Tenggara, sudah lama tidak berfungsi.
Pun PLTD di Baturusa, setali tiga uang. Sama saja.
PT Timah akhirnya menjadi pemasok listrik tanpa meteran, dengan sistem borongan. Tapi layanannya masih mengecewakan, listriknya sering padam.
“Bangun! Lihat ke bawah,” ujar Raudal membangunkan saya dari tidur.
Dari beranda lantai atas rumah Sunlie, saya melihat ke bawah. Ada bus-bus umum ngetem di depan rumah Sunlie. Bus-bus itu sangat antik. Bodinya terbuat dari kayu yang dilapisi seng. Ada tangga menuju bagasi berpagar besi di atap bus itu. Saya jadi ingat waktu kecil dulu, bus keluaran tahun 1970-an macam itu pernah saya tumpangi bersama Papa dari Padang ke Bukittingi pertengahan tahun 1980-an.
“Sungguh kota tua yang masih menyimpan masa lalunya,”
bisik saya pada pagi yang mulai menggeliat bersama pedagang-pedagang yang membuka pintu tokonya.
Pukul 10 pagi, saya beserta rombongan melancong ke luar kota dengan mobil rental kijang Inova.
Berdesakan memang, karena mobil itu dinaiki ramai-ramai Tapi suasana riang bikin yang sempit jadi lapang.
Menempuh jarak 2 kilometer dari pusat kota Belinyu, sampailah kami di
Benteng Kutopanji atau Benteng Bongkap,
terletak di kampung Kusam. Kekokohan sisa-sisa bangunan Benteng berwaran hitam keabuan—terbuat dari tanah liat yang dibakar—yang dibangun sekitar 1700 oleh Kapitan Bong atau Bong Khiung Fu , membuat saya terpesona. Meski yang saya jumpai sekarang adalah sisa-sisa dan kisah tentang Kapitan Bongkap, saudagar Cina yang kaya raya dan seorang pelarian politik.
Kami masuk ke dalam benteng, menemukan dua makam dengan arsitektur Cina di bagian paling belakang Benteng itu. Yang terbesar adalah makam Kapitan Bong bertahun 1700 dan dipugar pada tahun 1973, di belakangnya di atas tebing adalah makam pengawalnya. Namun itu adalah replika makam Kapitan Bong, tapi tetap dihormati oleh masyarakat setempat. Karena sebenarnya, Kapitan itu meninggal di Malaysia dan Benteng Kutopanji jatuh ke tangan perompak Moro, Filipina. Kemudian kami singgah ke Kelenteng Liang San Phak yang berdampingan dengan Benteng Kutopanji di sisi barat.
Kelenteng Liang San Phak, sebenarnya merupakan bagian dari Benteng Kutopanji yang juga didirikan oleh Kapitan Bong. Aroma Hio menyambut kami. Nur Zen Hae, Risa Syukria, Kedung Darma Romansah, dan Dahlia, mencoba bergantian mengadu peruntungan dan ramalan nasib dengan membakar Hio di depan patung Thai Pak Kong (Paman Besar) bernama Liang San Phak dan patung istrinya, yang dibawa langsung oleh Kapitan Bong dari negeri leluhurnya. Patung ini pada tanggal 15 bulan ketujuh penanggalan Cina, diarak mengelilingi kota Belinyu sebagai prosesi sembahyang rebut.
“Ini Klenteng Dewa Bumi atau Tapekong.
Menurut agama Konghucu, Klenteng Tapekong ini untuk tempat bersembahyang dan meminta agar rezeki banyak dan keselamatan,” ujar Fujianto alias Afu (35), salah seorang pengurus Klenteng.
Saya ingin bertanya lebih banyak lagi pada Afu yang ramah itu. Tapi karena waktu yang tidak memungkinkan, perjalanan musti dilanjutkan.
Pha Kak Liang
Setelah melewati jalan tanah berdebu, dan sesekali bertemu pula dengan bekas tambang timah yang ditinggalkan, sampailah kami di gerbang utama Pha Kak Liang yang bernuansa Cina. Makin ke dalam, arsitektur Cina itu makin terasa. Seperti demarga, rumah peristirahatan, gazebo, semuanya berornamen Cina.
Pha Kak Liang adalah sebuah objek wisata tirta yang dibangun di atas bekas tambang timah (kolong). Terletak 10 Kilometer dari kota Belinyu.
Keheningan dan kedamaian begitu terasa di tepi telaga seluas 3,5 hektar yang ditumbuhi pohon cemara dan akasia. Pemiliknya tiga orang etnis Cina bersaudara, dan menjadikannya sebagai villa peristirahatan, yang tetap terbuka untuk umum.
Sayangnya, kurang terawatnya Pha Kak Liang membuat objek wisata degan telaga berisi ribuan ikan emas yang hidup bebas itu tampak sedikit suram.
Tapi bagi pecinta suasana sunyi, Pha Kak Liang memberikan itu. Dan semakin lama akan makin terasa. Namun, lagi-lagi perjalanan musti dilanjutkan.
Pantai Penyusuk
“Lihat pohon-pohon yang memeluk batu itu!” Kalimat Raudal yang puitis itu seperti memberi tahu bahwa kami telah memasuki gerbang pantai Penyusuk.
Ya, di kiri-kanan jalan memasuki area pantai tampak beberapa batu besar yang di sekilingnya di tumbuhi pohon-pohon.
Hamparan pantai yang landai dan ditumbuhi batu-batu besar menyambut kami. Beberapa perahu nelayan tertambat. Ombaknya tenang karena di depannya ada pulau cukup besar yang menjadi tameng. Sedang pulau kecil di sampingnya, berdiri menara suar yang tampak sebesar pohon nyiur melambai dari tempat saya berdiri.
Amboi! Negeri rayuan pulau kelapa, alangkah eloknya.Saya tidak sabaran ingin menceburkan diri. Mandi-mandi di laut jadi kanak-kanak ria kembali. Hilang sejenak segan pada usia.Namun Risa Syukria meminta saya untuk menemani dia mengambil air wudhu. Inilah perkaranya, ternyata kamar mandi umum dikunci. Penjaganya entah kemana.
Memang pantai Penyusuk sepi, jauh dari pedagang yang mata duitan. Akhirnya, kami menemukan berbungkus-bungkus air minum tergeletak ditinggalkan pemiliknya di atas sebuah batu besar.Jadilah Risa sholat dan saya pun mandi menceburkan diri ke laut menyusul yang lain, yang telah dulu bermain dengan air garam yang jinak itu. Tak lama berselang, Risa pun menyusul.
Cuma Kedung Darma Romansah dan Pak sopir yang tidak mau membasahi tubuhnya dengan air laut di pantai yang tenang itu. Entah kenapa. Setelah puas mandi-mandi. Main pasir pantai yang putih. Duduk-duduk dari satu batu ke lain batu. Rombongan sastrawan itu memutuskan untuk pulang.
Matahari sudah mulai mendekati ubun-ubun laut, beberapa jam lagi bakal angslup. Cuaca cerah. Tentu saja sunset akan terlihat terlihat sempurna di pantai barat ini. Namun apa hendak dikata, pertemuan matahari dan laut yang menciptakan cahaya emas itu, tak bisa saya saksikan.
Kami pun pulang dengan tubuh yang belum dibilas dari air laut karena penjaga kamar mandi umum itu tidak juga datang.
Sesampai di jalan Depati Amir, saya dan Risa Syukria yang juga reporter TV Siak, memutuskan turun dari mobil. Kami ingin berjalan kaki berdua menuju rumah Sunlie di jalan Sriwijaya yang jaraknya sekitar 500 meter dari tempat kami turun. Sedang yang lain terus pulang dengan mobil.
Kami turun dari mobil itu bukan karena ngambek, tapi ingin melihat lebih dekat rumah-rumah arsitektur Belanda yang dihuni pegawai timah di bawah gelimang cahaya senja. Ya, sepanjang
jalan Depati Amir itu berjajar bangunan-bangunan lama.
Sayang sebagian sudah tidak terawat lagi. Padahal bangunan-bangunan itu merupakan jejak langkah dari perjalanan kota timah itu.
Menurut Ibrahim (52), salah seorang karyawan pertambangan timah yang kami temui di salah satu rumah kuno itu, dulunya rumah-rumah di kawasan jalan Depati Amir itu adalah kawasan elit yang ditempati oleh pegawai teras atas pertambangan timah, dibangun pada tahun 1928.
Sejak menipisnya cadangan timah di Belinyu, rumah-rumah itu dihuni campur aduk antara karyawan biasa dan pegawai menengah. Bahkan sebagian rumah tidak dihuni lagi dalam kondisi yang mengenaskan, pintu dan jendela yang copot, serta dindingnya kumuh penuh coretan.
“Kota yang aneh. Tidak seperti kota-kota lain yang pernah saya datangi. Selama di sini, belum pernah saya lihat ada ABG nongkrong bersama menghabiskan petang. Bagaimana ya orang-orang hidup dalam kelengangan ini?” ucap Risa, dara rancak asal Minang ini, di jalan menuju ke rumah Sunlie—selepas jalan Depati Amir.
“Kota ini membuat Ngai Oi Ngi!” ujar saya memakai sekerat bahasa Hakka yang saya pelajari dari Sunlie.
“Apa itu Ngai Oi Ngi?” tanya Risa.
“Aku Mencintaimu!”
Matras Beach
The beach is located in Matras Village, Sinar Jaya Urban Village of Sungailiat District, or at the northern east area of Bangka Island. The beach has sloppy beach with white sand beautiful panorama. The beach spand 3 km long and 20-30 m wide. The beach has palm plant background and natural river flow generally called as Heaven’s Beach and is the most visited beach in Bangka Regency.
Tanjung Pesona Beach
Located in Rambak Village, Sungailiat District about 9 km from the city of Sungailiat. The beach is located in between Teluk Uber Beach and Tikus Beach. This beach has open sea panorama over the bay and has also been completed with tourism facilities including 3 stars rated hotel.
Parai Beach Resort
The beach is located in Matras Village , Sinar Jaya Urban Village of Sungailiat District. This beach has been completed with various tourism facilities, including four stars rated hotels and other leisure facilities.
Batu Bedaun Beach
Located in Kampung Bukit Kuala, Sinar Jaya Urban Village of Sungailiat district. This beach is quite unique, situated side by side with Parai Tenggiri Beach marked with a tree grows out of rocks..
Rebo Beach
Some beautiful hills make some tourist from other side come to this beach.
Tikus Beach
Tikus beach is located in Rebo Village, Kenanga Urban Village, Sungailiat District. Tikus beach still preserve its naturality and much visited by tourism. The coast is decorated with smooth white sandand is indeed very attractive for tourist enjoy.
Teluk Uber Beach
Located in Rambak Village, Srimenanti Urban Village of Sungailiat District. The area of this beach reaches 25 ha with beautiful panorama and white sand equipped with hotel facilities.
Romodong Beach
The location is in Belinyu area , north Bangka 77 km from Sungailiat. In this beach the tourists can see a sunset fenomenal. Because this location is face to west. All beach have 4 km distance. If we go to this beach we can see white and soft sand here. this beach have a pure water like crystal.
Penyusuk Beach
The natural and sloppy beach is marked by the clarity of its water surrounded by exotic isles where sea-turtle lays its eggs. The beach is located in Bukit Ketok Village, Belinyu district, about 77 km from Sungailiat
Air Anyir Beach
This sloppy beach decorated with unique rock formation is the center Rebo Kasan Ritual, located in Air Anyir Village, Merawang District about 15 km from Sungailiat.
the end @ copyright Dr Iwan 2016